Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Maskapai penerbangan harus menghentikan operasi pesawat ATR-72 karena mahalnya biaya.
Impor komponen pesawat terhambat aturan lartas dan mahalnya pajak serta bea masuk.
Pembebasan lartas terhambat aturan teknis.
DUA bulan sudah, pengurus Asosiasi Maskapai Penerbangan Nasional Indonesia (INACA) berbicara dengan pemerintah. membahas kejelasan teknis pembebasan larangan dan pembatasan atau lartas yang diberlakukan pada suku cadang pesawat. "Sebagai contoh, kami mau beli kaca pesawat ternyata masih masuk lartas dan pembebasannya perlu izin dari tiga kementerian," kata Ketua Umum INACA Denon Prawiraatmadja pada Selasa, 25 Juni 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lartas untuk suku cadang pesawat ditetapkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Kementerian Perdagangan kemudian membebaskan perangkat tersebut dari lartas melalui Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024 yang berlaku sejak 10 Maret 2024. Pembebasan suku cadang dari lartas, menurut Kementerian Perdagangan, diharapkan bisa menurunkan harga tiket pesawat. Tapi nyatanya pembebasan lartas belum berjalan karena memerlukan sejumlah petunjuk pelaksana serta petunjuk teknis.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Denon menjelaskan, pemerintah mengenakan lartas pada suku cadang pesawat dengan dalih melindungi produsen lokal. Padahal, menurut dia, selama ini produsen suku cadang di dalam negeri belum masuk daftar pemasok resmi produsen pesawat. Walhasil, maskapai penerbangan tak bisa memakai produk lokal, seperti baut, kaca, dan alat pemadam kebakaran, karena mereka mesti mematuhi aturan yang dibuat oleh produsen pesawat. Pelaku bisnis penerbangan pun terjepit karena impor suku cadang juga dilarang.
Pekerja melakukan perawatan dan pengecekan komponen pesawat di fasilitas PT Garuda Maintenance Facility Aero Asia Tbk (GMFI) di Cengkareng, Tangerang, Banten, Maret 2024. Tempo/Tony Hartawan
Berdasarkan kajian INACA dan Asosiasi Layanan Perawatan Pesawat Indonesia (IAMSA), lartas menggerus 3,5 persen pendapatan industri penerbangan pada 2023. Ketika itu maskapai harus merogoh kas hingga Rp 31 miliar untuk mengajukan permohonan pembebasan lartas. Padahal banyak pesawat memerlukan perawatan dan perbaikan. Pada awal 2024, dari 557 pesawat milik semua maskapai, sebanyak 200 di antaranya memerlukan perbaikan. Sementara itu, 93 persen suku cadangnya harus diimpor.
Pada awal Maret 2024, Direktur Impor Kementerian Perdagangan Arif Sulistiyo mengakui biaya perawatan dan perbaikan pesawat memiliki porsi 16,19 persen dari harga tiket pesawat. Komponen itu hanya kalah oleh biaya bahan bakar avtur yang mencapai 35,76 persen dari harga tiket pesawat. Melihat kondisi tersebut, pemerintah membebaskan lartas untuk suku cadang pesawat, meski pada kenyataannya masih terjadi tarik-ulur.
Bukan hanya lartas, masalah lain yang dihadapi maskapai penerbangan adalah pajak dan bea masuk untuk suku cadang. Sekretaris Jenderal INACA Bayu Sutanto mengatakan pemerintah memang sudah membebaskan pajak pertambahan nilai atau PPN untuk impor suku cadang pesawat melalui Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2019.
Tapi lagi-lagi pemberlakuannya tak gampang dan ada syarat lanjutan, seperti pesawat tidak boleh dipindahtangankan selama empat tahun. Pembebasan bea masuk pun baru berlaku untuk 27 jenis komponen. Padahal ada ratusan jenis komponen yang terkena bea masuk 5-7,5 persen dari harganya.
Masalah kian berat karena maskapai penerbangan berhadapan dengan melejitnya harga avtur dan melemahnya nilai tukar rupiah. “Iklim dan ekosistem usaha transportasi udara saat ini kurang kondusif,” kata Bayu pada Senin, 24 Juni 2024. Walhasil, banyak maskapai penerbangan yang tak mengoperasikan sebagian pesawat mereka demi menekan biaya.
Situs web konsultan penerbangan internasional, CH-Aviation, menyebutkan Wings Air—anak usaha Lion Air Group—memarkir sekitar 30 dari 73 pesawat ATR-72 yang mereka operasikan. Lion Group juga memindahkan pesawat ke negara lain yang biaya operasionalnya lebih murah.
Ketua Umum Indonesia National Air Carriers Association (INACA) Denon Prawiraatmadja di Heliport Whitesky Aviation, Cengkareng, Tangerang, Banten, 25 Juni 2024. Tempo/Tony Hartawan
Menurut laporan CH-Aviation pada 11 Juni 2024, manajemen Lion pun meminta pemerintah melonggarkan pajak impor suku cadang. Tempo meminta tanggapan Corporate Communications Strategic Lion Air Danang Mandala Prihantoro. Namun dia hanya menjawab, “Terima kasih atas pertanyaannya.” Sedangkan Denon Prawiraatmadja mengatakan, “Itu dampak dari biaya-biaya yang tinggi.”
Penghentian operasi sebagian pesawat menjadi siasat maskapai penerbangan dalam menghadapi biaya operasi yang tinggi. Apalagi pesawat baling-baling, seperti ATR-72, memerlukan biaya operasi yang lebih tinggi ketimbang pesawat jet. Menurut Bayu Sutanto, biaya operasi per kursi per kilometer atau CASK ATR-72 lebih tinggi lantaran kapasitas angkutnya, 70 kursi, masih di bawah rata-rata pesawat jet komersial yang di atas 100 kursi.
Di sisi lain, pendapatan per kursi per kilometer atau RASK ATR-72 dibatasi dengan adanya tarif batas atas. “Tidak adanya penyesuaian tarif batas atas di tengah perubahan kurs, kenaikan harga avtur, dan nilai inflasi sehingga selisih antara RASK dan CASK menjadi negatif atau rugi,” tutur Bayu.
Ketua Asosiasi Pengguna Jasa Penerbangan Indonesia Alvin Lie punya informasi lain. Menurut mantan anggota Ombudsman Republik Indonesia dan Dewan Perwakilan Rakyat ini, pesawat baling-baling butuh komponen serta bahan tertentu untuk memicu putaran mesin. Pemicu ledakan ini, kata Alvin, masuk kategori bahan peledak yang butuh izin khusus sehingga menambah panjang proses perizinan yang harus dipenuhi maskapai.
Selain itu, menurut Alvin, bengkel untuk perawatan pesawat ATR-72 hanya ada tiga lokasi di dunia dan yang terdekat ada di Singapura. “Antreannya panjang sehingga pesawat tidak bisa digunakan pada jangka waktu tertentu," ujarnya. Dampaknya, utilisasi atau intensitas penggunaan pesawat itu menjadi rendah, sementara operasinya perlu biaya tinggi.
Masalahnya, maskapai tidak punya pilihan lain. Pesawat ATR-72 dianggap lebih efisien digunakan untuk rute jarak pendek dan volume penumpang yang lebih sedikit. Penggunaan pesawat jet, menurut Alvin, baru efisien jika penumpang banyak dan jarak tempuh lebih jauh lantaran konsumsi bahan bakarnya lebih tinggi daripada ATR-72. Biaya lepas landas dan mendarat pesawat jet juga relatif lebih tinggi daripada pesawat baling-baling, selain memerlukan landas pacu yang lebih panjang.
Agar bisa menghadapi kondisi seperti ini, Direktur Utama Garuda Indonesia Irfan Setiaputra meminta pemerintah menaikkan tarif batas atas penerbangan. Menurut dia, beban maskapai makin tinggi karena harga avtur dan kurs sudah meningkat cukup tinggi. "Kenaikan tarif batas atas akan banyak membantu,” ucap Irfan.
Tapi, menurut Alvin Lie, kenaikan harga tiket pesawat juga ada mudaratnya. Ketika harga tiket naik di atas daya beli masyarakat, angka permintaan akan turun. Ketika angka permintaan turun, maskapai dihadapkan pada beberapa pilihan lagi: menurunkan lagi harga tiket, mengurangi rute, atau mengurangi frekuensi terbang. Dari tiga opsi tersebut, menurunkan harga tiket dianggap sulit dilakukan sehingga dua opsi lain menjadi lebih mungkin dijalankan. "Ujung-ujungnya, penumpang yang kena imbasnya," katanya.
Pada 2019, Kementerian Koordinator Perekonomian sudah menerima masukan dari maskapai penerbangan untuk mengkaji kembali pembebasan bea masuk. Termasuk keringanan PPN dan pajak penghasilan atau PPh impor untuk suku cadang serta peralatan perawatan pesawat yang porsinya bisa mencapai 8 persen dari biaya perawatan.
INACA menyitir kesepakatan dalam pertemuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) Tokyo Round 1979, yang mengamanatkan perdagangan komponen dan suku cadang pesawat udara sipil dikecualikan dari lartas, bea masuk, serta pajak demi menjaga kelaikan operasi dan tingkat keamanan.
Toh, hingga empat tahun kemudian, masalah itu belum terpecahkan. Pada November 2023, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menyampaikan persoalan ini kepada Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Namun sampai sekarang belum ada perubahan.
Kepala Bagian Kerja Sama Internasional, Hubungan Masyarakat, dan Umum Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan, Mohammad Khusnu, mengatakan upaya yang telah dilakukan adalah meminta pelonggaran ketentuan lartas yang kini telah diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024.
Di luar soal suku cadang, Khusnu mengatakan pemerintah sudah membuka peluang bagi maskapai untuk mengenakan fuel surcharge. Fuel surcharge adalah pemberlakuan biaya tambahan akibat fluktuasi harga bahan bakar. “Nilai biaya operasi pesawat kami evaluasi per tiga bulan,” ucapnya.
Khusnu menyebutkan perubahan tarif batas atas penerbangan sudah masuk rencana kebijakan yang sedang dipertimbangkan oleh pemerintah. Namun opsi tersebut masih dikaji dengan mempertimbangkan keberlangsungan usaha maskapai penerbangan dan pelindungan konsumen.
Ketua Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi mengatakan pemerintah seharusnya sadar bahwa biaya impor komponen pada akhirnya membuat konsumen harus membayar mahal ongkos penerbangan. “Seharusnya pemerintah tidak mengenakan pajak tinggi untuk komponen pesawat yang notabene angkutan umum dan layanan publik.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Mahal Biaya, Gagal Mengudara"