BULAN Januari, saat salju mulai menyelimuti belahan bumi Utara, belum lagi tiba. Sidang OPEC di Wina juga baru akan diselenggarakan 7 Desember. Tapi kalangan pedagang minyak sudah kasak-kusuk mengenai tindakan yang bakal diambil anggota OPEC menjelang pertemuan itu. Indonesia misalnya, menurut koran Asian Wall Street Journal pekan lalu, diberitakan sedang memikirkan gagasan untuk menjual minyaknya secara netback dengan Caltex Pacific Indonesia. Di bawah persetujuan dengan cara itu, penjualan minyak eks Caltex kelak akan dikaitkan dengan harga produk minyak di pasar bebas dikurangi biaya transportasi dan ongkos pengilangan. Singkat cerita, harga minyak Minas, yang kini dilego dengan harga kontrak US$ 28,53 per barel, bisa dijual lebih murah US$ 4. "Enam bulan lalu mereka (para pejabat perminyakan Indonesia) segan membicarakan potongan harga dalam bentuk apa pun, sekarang mereka siap berunding," kata seorang pejabat perminyakan seperti di kutip koran itu. Penjualan secara netback tampaknya mulai menjadi salah satu pilihan, di samping upaya menjual minyak secara tunai, dan kontrak jangka panjang. Cara penjualan seperti ini sebenarnya mulai diperkenalkan Arab Saudi, September lalu, dalam upaya menaikkan volume ekspor minyaknya justru di tengah cuaca musim dingin di belahan Utara. Dan, rupanya, penjualan minyak berat Saudi yang tidak laku itu dapat dikatrol. Jumlah produksinya memasuki kuartal keempat itu naik dari sekitar 2 juta barel jadi 3,2 juta barel per hari. Tapi usaha Arab Saudi menjual minyak mentahnya dengan cara itu dinilai kalangan pengamat merupakan akhir usaha panjang OPEC memperkuat struktur harga minyaknya. Beberapa bulan sebelumnya, Saudi juga sempat menggegerkan gara-gara membeli sejumlah pesawat Boeing 747 dengan beberapa juta barel minyak mentah secara imbal beli. OPEC memang banyak mengalami problem di dalam, sesudah 13 anggotanya mulai Januari lalu sepakat untuk tidak lagi terikat pada harga patokan. Cara penjualan seperti Saudi itu mungkin baik untuk mempertahankan posisi minyak Indonesia - baik di pasar Jepang maupun Amerika. Menurut para pedagang minyak di Singapura, jumlah minyak Minas milik Caltex yang akan dijual dengan cara netback itu ditaksir meliputi 25% dari rata-rata produksi hariannya yang bergerak antara 120 ribu dan 150 ribu barel. Ketentuan itu juga akan mencakup minyak Duri antara 35 ribu dan 40 ribu barel, dan akan berharga US$ 1 di bawah harga resmi yang US$ 25 per barel. Mungkin benar penjualan minyak dengan cara itu akan merupakan insentif bagi pembeli di Amerika, yang bisa memotongkan ongkos angkutnya cukup lumayan. Kebetulan penjualan minyak ke Amerika sedang menunjukkan gejala turun: dari 92,5 juta (1983) jadi 89,6 juta barel (1984). Juga ke Jepang - pembeli minyak terbesar dari sini - yang dua tahun terakhir membeli sekitar 45% dari seluruh ekspor minyak Pertamina. Diskusi untuk menjual minyak secara lebih besar ke kedua pasar utama itu kabarnya sudah pernah dilakukan. Jalan yang pernah ditempuh Saudi itu rupanya tak disukai Iran. Sebab, harga minyak jatuhnya dianggap akan murah sekali, dan mereka akan sulit mengontrol volume penjualannya. Teheran sendiri pernah punya pengalaman menjual secara netback sekitar 450 ribu barel dari produksinya yang 1,5 juta barel sehari ke sejumlah negara Eropa. Jika benar Iran tak berusaha memperbarui penjualan dengan cara itu, ekspornya ke sana bisa turun jadi sekitar 300 ribu barel per hari. Baik tidaknya gagasan menjual dengan cara itu memang masih jadi bahan perdebatan. Menteri Pertambangan dan Energi Subroto, yang juga Presiden OPEC, tak menutup kemungkinan terjadinya perubahan kebijaksanaan harga minyak. "Sejauh ini kami belum mengambil tindakan nyata untuk menghindari melemahnya harga minyak," katanya tengah November. "Tapi kami akan membicarakan soal kebijaksanaan harga dan cara lain yang diharapkan akan membantu memperkuat pasar minyak."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini