HARGA pupuk urea rupanya tak bisa dipupuk supaya naik terus. Kurang dari sepuluh bulan terakhir ini, harganya bisa anjlok hampir 50%: dari US$ 170 (Februari) jadi tinggal US$ 90 per ton (pertengahan November) di atas kapal. Padahal, ketika Asosiasi Industri Pupuk Asia Tenggara bertemu di Denpasar, belum lama ini, harga urea masih disebut-sebut US$ 120 per ton. Merosotnya harga demikian tajam itu, tentu, sangat mengagetkan. Bayangkan, ketika semua tenaga sedang dipusatkan untuk menggenjot ekspor urea (karena ekspor minyak makin payah), harganya mendadak loyo. Pemerintah ternyata tak mau mundur. "Kami tak mau menghentikan ekspor. Sayang, dong, nama Indonesia sudah cukup dikenal," kata A. Salmon Mustafa, Ketua Asosiasi Produsen Pupuk Indonesia. Kesinambungan suplai memang penting supaya pelanggan tidak lupa, atau mencari penjual baru. Dalam situasi bertahan itu, devisa yang bakal diperoleh dari ekspor 746 ribu ton urea tahun ini diduga sekitar US$ 84,5 juta. Menurut Dirjen Industri Kimia Dasar, Sidharta, jika urea itu turun lagi sampai US$ 80, pupuk Indonesia dianggap masih mampu bersaing. "Tapi kalau harga tinggal US$ 75, kami pikir-pikir dulu," katanya. Jatuhnya harga urea itu memang cukup merepotkan. Sebab, pemerintah, dalam dua tahun terakhir ini, menambah kapasitas terpasang pabrik urea dengan meresmikan beroperasinya tiga pabrik baru: Asean Aceh Fertilizer dan Pupuk Iskandar Muda (keduanya di Aceh), serta Pupuk Kaltim. Kini, dengan 10 pabrik, kapasitas terpasang untuk menghasilkan urea berjumlah 4,5 juta ton. Realisasi produksi tahun ini diduga 3,79 juta ton. Selain itu ada juga pupuk TSP (dua pabrik) kapasitas satu juta ton, dan ZA (dua pabrik) 450 ribu ton. Peluang membangun pabrik pupuk secara besar-besaran itu memang terbuka lebar karena cadangan gas alam di Arun (Aceh), Bontang (Kal-Tim), dan Palembang tersedia cukup melimpah. Sebagian dari gas alam itu, seperti diketahui, telah diolah menjadi gas alam cair (LNG), dan dijual ke Jepang. Usaha ekspor urea baru dimulai 1983, sesudah kebutuhan petani akan pupuk itu dianggap jauh dari mencukupi. Pembeli terbesar urea adalah India dan RRC - di samping yang kecil-kecil, seperti Bangladesh, Malaysia, Filipina, Nepal, Sri Lanka, dan Australia. Karena itu, ketika tahun ini Beijing mengurangi pembelian pupuk kimianya dan menganjurkan agar petani memperbanyak pemakaian pupuk kandang, segera terasa pasar pupuk internasional seperti kelebihan suplai. Maklum, negara seperti Cina ini bisa menghabiskan pupuk 4 juta ton sekali impor. Para petani Amerika, kabarnya, juga mengubah pola tanam mereka hingga menyebabkan permintaan akan pupuk urea dari sana jadi berkurang. Tapi, salah satu faktor penting yang menyebabkan harga pupuk anjlok, agaknya, karena suplai urea ke pasar internasional makin besar. Arab Saudi, Kuwait, dan Qatar (negara-negara Teluk), kini dikenal pula sebagai penghasil barang-barang industri petrokimia. Ketiga negeri itu juga mempunyai cadangan gas alam melimpah, yang memberi iklim bagi industri petrokimia tumbuh subur. Saudi Basic Industries Corp. (Sabic), misalnya, tahun ini siap melempar ke pasar lebih dari 500 ribu ton urea dengan harga bersaing. Dua pabrik pupuk ureanya, dengan kapasitas terpasang 880 ribu ton, sudah di resmikannya tahun lalu. Untuk memasarkan pupuk dan hasil-hasil industri petrokimianya, Sabic membangun jaringan pemasaran di Hong Kong. Bahkan beberapa perusahaan Jepang, konon, bertindak pula sebagai distributornya ke sejumlah negara Asia. Menurut Joni Marsinih, Direktur Utama PT Pusri, pupuk urea eks Saudi, Qatar, dan Kuwait memiliki daya saing tinggi, karena gas mereka peroleh hampir hampir secara gratis. Tapi di sini, pabrik pupuk harus membelinya dari Pertamina US$ 1 per meter kubik - masih lumayan dibandingkan dengan harga beli industri semen yang US$ 3. Untung saja, kewajiban jangka pendek Pusri tidak sampai menyebabkan harga pokok pupuknya jadi mahal. Karena itu, agaknya sebagian besar urea ekspor dipenuhi Pusri. Sebagai pabrik pupuk yang sudah bisa bekerja dengan kapasitas penuh, dan tidak lagi terlalu besar harus menyusutkan barang modal, serta membayar bunga, maka harga pokok urea Pusri dipandang cukup bersaing. Tidak demikian dengan Pupuk Kaltim atau Pupuk Iskandar Muda. Karena itu, seperti disebut Dirjen Sidharta, kalau pemerintah beli pupuk dari Pusri harganya pasti lebih murah dibandingkan Pupuk Kaltim. "Harga beli itu di tetapkan berdasarkan besar kecilnya biaya pokok pabrik bersangkutan," katanya. Jadi, baik terhadap Pupuk Kaltim maupun Iskandar Muda yang masih "belajar berjalan", pemerintah membeli pupuk mereka dengan harga di atas harga Pusri atau katakanlah harga internasional. Masih pula pemerintah memberi kesempatan laba. Tapi subsidi terselubung kepada industri itu belakangan mulai terasa memberatkan pemerintah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini