Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang Terbanting Di Ujung Resesi

Sasaran penerimaan devisa dari ekspor barang-barang utama bakal tak tercapai, karena ekspor beberapa komoditi seperti kayu lapis, karet, timah dan nikel tidak sesuai dengan yang diproyeksikan. (eb)

30 November 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MENJUAL barang lebih banyak belum tentu akan menggelembungkan kantung. Gambaran suram seperti itu kini sedang membayangi peluang sejumlah komodlti ekspor utama Indonesia dalam mengumpulkan devisa. Adalah Menteri Perdagangan Rachmat Saleh sendiri yang, belum lama ini, menyatakan bahwa harga beberapa komoditi ekspor utama dari sini sedang menurun. Karena itu, sasaran ekspor nonmigas US$ 7 milyar tahun anggaran berjalan ini diduga bakal tak tercapai. Untuk semester pertama tahun ini, realisasi ekspor nonmigas itu di perkirakan baru mencapai US$ 3 milyar. Mungkin tidak terlalu menggembira-kan jika diingat realisasi ekspor untuk seluruh tahun anggaran lalu mencapai lebih dari US$ 5,9 milyar. "Kalau dilihat angka statistik maka akan tampak ekspor komoditi nonmigas dalam nilai memang naik tapi kenaikannya ndah seperti yang diproyeksikan," ujar Menteri Rachmat Saleh. Usaha menggenjot ekspor barang-barang nonmigas itu, rasa-rasanya sudah hampir maksimal dilakukan. Kayu lapis misalnya, realisasi ekspornya dari Januari-September lebih dan 2.673 ribu m3 dengan nilai US$ 581 juta. Padahal pada periode yang sama tahun lalu, realisasi ekspornya hanya 2.146 ribu m3 dengan nilai US$ 474 juta. Dalam soal harga jual, yang dicapai tahun ini rata-rata sekitar US$ 217, sedangkan tahun lalu masih US$ 221 per m3. Ikhtiar menaikkan ekspor itu sudah dilakukan dengan berusaha memasuki pasar-pasar baru. Supaya para pengusaha terangsang, dan kayu lapis dari sini punya daya saing tinggi, Asosiasi Panel Kayu Indonesia (Apkindo) memberi insentif US$ 5 per m3 bagi eksportir yang bisa membuka pasar baru. Insentif itu akan berarti jika kemudian ditambahkan dengan sertifikat ekspor yang mereka peroleh. "Uang insentif itu kami pungut dari anggota yang memasarkan kayunya di pasar tradisional," kata Bob Hasan, Ketua Umum Apkindo. Tahun ini, pasar terbesar kayu lapis tampaknya bukan lagi Amerika, melainkan RRC/Hong Kong, baru kemudian Amerika dan Singapura. Yang masih jadi pikiran Apkindo adalah soal kedisiplinan anggota dalam mematuhi ketentuan harga jual seperti diatur kelompok pemasaran bersama. Karena problem tiap-tiap perusahaan tidak sama, belum lama ini, ada beberapa anggotanya kena skorsing gara-gara melanggar kesepakatan harga. Bagi perusahaan yang mempunyai utang besar, usaha asosiasi itu agaknya kurang banyak menolong. Karet, yang pernah menjadi pengumpul devisa nomor dua, setelah kayu, menghadapi problem lebih berat. Pada tahun lalu karet masih bisa menyetor devisa US$ 958 juta dari penjualan 1.122 ribu ton, tapi tahun ini diperkirakan hanya akan US$ 750 juta - US$ 800 juta dengan volume 950 ribu ton. "Dari volume ini bisa dilihat bahwa daya serap pasar masih kuat, hanya harganya yang turun," ujar Harry Tanugraha, Direktur Pelaksana Gabungan Pengusaha Karet Indonesia. Tahun lalu, harganya masih Sing.$ 0,245, lalu awal 1985 ini jadi Sing.$ 0,195, dan akhirnya kini tinggal Sing.$ 0,162 per kg. Menurut Harry, turunnya harga karet ini gara-gara INRO (organisasi konsumen dan produsen karet dunia) melepas cadangannya. "Kalau INRO masih bertindak seperti sekarang, maka di tahun 1986 saya yakin harganya tidak akan membaik," katanya. Sebagai organisasi karet internasional, INRO beranggotakan 8 negara produsen termasuk Indonesia, dan 24 negara konsumen. Sialnya, di saat harga karet kini sedang meluncur turun organisasi ini masih mempunyai cadangan sekitar 400 ribu ton, dan dengan cadangan itulah INRO idealnya berusaha mengamankan harga karet dengan mencari harga rata-rata. "Bukan malah membikin harga karet jadi rendah seperti sekarang," kata Harry. Usaha menaikkan ekspor adalah dengan memperbaiki daya saingnya. Salah satu cara adalah dengan memperpanjang pembukaan L/C impor, yang biasanya untuk 180 hari jadi 210 hari, atau 360 hari. Jika kemudahan seperti itu akan diberikan ke negara sosialis eksportir harus melakukannya ekstra hati-hati, kecuali untuk Soviet yang memang punya uang. "Jika kesempatan itu kita ambil, saya yakin, dalam lima tahun mendatang, Indonesia bakal jadi negara karet nomor satu lagi," katanya. Untuk komoditi kopi, mungkin agak sulit. Cukup bagusnya hasil bersih ekspor kopi tahun lalu adalah berkat usaha keras eksportir menaikkan penjualan di pelbagai negara kuota dengan harga di bawah harga organisasi kopi internasional (ICO). Tahun lalu ekspor kopi bisa 312 ribu ton (US$ 576 juta), dan tahun 1985 ini (sampai Juli) sudah 181 ribu ton (US$ 325 juta). Beruntung, harga rata-rata yang terjadi di tahun 1984 dan 1985 itu tidak berbeda jauh. Dari ICO, untuk 1985-1986 ini, kuota kopi Indonesia naik dari 141.000 ton jadi 145.737 ton. Dari sektor bahan galian, seperti timah dan nikel, harganya sama-sama remuk. Kacaunya pasar London Metal Exchange menyebabkan pamor timah seperti makin suram. Juga nikel. Harganya kini bahkan tinggal US$ 1,78 per pound, padahal di awal 1980 masih US$ 2,96 per pound. Menurut Hitler Singawinata, Wakil Presiden Inco, turunnya harga itu lebih banyak karena dunia kelebihan suplai. Karena itulah, untuk 1985 ini, Hitler memperkirakan realisasi ekspornya hanya US$ 105 juta - sampai Juli 30 ribu ton dengan nilai US$ 66 juta. Tahun lalu, realisasi ekspornya 51 ribu ton dengan nilai US$ 116 juta. Usaha menaikkan ekspornya tampaknya sulit dilakukan, mengingat negara sosialis pun mengalami problem serupa. Tak jelas mulai kapan harga nikel, karet, kopi, udang, dan kayu lapis akan membaik. Usaha menambal hilangnya kesempatan memperoleh dolar itu dengan barang-barang manufaktur lain, tampaknya masih sulit dilakukan. Sebab, dari gambaran hasil ekspor itu kelihatan bahwa struktur industri Indonesia sesungguhnya belum banyak berubah juga. Eddy Herwanto Laporan Budi K. & Rudy N. (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus