DUA sarana baru untuk meningkatkan pendapatan pemerintah di sektor non-migas tengah dipersiapkan lagi. Rancangan undang-undang (RUU) pajak bumi & bangunan serta RUU bea meterai, pekan lalu, dibahas DPR. Sejumlah pertanyaan dan saran Dewan tentang kedua RUU tersebut ditanggapi pemerintah dalam satu berkas tak sampai 12 halaman, yang dibacakan Menteri Keuangan Radius Prawiro. Pajak bumi & bangunan diusulkan pemerintah sebagai rangkuman pengganti berbagai bentuk pajak dan pungutan yang dilakukan pemerintah daerah untuk benda-benda tak bergerak. Misalnya, pajak kekayaan (tanah), pajak rumah tangga, pajak jalan, dan pungutan sewa tanah negara yang disebut Ipeda (iuran pendapatan daerah). Pajak bumi dan bangunan, yang akan dikumpulkan dengan bantuan aparat pemerintah daerah itu, 90% akan dijadikan sumber pendapatan pemerintah daerah. Pajak itu, menurut Radius, mencerminkan rasa keadilan dan semangat kegotong-royongan. Beda dengan dua sistem perpajakan baru yang sudah lebih dahulu dijalankan - pajak penghasilan (PPh) sejak 1983 dan pajak pertambahan nilai (PPN) sejak tahun ini - pajak baru yang dirancangkan dan akan dijalankan pemerintah mulai Januari 1986 itu tidak memberikan pembebasan pajak atas kekayaan di bawah nilai tertentu. Tentu saja masih ada kekecualian, seperti tanah dan bangunan ibadat, pekuburan, kedutaan, dan, kabarnya, tanah dan bangunan yang dihuni para janda para pahlawan meskipun lokasinya di daerah elite. Tarif pajak yang diusulkan seragam: 0,5%. Berarti, ada penyeragaman dari 12 macam tarif atas benda-benda tak bergerak yang selama ini dipungut. Ipeda misalnya, selama ini 5%, tarif verponding 0,5%, dan tarif pajak kekayaan 0,5%. Nilai jual tanah dan bangunan memang tak bisa di seragamkan. Berbagai pajak itu, menurut Dirjen Pajak Salamun A.T., "Sudah cukup sebagai sarana bagi pemerintah untuk mencari dana". Namun, ia membantah bahwa gencarnya pemerintah menelurkan sistem perpajakan baru sebagai usaha untuk mengeduk sebanyak-banyaknya dana masyarakat. Sistem-sistem perpajakan baru itu sudah sejak 1974 ingin dibuat pemerintah, katanya, untuk merombak sistem lama menjadi sederhana, mudah dimengerti, dan dipandang adil. Dari kalangan DPR, memang ada dorongan agar pemerintah mempercepat penggarapan sistem perpajakan, terutama sejak ekspor migas dan nonmigas, yang menjadi sumber utama penerimaan pemerintah, mulai melorot dalam tahun-tahun terakhir. Antara lain, Hamzah Haz, 45, yang sudah 14 tahun duduk di DPR dan kini menjadi Wakil Ketua Komisi APBN, mengatakan, penerimaan dari pajak bumi & bangunan itu diperkirakan Hamzah akan mencapai Rp 200 milyar - Rp 300 milyar. Pendapatan pemerintah dalam APBN 1984-1985 dari Ipeda Rp 166,7 milyar, pajak rumah tangga Rp 9 milyar (rencana), dan pajak kekayaan tanah (PKk) Rp 46,4 milyar - sehingga seluruhnya berjumlah lebih dari Rp 200 milyar. Data ini dari Dirjen Pajak Salamun A.T. Hamzah merasakan semacam ganjalan bahwa kebijaksanaan baru di bidang perpajakan seperti ada yang bersifat jebakan. Yang dirasakannya, antara lain, tentang pengampunan pajak yang belum lama ini dijalankan pemerintah. Dari laporan para pemohon pengampunan pajak, kini pemerintah memiliki data daftar kekayaan, yang secara tak langsung dapat dipakai untuk menyusun kebijaksanaan baru. Tak dijelaskannya apakah kebijaksanaan pengampunan pajak itu telah dipergunakan pemerintah dalam merancang undang-undang yang baru diusulkan ke DPR itu. Dalam APBN, pendapatan pemerirJtah dari pemohon pengampunan pajak di masukkan dalam kelompok "Pajak Lain-Lain", yang disatukan dengan bea lelang dan bea meterai. Pada tahun anggaran 1984-1985, jumlahnya Rp 75,4 milyar, sedangkan dalam semester I tahun anggaran berjalan (1985-1986) jumlahnya sudah mencapai Rp 130 milyar. Kenaikan luar biasa itu, kemungkinan akibat kebijaksanaan pengampunan pajak dan pengaruh tarif bea meterai Rp 10 yang dinaikkan jadi Rp 100 (untuk tanda penerimaan uang) dan meterai Rp 25 yang dinaikkan jadi Rp 500 (untuk surat-surat berharga), yang diberlakukan sejak Maret lalu. Kini, lebih dari 100 macam tarif bea meterai diusulkan dalam dua kelas: Rp 500 untuk dokumen transaksi Rp 100.000 - Rp 1.000.000, dan di atas itu dikenakan bea meterai Rp 1.000. Rupanya, belum banyak usul dilontarkan DPR atas rancangan itu. Namun, tentang tarif tunggal untuk pajak bumi dan bangunan, menurut Hamzah Haz, masih banyak yang belum setuju. "Tarif 0,5% itu dianggap terlalu tinggi," katanya. Lalu pukul rata bea meterai yang hanya dibagi dalam dua kelas itu pun dilihat akan menimbulkan beban tak seimbang bagi mereka yang mampu dan tidak mampu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini