ORANG mungkin tidak akan percaya bahwa bank-bank pemerintah tidak sehat. Kendati dewasa ini mereka menguasai sekitar 65% kekayaan perbankan nasional, nyatanya mereka hidup dari suntikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI). Kalau dilihat dari satu sisi ini saja, maka sulit untuk mempertahankan kemantapan bank-bank pemerintah itu. Kembali ke soal suntikan kredit, pekan lalu Gubernur Bank Sentral berbicara tentang Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) di sidang Komisi VII DPR-RI. Seperti diketahui, pada bulan Januari 1990, Pemerintah telah menetapkan bahwa KLBI kini akan dibatasi hanya pada KUT (kredit usaha tani), kredit kepada koperasi, kredit pengadaan pangan, serta kredit untuk meningkatkan investasi. Keempat jenis KLBI, "Semuanya pada April 1990 berjumlah Rp 6.690 milyar," kata Gubernur Mooy. Sedangkan KLBI lainnya, seperti kredit ekspor, KIK/KMKP, KI dan KMK sampai dengan Rp 75 juta dan kredit kontraktor nasional, kesemua itu pada akhir April 1990 berjumlah sekitar Rp 10.875 milyar. Dana terakhir yang hampir Rp 11 trilyun itulah yang kini dalam tahap penarikan. Adapun masa penarikan ternyata akan berlangsung cukup panjang. "Karena kredit-kredit tersebut terdiri dari kredit modal kerja (sampai dengan 1 tahun) maupun kredit investasi (3-10 tahun), maka penarikannya akan dilakukan dalam jangka waktu antara 1-10 tahun," kata Mooy. Diakui oleh Adrianus Mooy, dari sekitar Rp 70 trilyun kredit yang disalurkan perbankan, ada Rp 17,5 trilyun lebih berasal dari KLBI. Sebagian besar KLBI itu disalurkan lewat bak-bank pemerintah. Jumlah KLBI di BNI, misalnya, masih sekitar Rp 1,7 trilyun. Di BDN masih Rp 1,5 trilyun, di BRI sekitar Rp 1,5 trilyun, sedangkan di Bank Exim sekitar Rp 1,3 trilyun. Total KLBI di empat bank itu saja sudah berjumlah Rp 6 trilyun. Belum lagi yang "mendekam" di Bapindo, BDN, dan BTN. Dalam melaksanakan tugas menyalurkan KLBI, bank-bank pemerintah itu bukan bertindak sekadar juru bayar BI. Mereka memungut biaya sekitar 3% saja. Belum lagi kesempatan yang mereka peroleh dari giro raksasa BUMN yang belum berani beralih ke bank-bank swasta. Tak mengherankan jika bank-bank pemerintah bisa meraup keuntungan begitu besar. Dalam keadaan mantap seperti itu, tentu saja bankir pemerintah tak bisa menerima bila dikatakan tidak sehat. Walaupun penilaian BUMN yang disusun Departemen Keuangan jelas-jelas mencantumkan bahwa hanya satu dari tujuh bank pemerintah yang dinilai benar-benar sehat. Sekalipun begitu, Dirut BNI Kukuh Basuki mengakui, pinjaman yang disalurkan banknya jauh lebih besar dari jumlah dana yang dihimpun sendiri ditambah modal dan cadangan. BNI itu, menurut Berita Perbanas, pada akhir 1989 modal & cadangan BNI ditambah dana pihak ke-3 (giro, deposito, tabungan) berjumlah cuma Rp 5,2 trilyun. Tetapi pinjaman yang diberikan mencapai Rp 10 trilyun. Hal itu mungkin terjadi karena bank nasional terbesar itu berfungsi sebagai salah satu sungai dana KLBI. "Tapi, kami kan tidak pernah menutup kekurangan itu dengan pinjaman antarbank. Sebaliknya kami menjadi pemasok," ujar Kukuh yang ditemui TEMPO di tengah-tengah pertemuan para bankir Asean di Bali, pekan lalu. Dengar pula pembelaan Direktur Perkreditan BRI, Ir. Sugianto. Di BRI, pada Maret 1990, dana masyarakat (deposito, giro, tabungan) berjumlah Rp 6,6 trilyun, sementara kredit yang disalurkan mencapai Rp 12,1 trilyun, di antaranya Rp 6 trilyun untuk pengusaha golekmah (golongan ekonomi lemah). Kredit untuk golekmah itu terutama dari dana KLBI. "Itu kan karena perintah. Kalau mau, kami bisa pilih-pilih," ujar Sugianto. Ia lalu merujuk Bank Niaga, yang telah menyalurkan kredit jauh lebih besar daripada dana pihak ke-3. Dalam Berita Perbanas edisi Maret 1990, Bank Niaga telah menyalurkan kredit Rp 1,5 trilyun sedangkan dana pihak ke-3 cuma Rp 1 trilyun. "Apakah berarti Bank Niaga tidak sehat? Kan bisa saja dia mencari tambahan dana dari sumber lain. Yang penting, kredit yang disalurkan masih memberikan marjin keuntungan," kata Sugianto. Tapi menurut Gubernur Bank Sentral, bank yang menggantungkan hidupnya bukan pada kekuatan sendiri tidak sehat. Maksud Mooy, mereka itu bank-bank yang malas berusaha menghimpun dana masyarakat. Tapi bagaimana dengan tugas menyalurkan KLBI yang dibebankan pada pundak bank-bank pemerintah? Bukankah kalau disodori, bank-bank swasta juga tak menolaknya? Kabarnya, bahkan ada bank swasta yang menjadi besar karena bermain fasilitas KLBI itu. Siapa pun paham, biarpun permainan bank terasa mencolok, yang namanya rahasia perbankan memang sulit dibuktikan. Pemerintah menurunkan Pakto (paket deregulasi Oktober 1988), antara lain untuk menimbulkan keseimbangan antara bank-bank swasta dan bank-bank pemerintah. Bank-bank swasta dirangsang untuk lebih agresif menghimpun dana. Setahun setelah rangsangan itu, keluarlah kebijaksanaan Januari 1990 yang mulai memangkas fasilitas KLBI. Bank swasta papan atas memang bergerak cepat. Dalam setahun belakangan ini, sembilan bank papan atas telah terjun ke pasar modal dan meraup dana sekitar Rp 900 milyar. Bahkan ada yang sudah terjun ke pasar uang internasional. Bank Danamon sudah menjual FRCD (floating rate certificate of deposits) bernilai US$ 25 juta. Lippobank dan BII menerbitkan note issuance, masing-masing US$ 100 juta. Dalam kompetisi yang semakin ketat sekarang ini, celakalah mereka yang malas bergerak dan hanya pandai menggantungkan hidupnya pada pinjaman antarbank. Atau hanya bersandar pada penjualan surat utang kepada BI (SBPU). Apalagi ketika bank-bank pemerintah, yang pernah memasok pinjaman antarbank (call money) di pasar uang, kini malah harus menyiapkan dana untuk membayar kembali KLBI. Apa yang mereka lakukan adalah menjual SBPU (sertifikat berharga pasar uang). Kalau terus-terusan begitu, Bank Indonesia tentu akan mencurigai tingkat kesehatannya. Untuk meminjam di pasar uang antarbank juga sudah sulit. Ini terbukti dengan memuainya suku bunga pinjaman antarbank (overnight) belum lama ini. Bahkan bank-bank pemerintah pun, belakangan, tampak lebih agresif menghimpun dana, baik dari dalam negeri maupun di luar negeri. BNI, BRI, dan BBD belum lama ini telah menerbitkan FRCD masing-masing seharga US$ 125 juta, US$ 150 juta, dan US$ 100 juta. Sedangkan BDN menerbitkan revolving credit facility bernilai US$ 38 juta. Usaha pengerahan dana di dalam negeri juga ditempuh, antara lain dengan memperkenalkan produk-produk tabungan baru seperti Simaskot (BRI) dan Taplus (BNI). Bahkan ada yang dengan embel-embel berhadiah seperti Tabungan Jumbo (BBD) dan Tabanas (BTN). Dan bulan lalu, bank-bank pemerintah juga menaikkan suku bunga deposito. Langkah terakhir itu ternyata didukung, bahkan dianjurkan pemerintah. "Dalam enam bulan terakhir ini, inflasi sudah mencapai 4,8%, padahal sepanjang tahun lalu hanya 6,2%. Siapa yang mau melakukan investasi di sini, jika inflasi tinggi," kata Dirjen Moneter Oscar Suryaatmadja. Tak mengherankan jika BI belakangan ikut-ikutan menjual SBI (Sertifikat Bank Indonesia). SBI adalah alat bank sentral untuk menyedot dana menganggur di kalangan perbankan. Akibatnya, untuk beberapa bulan mendatang, suku bunga perbankan mungkin terus tinggi. Ini tentu akan mempengaruhi suku bunga pinjaman, baik untuk kalangan pengusaha dan perorangan, yang kini antre membeli mobil atau rumah. Untuk itu mereka bukan saja harus memecahkan tabungan, tapi di masa depan, pendapatannya juga lebih terkuras. Padahal, meningkatnya laju inflasi belum tentu dipacu oleh nafsu membeli masyarakat, yang terlihat semakin menggebu. Max Wangkar, Bambang Aji, dan Sri Pudyastuti R.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini