LEBIH dari 200 turis Jerman dilanda resah. Peristiwa ini terjadi dua pekan lalu, karena pesawat carter milik Condor Flugdienst, Jerman Barat -- yang menerbangkan mereka ke Bali -- tak kunjung datang. Ada apa? Syahdan, Condor, yang sudah lima kali bolak-balik Frankfurt-Denpasar, merasa kecewa karena Pemerintah Indonesia tidak mengizinkan mereka masuk langsung ke Denpasar sebanyak 14 kali. Padahal, turis yang mendaftar sudah 3.500 orang lebih. Akibatnya, maskapai carteran itu merajuk, dan tak mau menjemput kembali turis yang sudah mereka antar. Untunglah, pihak Departemen Perhubungan cepat tanggap. Kendati harus menambah ongkos tambahan untuk pulang, akhirnya turis dari Jerman itu diangkut oleh Garuda dan Lufthansa. Lantas, mengapa Condor dilarang masuk Bali? "Itu sama sekali tidak benar," bantahan Sobirin Misbach, Dirjen Perhubungan Udara. Menurut Sobirin, Pemerintah sudah memberikan izin pada Condor untuk mendarat pada 9 Juli. "Tapi mereka tak kunjung datang." tuturnya menegaskan. Sejauh yang menyangkut penerbangan carter, sikap Pemerintah tidak berubah. "Kami tidak menginginkan masuknya airlines asing yang menyebabkan kematian Garuda," kata Sobirin. Alasan ini sangat masuk akal. Perkara menarik turis asing, Pemerintah akan mengandalkan penerbangan yang memakai sistem reguler. Dengan "cara borongan" itu pula, maskapai penerbangan bisa menekan ongkos angkut, yang lebih murah 50% dibanding tarif penerbangan reguler. Itulah sebabnya, Pemerintah lebih suka memberikan izin pada Lufthansa, Malaysia Airlines, Singapore Airlines, JAL, dan Cathay Pacific karena mereka terbang menurut jadwal. Sementara itu, larangan masuknya pesawat carteran bukan harga mati. Berdasar SK Menperhub No. 20/1970, yang boleh diangkut dengan pesawat carter hanyalah rombongan dengan tujuan sama -- seminar atau liburan, misalnya. Syarat lainnya, permohonan carter masuk ke Indonesia harus diserahkan dua pekan sebelum kedatangan. Dan setiap permohonan harus diajukan satu per satu. "Jadi, tidak bisa sekaligus 14 kali setiap dua minggu, seperti yang diminta Condor," kata Sobirin. Selain itu, perusahan carter tidak diperkenankan melakukan promosi -- seperti memasang iklan di media atau membagikan brosur. Menurut Sobirin, di sinilah letak kesalahan Condor. Melalui Medico (salah satu biro perjalanan yang mempunyai agen di Bali), mereka telah melakukan promosi besar-besaran. Gara-gara urusan carter, turis yang bepergian dengan Lauda Air dari Austria pun sempat dikecewakan. Maskapai milik pembalap Niki Lauda ini tahun lalu hanya memperoleh izin singgah dua kali. "Banyak turis yang kecewa dan membatalkan niatnya ke Bali, padahal sudah telanjur mendaftar," kata Soesilo Joyo Soemarto, pimpinan biro perjalanan Pacto di Bali, yang menjadi perwakilan Lauda Air. Nah, untuk menyedot wisatawan dari Eropa, Soesilo menganjurkan agar jadwal penerbangan ke Bali segera dibenahi. "Sektor pariwisata memang masih membutuhkan deregulasi," kata Joop Ave, Dirjen Pariwisata, yang menghendaki agar deregulasi tidak dilaksanakan secara hantam kromo. Lantas bagaimana membatasi pesawat carter? "Itu sudah air policy kita," kata Sofyan Yusuf, Kapuslitbang Departemen Parpostel. Yang penting, jumlah wisatawan yang berkunjung ke Indonesia tidak akan berkurang hanya karena tingkah satu maskapai carteran. Sekadar catatan, pada Januari-Mei 1990, angka turis asing yang berkunjung ke Indonesia naik 40%, jika dibandingan periode yang sama tahun lalu. Budi Kusumah, Linda Djalil, Ahmad Taufik, dan Joko Daryanto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini