Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Pemerintahan Jokowi resmi kembali mengizinkan aktivitas ekspor pasir laut menyusul diterbitkannya dua peraturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Regulasi itu termaktub dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 22 Tahun 2023 tentang Barang yang Dilarang untuk Diekspor serta Permendag Nomor 21 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Permendag Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Revisi dua Permendag ini adalah amanah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 (tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di Laut) serta usulan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebagai instansi pembina atas pengelolaan hasil sedimentasi laut,” kata Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri (Dirjen Daglu) Kemendag Isy Karim dalam keterangannya di Jakarta, Senin, 9 September 2024.
Lalu apa saja bahaya kembali dibukanya ekspor pasir laut itu? Simak penjelasan lengkapnya berikut ini.
Rugi 5 Kali Lipat
Menanggapi keputusan pemerintah itu, Manajer Kampanye Pesisir Laut dan Pulau Kecil, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Parid Ridwanuddin mengatakan keputusan pemerintah yang kembali membuka keran ekspor pasir laut justru menimbulkan kerugian yang sangat besar.
“Dengan membuka (izin) tambang pasir laut, pemerintah itu rugi lima kali lipat,” ucap Parid ketika dihubungi pada Rabu, 11 September 2024.
Dia kemudian memberi contoh, apabila keuntungan ekonomi yang diperoleh sebesar Rp 10 miliar dari hasil penjualan pasir laut, maka sejatinya negara membutuhkan Rp 50 miliar untuk memulihkan kerusakan yang ditimbulkan.
Memperluas Abrasi
Dia juga menjelaskan bahwa banyak pulau-pulau kecil yang sudah hilang akibat penambangan pasir laut. Selain itu, pengerukan pasir laut yang masif berpotensi mempercepat tenggelamnya wilayah-wilayah pesisir di Indonesia.
“Banyak pulau-pulau yang sudah hilang akibat tambang pasir laut yang pernah dilakukan sebelumnya. Lalu, memperluas abrasi yang akan mempercepat tenggelamnya wilayah-wilayah pesisir,” ucap Parid.
Berkurangnya Hasil Tangkapan Nelayan
Dari sisi sosial, lanjut dia, masyarakat akan merasakan krisis iklim bila proyek itu tetap dilanjutkan. Dia mencontohkan, nelayan di Pulau Rupat, Kabupaten Bengkalis, Riau terpaksa kehilangan hasil tangkapan.
Hal serupa juga dialami oleh nelayan-nelayan di Sulawesi Selatan yang harus beralih profesi, sehingga akhirnya terbelit utang. “Bahkan terjadi perceraian, ya. Ini banyak sebenarnya dampak sosial yang dialami oleh masyarakat akibat penambangan pasir di pesisir laut,” ujar Parid.
Oyuk Ivani berkontribusi dalam penulisan artikel ini.