Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Ini Faktor Utama Penghambat Investasi di Indonesia

Faktor utama yang masih menghambat masuknya investasi di Indonesia adalah soal kurangnya kepastian hukum.

11 Agustus 2019 | 16.32 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Presiden Joko Widodo memimpin Sidang Kabinet Paripurna di Istana Bogor, Jawa Barat, Senin 8 Juli 2019. Pada Sidang Kabinet Paripurna tersebut presiden mengajak para pemangku kepentingan untuk menyelesaikan program kerja yang belum tuntas, menaikkan neraca perdagangan serta meningkatkan investasi. ANTARA FOTO/Wahyu Putro A

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Ekonom Samuel Sekuritas Lana Soelistianingsih menyebut, masih ada kendala yang menjadi penghambat iklim investasi di Indonesia. Meski dalam Ease of Doing Business (EoDB) peringkat Indonesia mengalami perbaikan, Indonesia masih kalah dibanding Thailand dan Malaysia yang sudah masuk dalam kategori ‘very easy’

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Lana, faktor utama yang masih menghambat masuknya investasi di Indonesia adalah soal kurangnya kepastian hukum. "Meski peringkat Indonesia sudah naik, dalam kenyataannya pengusaha dan swasta belum merasakan sekali komitmen pemerintah dalam menciptakan kepastian hukum berinvestasi, pemerintah masih perlu melakukan perbaikan,’’ kata Lana dalam keterangan tertulis yang diterima, Ahad, 11 Agustus 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Padahal, kata Lana, minat investor swasta lokal maupun asing untuk berinvestasi ke sektor yang berkaitan dengan logistik terus meningkat. Sehingga, ia menilai  pembangunan pelabuhan sebenarnya perlu menjadi prioritas pemerintah.

Badan Koordinasi Penanaman Modal atau BKPM mencatat, realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) selama Januari – Juni 2019, tumbuh sebesar 16,4 persen secara tahunan, lebih besar dibanding realisasi penanaman modal asing (PMA) yang tumbuh sebesar 4 persen. Sektor usaha dengan nilai realisasi terbesar di antaranya transportasi, gudang dan telekomunikasi mencapai Rp 71,8 triliun; sementara sektor listrik, gas dan air mencapai Rp 56,8 triliun, konstruksi sebesar Rp 32 triliun , industri makanan sebesar Rp 31,9 triliun, serta perumahan, kawasan industri dan perkantoran sebesar Rp 31 triliun.

Sebelumnya, PT Karya Citra Nusantara, salah satu perusahaan swasta lokal yang dimiliki oleh PT Karya Tekhnik Utama dan PT Kawasan Berikat Nusantara, telah mendapat persetujuan untuk membangun pelabuhan Marunda mulai dari pier I, II dan III pada 2005. Namun, Direktur Utama KCN Widodo Setiadi mengatakan karena PT KBN, yang adalah badan usaha milik negara (BUMN), tidak mampu mengurus proses perizinan KCN pun, kata dia, mengambil alih penyelesaian seluruh proses perijinan agar pembangunan dapat segera diselesaikan.

Widodo mengatakan, akibat keterlambatan proses perizinan tersebut, pekerjaan konstruksi pembangunan pelabuhan yang sejatinya ditargetkan selesai pada 2012, akhirnya molor dan diperkirakan baru akan selesai pada 2023. Saat pembangunan telah dimulai pada 2011, KBN yang memegang 15 persen saham PT KCN, meminta kenaikan porsi saham menjadi mayoritas dan menggugat KCN atas perjanjian konsesi yang dianggap melawan hukum.

"Kami tetap berkomitmen menyelesaikan pembangunan pier II dan pier III, meski memang aktivitas bongkar muat di pier I sudah turun 60 persen, akibat berbagai permasalahan hukum yang sedang kami hadapi,’’ kata Direktur Utama KCN Widodo Setiadi.

Saat ini KCN tengah menanti keputusan kasasi dari Mahkamah Agung atas kasus hukum yang membelitnya. Sejak mencuatnya kisruh pelabuhan Marunda ini, investor yang terlibat dalam pembangunan pelabuhan di seluruh Indonesia telah menolak untuk menggunakan skema konsesi karena khawatir investasi mereka akan mengalami nasib yang sama dengan Marunda.

HENDARTYO HANGGI

 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus