Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengapa Insentif Mobil Listrik Dianggap Diskriminatif

Pengusaha Korea Selatan menganggap aturan insentif kendaraan listrik terbaru tak adil. Bakal ada investasi yang terganjal. 

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pengusaha Korea Selatan mengeluhkan aturan yang mengizinkan impor kendaraan listrik utuh.

  • Insentif kendaraan listrik terbaru dianggap hanya menguntungkan investor baru.

  • Pengusaha Korea Selatan akan menahan investasi.

TELEPON SELULER Lee Kang-hyun tak berhenti berdering ketika pemerintah membuka wacana revisi aturan mengenai insentif kendaraan listrik pada Oktober 2023. Lee, yang menjabat Chairman Korea Chamber of Commerce and Industry Indonesia, mendapat pertanyaan dari para pengusaha serta pemerintah Negeri Ginseng tentang regulasi yang memberikan izin impor kendaraan listrik utuh atau completely built-up (CBU) itu. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 yang terbit pada akhir tahun lalu, pemerintah mengizinkan investor mengimpor kendaraan listrik CBU dengan alasan mempercepat pengembangan moda transportasi tersebut. Impor diizinkan dalam jumlah tertentu, sesuai dengan komitmen kapasitas produksi pabrik yang akan dibangun di Indonesia. Aturan ini mengubah Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 yang mewajibkan produsen mobil listrik membangun pabrik di Indonesia. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Menurut Lee, para pengusaha Korea Selatan mempertanyakan hal ini, mengingat produsen kendaraan listrik asal negara itu, Hyundai Motor Company, tak mendapat perlakuan serupa. “Sekarang sudah berlaku, kami tidak bisa berbuat apa-apa,” katanya kepada Tempo pada 24 April 2024. 

Hyundai Motor melalui perwakilannya di Indonesia, PT Hyundai Motors Indonesia atau HMI, membangun pabrik di Cikarang, Jawa Barat, pada 2019 dengan komitmen meningkatkan kandungan lokal dalam kendaraan listrik buatan mereka. Pada Maret 2021, HMI meluncurkan Hyundai Ioniq 5, kendaraan listrik pertama yang dibuat di pabrik tersebut. 

Rangka mobil listrik BYD di pameran Indonesia International Motor Show (IIMS) di JiExpo Kemayoran, Jakarta, Februari 2024. Tempo/Tony Hartawan

Meski Hyundai Ioniq 5 masih berada dalam daftar kendaraan listrik terlaris di Indonesia, para pengusaha Korea Selatan resah lantaran kebijakan baru pemerintah dirasa hanya menguntungkan produsen baru. Di antaranya perusahaan-perusahaan otomotif Cina yang belakangan memasarkan produk mereka di Indonesia tanpa perlu membangun pabrik dulu. Menurut Lee, inkonsistensi kebijakan pemerintah Indonesia menjadi sorotan, “Bahkan oleh pengusaha di luar industri otomotif,” ujarnya. 

Tak hanya memberikan izin impor kendaraan utuh, Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 juga menyodorkan insentif kepada pelaku usaha kendaraan listrik berupa pembebasan bea masuk impor atau bea masuk ditanggung pemerintah, termasuk untuk impor kendaraan CBU.

Produsen dapat menikmati paket insentif itu hingga akhir 2025. Syaratnya, investor wajib memproduksi kendaraan di Indonesia dengan jumlah tertentu dengan tingkat kandungan dalam negeri (TKDN) tertentu serta memberi jaminan senilai insentif yang diberikan. Produsen wajib memenuhi ketentuan produksi dan TKDN minimal 40 persen hingga akhir 2027. 

Regulasi itu juga menetapkan sanksi jika komitmen tersebut tidak dipenuhi sampai batas waktu yang ditentukan. Jika kewajiban tak terpenuhi, investor akan dikenai sanksi denda sebesar jumlah insentif yang telah diterima secara proporsional dengan komitmen jumlah produksi yang tidak dipenuhi.

Lee mengatakan pemerintah dan pengusaha Korea Selatan memahami rencana pemerintah Indonesia yang berupaya mempercepat pengembangan industri kendaraan listrik. Namun dia meminta perlakuan adil bagi semua pelaku usaha, terlebih bagi perusahaan pionir yang telah merealisasi investasi dalam jumlah besar seperti Hyundai. “Harus dibatasi, jangan semuanya lalu diberi izin impor,” ucapnya. 

Bahkan, Lee menambahkan, kebanyakan produsen mobil listrik yang mendapat insentif impor CBU tidak menggunakan baterai berbasis nikel, melainkan litium atau litium ferofosfat (LFP). “Ini tidak ada hubungan dengan upaya mendorong penghiliran nikel dalam negeri yang menjadi program prioritas Presiden Joko Widodo,” katanya.

Menurut Lee, konsistensi kebijakan merupakan hal penting yang menjadi catatan investor asing ketika ingin melakukan investasi di Indonesia. Dia berharap pemerintah memprioritaskan investasi jangka panjang yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi, menciptakan lapangan kerja, dan mengembangkan industri dalam negeri. 

Chief Operating Officer PT Hyundai Motors Indonesia Fransiscus Soerjopranoto menyatakan mendukung rencana pengembangan mobil listrik di Indonesia. Sedari awal dia berharap pemerintah memberikan perbedaan skema insentif bagi mereka yang sudah berinvestasi di Indonesia atau menggarap perakitan di dalam negeri dengan yang mengimpor kendaraan utuh. “Kami berkeyakinan penjualan mobil listrik akan lebih besar di masa mendatang,” tuturnya.

Deputi Bidang Pengembangan Iklim Penanaman Modal Kementerian Investasi Iwan Suryana mengatakan paket insentif ini hadir sebagai win-win solution bagi Indonesia dan para investor atau produsen kendaraan listrik dunia.

Di satu sisi, dia menerangkan, masyarakat diharapkan dapat menikmati lebih banyak opsi kendaraan listrik yang berkualitas dengan harga kompetitif. “Di sisi lain, para produsen dapat membangun fasilitas manufaktur di Indonesia sambil menguji coba produk mereka dan membangun pasar di Indonesia,” ujarnya pada 1 Maret 2024.

Sementara itu, sejumlah produsen mobil listrik asal Cina mengaku masih dalam tahap persiapan membangun pabrik di Indonesia. Presiden Direktur PT BYD Motor Indonesia Eagle Zhao dalam keterangan terakhirnya menyebutkan kapasitas produksi pabrik yang akan dibangun di Indonesia mencapai 150 ribu unit per tahun. “Kami akan mengimplementasikan secara bertahap,” katanya pada 16 Februari 2024.

Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan mengatakan BYD akan membangun pabrik pada pertengahan tahun ini. “Groundbreaking Juli 2024 dan mulai beroperasi 2026,” ucapnya pada 20 Maret 2024. 

Toh, sikap pemerintah yang dirasa diskriminatif dan tak konsisten menimbulkan keraguan di kalangan calon investor asal Korea Selatan yang sebelumnya hendak menanamkan modal di Indonesia. Dua pengusaha yang mengetahui hal ini mengatakan sejumlah perusahaan Korea Selatan mempertimbangkan kembali rencana berinvestasi di Indonesia. “Pelaku industri di luar otomotif yang tadinya sudah yakin kini menimbang kembali rencana investasinya,” tutur pengusaha tersebut. 

Tempo meminta tanggapan dari Deputi Bidang Koordinasi Infrastruktur dan Transportasi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Rachmat Kaimuddin serta Deputi Bidang Promosi Penanaman Modal Kementerian Investasi Nurul Ichwan. Namun keduanya tak memberikan jawaban. 

Direktur Center of Economic and Law Studies Bhima Yudhistira Adhinegara mengatakan inkonsistensi kebijakan selama ini menjadi kendala utama pemerintah dalam mendorong peningkatan daya saing. “Karpet merah bagi impor CBU di industri mobil listrik bisa menurunkan investasi, bukan hanya dari Korea Selatan, tapi juga negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Eropa,” katanya. 

Menurut Bhima, hal semacam ini juga dikhawatirkan dapat menjadi ancaman serius bagi keberlanjutan industri komponen dalam negeri. Sebab, pemerintah kerap mengambil jalan pintas seperti dalam rencana percepatan pengembangan industri kendaraan listrik. “Indonesia bisa tidak menjadi pilihan karena kebijakan yang merugikan investor pionir dan mengistimewakan investor asal negara tertentu saja. Pada akhirnya, negara lain seperti Thailand dan Vietnam menjadi pilihan investor,” ucap Bhima. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Di edisi cetak, artikel ini berjudul "Kecewa Insentif yang Tak Setara". Erwan Hartawan dan Dicky Kurniawan berkontribusi pada artikel ini.

Ghoida Rahmah

Ghoida Rahmah

Bergabung dengan Tempo sejak Agustus 2015, lulusan Geografi Universitas Indonesia ini merupakan penerima fellowship Banking Journalist Academy batch IV tahun 2016 dan Banking Editor Masterclass batch I tahun 2019. Pernah menjadi juara Harapan 1 Lomba Karya Jurnalistik BPJS Kesehatan di 2016 dan juara 1 Lomba Karya Jurnalistik Kategori Media Cetak Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tahun 2021. Menjadi Staf Redaksi di Koran Tempo sejak 2020.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus