Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Bagaimana Aturan Impor Memukul Industri Terigu

Produsen terigu sulit mendapatkan bahan baku karena pembatasan impor. Regulasi lartas mengancam banyak sektor industri.

28 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Aptindo mengirim surat kepada sejumlah menteri meminta pelonggaran impor premiks fortifikan.

  • Impor premiks fortifikan terjegal lartas dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024.

  • Produsen terigu dan pelaku sejumlah sektor industri lain terancam berhenti beroperasi.

SATU lagi surat dari Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia atau Aptindo melayang ke kantor Kementerian Perdagangan di Jalan Ridwan Rais, Jakarta Pusat, serta kantor Kementerian Perindustrian di Jalan Gatot Subroto, Jakarta Selatan. Surat bertanggal 22 April 2024 itu ditembuskan kepada banyak pihak, dari Menteri Koordinator Perekonomian, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, hingga beberapa pejabat eselon I di sejumlah kementerian. 

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam surat itu, Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies meminta pemerintah mengeluarkan premiks fortifikan dari kelompok barang yang terkena larangan dan/atau pembatasan alias lartas. Premiks fortifikan adalah bahan pengaya terigu yang mengandung nutrisi seperti zat besi, vitamin B1, vitamin B2, dan B9 atau asam folat. Produsen terigu wajib menambahkan bahan ini agar memenuhi ketentuan Standar Nasional Indonesia (SNI) sekaligus membantu mengatasi masalah kekurangan gizi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Aptindo menyatakan ketersediaan premiks fortifikan kian tipis. Pengadaan bahan baku yang diimpor dari sejumlah negara itu belakangan tersendat. Impor premiks fortifikan rupanya terganjal Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023, yang belakangan direvisi menjadi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024, tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor. Aturan ini memasukkan premiks fortifikan ke kelompok barang farmasi atau kimia hilir, yang pemeriksaannya dilakukan di pelabuhan (on border) alias terkena aturan lartas. 

“Aneh bin ajaib, kenapa bahan itu masuk klasifikasi farmasi, bukan kelompok bahan pangan,” kata Ketua Umum Aptindo Franciscus Welirang, yang akrab disapa Franky, kepada Tempo, 19 April 2024. Franky, yang menjabat Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk—produsen tepung terigu Bogasari Flour Mills—mengatakan premiks fortifikan berbeda dengan barang farmasi. “Kalau bahan farmasi itu vitamin A sendiri, vitamin B sendiri. Bukan dalam bentuk campuran,” ucapnya. 

Karyawan saat proses produksi tepung terigu di pabrik Bogasari, Tanjung Priok, Jakarta, 19 April 2024. Tempo/Tony Hartawan

Aturan yang dimaksudkan untuk mengerem laju impor ilegal itu ternyata memicu kegaduhan. Bukan hanya industri terigu, hampir semua sektor industri merasakan dampak negatif regulasi impor itu. Wakil Ketua Umum Bidang Perdagangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Juan Permata Adoe mengatakan ketentuan ini dapat mengganggu rantai pasok bahan baku sejumlah industri, seperti otomotif, pertambangan, elektronik, hingga makanan dan minuman. “Hal ini bisa mempengaruhi ekspor,” tuturnya, Februari 2024. 

Menurut Juan, Kadin Indonesia mendukung upaya pemerintah memperbaiki tata kelola impor dan meningkatkan daya saing industri dalam negeri, yang menjadi landasan lahirnya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023. Tapi, dia menambahkan, pelaksanaan aturan lartas mesti memperhitungkan kesiapan infrastruktur dan aturan pendukungnya. Kadin pun meminta pemerintah menunda pemberlakuan aturan pembatasan impor itu. “Kami mengimbau sistem elektronik dan semua peraturan pelaksana sudah siap paling tidak tiga-enam bulan sebelum ketentuan dijalankan.” 

Belum siapnya sistem pendukung saat aturan impor mulai berlaku juga dikeluhkan pengusaha asing. Chairman Korean Chamber of Commerce Indonesia Lee Kang-hyun mengatakan 20 hari lebih setelah aturan tersebut berjalan pada 10 Maret 2024, hanya sedikit perusahaan yang mendapat pertimbangan teknis dari Kementerian Perindustrian dan persetujuan impor dari Kementerian Perdagangan. Pertimbangan teknis dan persetujuan impor adalah bagian dari mekanisme regulasi lartas. “Hal ini tak hanya menjadi masalah bagi perusahaan Korea, tapi berdampak pada seluruh bisnis di Indonesia,” ujarnya pada 24 April 2024. 

Menurut Lee, sebagian besar perusahaan belum meminta persetujuan impor sejak Februari 2024 karena khawatir terjadi pengembalian. Permohonan pun baru diajukan pada Maret. Namun ketika itu sistem elektronik untuk mengajukan permohonan izin belum siap dan kerap bermasalah sehingga prosesnya memakan waktu lama. “Akibatnya, kami hampir menghentikan produksi karena stok bahan baku habis bulan ini,” katanya.  

Sama dengan pengusaha di sektor bisnis lain, Aptindo dalam suratnya meminta pemerintah mengecualikan premiks fortifikan dalam kelompok barang terkena lartas yang impornya harus disertai laporan surveyor dan persetujuan impor. Aptindo menjamin premiks fortifikan hanya digunakan oleh industri tepung terigu untuk memenuhi syarat mutu sesuai dengan SNI.

•••

TEPUNG terigu adalah salah satu bahan pangan yang dipantau peredaran serta kestabilan harganya oleh pemerintah. Bahan baku roti dan mi ini masuk kelompok bahan pangan pokok, sama dengan beras, gula, telur, daging, minyak goreng, cabai, bawang merah, dan bawang putih. 

Berdasarkan data Asosiasi Produsen Tepung Terigu Indonesia, hingga akhir 2023, industri terigu nasional memiliki 28 pabrik yang tersebar di Jawa, Sumatera, dan Sulawesi. Total kapasitas giling semua pabrik itu mencapai 14,4 juta metrik ton gandum setahun dengan produksi tepung terigu 78 persen. Sisanya, 22 persen, berupa dedak gandum. 

Adapun angka konsumsi terigu nasional pada 2023 sebanyak 6,8 juta metrik ton atau setara dengan 8,7 juta ton gandum. Sedangkan kebutuhan premiks fortifikan mencapai 0,23-0,25 kilogram per ton terigu. Angka ini setara dengan 1.600-1.700 ton setahun atau 133-141,6 ton sebulan. 

Program pengayaan tepung terigu dengan premiks fortifikan berjalan sejak dua dekade lalu. Pada 1995, pemerintah Indonesia bersama Bank Pembangunan Asia (ADB) dan Dana Anak-anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNICEF) merintis proyek penanggulangan kekurangan gizi mikro melalui fortifikasi terigu. Program ini diperkuat dengan rekomendasi fortifikasi tepung terigu untuk penanggulangan kekurangan gizi dari Badan Kesehatan Dunia (WHO) pada 2009.

Kini nasib program tersebut menjadi pertanyaan karena stok premiks fortifikan yang makin tipis. Berdasarkan data Aptindo, stok premiks fortifikan milik produsen terigu terbesar di Indonesia, Bogasari, hanya cukup sampai akhir bulan ini. Sedangkan lima produsen lain, PT Sriboga Flour Mills, Cerestar Group, Wilmar Group, PT Eastern Pearl Flour Mills, dan PT Golden Gran Mills, punya stok premiks fortifikan hingga Mei. Hanya PT Bungasari Flour Mills, perusahaan joint venture Indonesia, Malaysia, dan Jepang, yang memiliki cukup premiks fortifikan untuk kebutuhan hingga Juni mendatang.

Menurut Direktur Indofood Sukses Makmur Franky Welirang, stok premiks fortifikan terus menyusut karena jumlah konsumsi tepung terigu meningkat pada Ramadan dan Idul Fitri, yang menjadi puncak masa konsumsi. Celakanya, tutur dia, “Posisi stok di importir nol.” Menurut Franky, mayoritas pelaku industri terigu nasional mendapat pasokan premiks fortifikan dari distributor lokal yang mengimpornya dari luar negeri. 

Ketua Umum Aptindo dan Direktur PT Indofood Sukses Makmur Tbk Franciscus Welirang di pabrik Bogasari, Tanjung Priok, Jakarta, 19 April 2024. Tempo/Tony Hartawan

Aptindo dalam suratnya menyebutkan saat ini ada empat perusahaan pemasok premiks fortifikan di Indonesia, yaitu PT Ridda Manna Sejati, PT Gala Laksana Kreasi, PT DPO Indonesia, dan PT Indokemika Jayatama. Perusahaan-perusahaan ini berdomisili di Jakarta dan Banten. Menurut Aptindo, pada 2023, empat perusahaan itu mengimpor 1.900 metrik ton premiks fortifikan. 

Hingga Februari 2024, para importir telah memasukkan 289 metrik ton premiks fortifikan. Sebanyak 65 persen di antaranya diimpor dari Malaysia. Sisanya didatangkan dari India, Cina, Singapura, dan Amerika Serikat. Perusahaan-perusahaan pemasok mengimpor premiks fortifikan sesuai dengan permintaan. Pertimbangannya, tak mungkin mendatangkannya dalam volume besar apabila pasarnya tidak banyak karena bahan ini hanya bisa disimpan dalam kondisi tertentu. 

Aptindo pun menempuh berbagai upaya demi mendapatkan pasokan premiks fortifikan. Di antaranya mereka berkali-kali melayangkan surat kepada sejumlah pejabat kementerian yang mengurus industri dan perdagangan. Surat Direktur Eksekutif Aptindo Ratna Sari Loppies kepada Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan dan Menteri Perindustrian Agus Gumiwang, yang ditembuskan kepada Menteri Koordinator Perekonomian Airlangga Hartarto, pada 22 April 2024 salah satunya.

Surat serupa dikirimkan kepada Airlangga dan Zulkifli pada 22 Maret 2024. Aptindo juga bersurat kepada pelaksana tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian Emmy Suryandari serta Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika pada 2 April. Sedangkan surat kepada Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Ali Murtopo Simbolon dilayangkan pada 15 April. 

Upaya terbaru dilakukan oleh Indofood Sukses Makmur, yang mengajukan permohonan agar bisa mengimpor premiks fortifikan secara langsung dengan mekanisme pemeriksaan post-border. Kondisi yang mendesak membuat perusahaan ini menyampaikan surat permohonan itu kepada Menteri Zulkifli Hasan dan Menteri Agus Gumiwang pada 23 April 2024. Surat juga ditembuskan antara lain kepada Menteri Airlangga Hartarto. Indofood meminta pemerintah mempertimbangkan status perusahaan sebagai mitra utama kepabeanan sejak 2007.

Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Budi Santoso mengatakan lembaganya menetapkan aturan lartas berdasarkan usulan kementerian teknis, seperti Kementerian Perindustrian. Ia meyakini kementerian dan lembaga tersebut telah memiliki kajian tersendiri. Namun Budi mengakui bahwa pada praktiknya bisa terjadi kendala dalam pelaksanaan aturan di lapangan. Karena itu, dia tidak menutup kemungkinan kebijakan lartas dievaluasi kembali di kemudian hari, antara lain terhadap premiks fortifikan.

Direktur Kimia Hilir dan Farmasi Kementerian Perindustrian Emmy Suryandari mengatakan premiks fortifikan yang memiliki kode pos tarif 2106.90.73 tergolong komoditas produk tertentu (kelompok obat tradisional dan suplemen kesehatan) yang tata niaganya harus diatur. Dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023, pengaturan tata niaga komoditas ini berupa kewajiban menyertakan laporan surveyor dan menjalani pengawasan post-border

Menurut Emmy, penerbitan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 mengacu pada arahan Presiden Joko Widodo untuk memperketat impor. Salah satu caranya adalah mengubah aturan lartas impor yang semula hanya mensyaratkan dokumen laporan surveyor menjadi laporan surveyor dan persetujuan impor. Ada pula kewajiban menyertakan dokumen laporan surveyor untuk tujuh kelompok produk tertentu serta perubahan pengawasan impor dari semula post-border menjadi border. “Premiks fortifikan menjadi bagian dari kelompok barang yang diubah mekanisme impornya,” ucap Emmy kepada Tempo pada 26 April 2024.

Emmy mengatakan pemerintah menerapkan kebijakan lartas berdasarkan beberapa parameter. Salah satunya barang jadi atau barang siap konsumsi. Kriteria lain pembatasan adalah volume dan nilai importasinya tinggi dan industri dalam negeri sudah mampu memproduksinya dengan kapasitas yang memadai untuk kebutuhan nasional. 

Namun berbagai kendala yang muncul di lapangan membuat Direktorat Jenderal Industri Kimia Hulu, Farmasi, dan Tekstil akhirnya mengusulkan pos tarif premiks fortifikan dikeluarkan dari daftar lampiran Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2023 dan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 3 Tahun 2024. Usul perubahan telah disampaikan kepada Kementerian Perdagangan untuk mengubah pengaturan impor menjadi hanya menggunakan laporan surveyor saja. 

Emmy menyebutkan usulan itu telah disampaikan dalam rapat koordinasi lintas sektor yang dipimpin Deputi Bidang Koordinasi Perniagaan dan Industri Kementerian Koordinator Perekonomian Ali Murtopo Simbolon. Kementerian Perdagangan merespons dengan memasukkan premiks fortifikan sebagai bahan baku yang bebas dari lartas ke aturan hasil revisi yang akan terbit dalam waktu dekat.

Hingga akhir pekan lalu, Aptindo masih menunggu hasil revisi aturan impor tersebut. Menurut Aptindo, tanpa perubahan aturan lartas, industri terigu bakal terus mengalami kesulitan mendapatkan premiks fortifikan. Apabila hal itu terus terjadi, produsen punya pilihan membuat terigu tanpa premiks fortifikan, yang berarti menabrak aturan SNI. Pilihan lain adalah menyetop produksi terigu sampai zat tambahan itu tersedia kembali. Risikonya, pabrik akan berhenti beroperasi dan pasokan terigu untuk ribuan usaha kecil-menengah pun lenyap. 

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Pada edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Tersedak Aturan Impor Bahan Pengaya". Caesar Akbar, Ghoida Rahmah berkontribusi dalam artikel ini. 

Catatan: artikel ini mengalami perubahan. Emmy Suryandari menjabat Direktur Kimia Hilir dan Farmasi Kementerian Perindustrian. Sebelumnya tertulis sebagai Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil Kementerian Perindustrian.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus