Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Giliran Asabri terseret kasus dugaan penyimpangan dana investasi.
Audit BPK menilai potensi kerugian pada investasi Asabri mencapai Rp 16 triliun.
Diduga melibatkan pengusaha yang sama dengan kasus Jiwasraya.
PERUMAHAN Serpong Kencana sudah almarhum. Tapi sisa-sisanya masih bisa dilihat jelas di kawasan Forest Hill, salah satu kompleks hunian besar di sekitar Stasiun Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Kluster Silver Height, kawasan pertama di perumahan Serpong Kencana, berdiri 1 meter lebih tinggi dari adimarga kompleks Forest Hill. Bentuk hunian di kluster itu tampak ketinggalan dibanding rumah-rumah Forest Hill yang lebih baru. Meski hunian sama-sama bergaya minimalis, langit-langit rumah di Silver Height jauh lebih rendah ketimbang di The Arcadia dan The Jardin, dua kawasan di Forest Hill yang sedang dipasarkan.
Jumat siang, 17 Januari lalu, seorang penghuni keluar dari gerbang Silver Height sambil membawa gas melon di sepeda motornya. Dia berhenti di salah satu rumah toko di kompleks komersial yang sebagian masih kosong tepat di seberang gerbang. Seorang agen penjual rumah yang mengantar Tempo mengatakan Silver Height sudah ludes terjual. Tapi tidak banyak pembeli yang tinggal di sana.
Kawasan perumahan Forest Hill di Parung Panjang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Tempo/Khairul Anam
Dibuka sejak 2014, perumahan Serpong Kencana berganti nama pada November 2017. PT Mega Mandiri Jaya mengambil alih pengembangannya dari PT Blessindo Terang Jaya. Keduanya anak usaha PT Hanson International Tbk (MYRX). Mega Mandiri pula yang mengubah nama kompleks tersebut menjadi Forest Hill. “Untuk meningkatkan daya tarik produk properti perseroan, terutama untuk pembeli kalangan generasi muda,” begitu manajemen Hanson menjelaskan alasan perubahan nama itu dalam laporan tahunan perseroan pada 2018.
Nama Serpong Kencana mulai terlupakan. Sampai kemudian mencuat dugaan jebolnya investasi perusahaan asuransi wajib untuk prajurit Tentara Nasional Indonesia dan Kepolisian RI, PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Persero) atau Asabri, pada awal tahun ini. Ratusan miliar rupiah duit Asabri diduga masih nyangkut di perumahan seluas 47 hektare tersebut.
Kabar jebolnya investasi Asabri berbarengan dengan ribut-ribut saham gorengan di PT Asuransi Jiwasraya (Persero), yang dianggap turut memicu gagal bayar klaim triliunan rupiah dari pemegang polis perusahaan. Tokoh di pusaran dua kasus ini pun disebut sama: Benny Tjokrosaputro. Penyidik Kejaksaan Agung menetapkan bos Hanson International itu sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pada pengelolaan dana investasi Jiwasraya, Selasa, 14 Januari lalu.
•••
KABAR adanya kasus serupa dengan Jiwasraya di Asabri merebak di pasar modal sebulan terakhir. Pernyataan Mahfud Md., Jumat, 10 Januari lalu, menguatkan rumor tersebut. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan itu mengaku telah mendapat informasi tentang masalah di tubuh Asabri. “Saya mendengar ada isu korupsi di Asabri yang mungkin tidak kalah fantastisnya dengan Jiwasraya, di atas Rp 10 triliun gitu,” ujar Mahfud di kantornya.
Namun alarm Asabri sebetulnya sudah mendengung sejak 3 Februari 2017, ketika hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan keluar. Hitungan awal auditor negara menaksir potensi kerugian investasi Asabri, yang mengalihkan investasinya dari deposito ke penempatan saham langsung dan reksa dana sejak 2013, bisa mencapai Rp 16 triliun.
Pada 2017, penempatan dana Asabri di portofolio saham mencapai Rp 5,34 triliun dan reksa dana Rp 3,35 triliun. Sisa investasi mereka di deposito, yang paling likuid ketika dibutuhkan, tinggal Rp 2,02 triliun. Belum ada informasi terbaru tentang sebaran investasi Asabri karena tidak ada publikasi laporan keuangan dari perusahaan sejak 2018.
Dalam audit BPK, Asabri kedapatan membeli saham bodong senilai Rp 802 miliar. Perseroan juga tercatat membeli dua saham gorengan, yakni milik PT Eureka Prima Jakarta Tbk (LCGP) senilai Rp 203,9 miliar dan PT Sugih Energy Tbk (SUGI) sebesar Rp 452 miliar. Ada juga pelepasan dua belas saham non-blue chip senilai Rp 1,062 triliun—sebelumnya dibeli dengan harga Rp 987 miliar—ke reksa dana afiliasi yang diduga bertujuan mengerek keuntungan akhir tahun. Selain itu, BPK menyoroti pembelian ribuan kaveling tanpa sertifikat senilai Rp 732 miliar.
Duit Asabri yang nyangkut di Serpong Kencana tadi masuk temuan BPK tersebut. Cerita dimulai pada 8 September 2015, ketika Benny Tjokrosaputro, pemilik Hanson International, menyurati Direktur Utama Asabri saat itu, Mayor Jenderal Tentara Nasional Indonesia Purnawirawan Adam Damiri, untuk menawarkan kepemilikan 18 persen saham PT Harvest Time, yang dimiliki anak usaha Hanson yang lain, yaitu PT Wiracipta Senasatria, senilai Rp 1,2 triliun.
Damiri setuju dan meneken nota kesepahaman pembelian pada 4 November 2015. Sepanjang November 2015 dan Januari 2016, Asabri menyetor Rp 802 miliar sebagai uang muka.
Masalah muncul karena Wiracipta tidak pernah memiliki 18 persen saham Harvest yang diklaim Benny. Wiracipta hanya mengempit 13 persen, itu pun telah dijual ke PT BW Plantation. Manajemen Asabri mengaku baru mengetahuinya setelah ada pemeriksaan BPK. Saat pemeriksaan, direksi Asabri mengaku pembelian saham tanpa melalui proses uji tuntas dan studi kelayakan.
Komisaris PT Hanson International Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro seusai menjalani pemeriksaan di Kejaksaan Agung, di Jakarta, 6 Januari 2020. ANTARA/Nova Wahyudi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Setelah kena semprit BPK, Asabri di bawah direktur utama yang baru, Letnan Jenderal Purnawirawan Sonny Widjaja, pada 3 Juni 2016, menyurati Wiracipta agar persekot sebesar Rp 802 miliar itu dikembalikan. Asabri juga menambahkan kewajiban bunga berjalan sebesar 7 persen per tahun—jauh di bawah bunga pinjaman bank komersial—terhitung sejak 14 Januari 2016 selama tiga tahun. Ditambah bunga, kewajiban Wiracipta menjadi Rp 832 miliar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Benny menyanggupi, tapi mengajukan skema pelunasan sendiri. Benny hanya mau mengembalikan tunai Rp 100 miliar. Sisanya dipenuhi dalam bentuk aset kaveling siap bangun di Serpong Kencana yang dikembangkan Blessindo Terang Jaya, juga anak usaha Hanson. Benny awalnya menawarkan 2.033 kaveling seluas 146.400 meter persegi. Pada 23-29 Juni 2016, Wiracipta membayar Rp 100 miliar kepada Asabri. Perusahaan itu masih menunggak Rp 732 miliar.
Rapat direksi Asabri pada 13 Juli 2016 baru menyetujui usul Benny—kendati Benny sudah menyetor uang muka pengembalian—tapi dengan sedikit modifikasi. Benny wajib membeli kembali kaveling yang menjadi pengganti saham dan menjualnya, lalu hasil dan keuntungannya diberikan kepada Asabri satu tahun kemudian.
Dari sinilah permainan bermula. Pada 14 Juli 2016, bukannya melaksanakan kesimpulan rapat direksi, Direktur Investasi dan Keuangan Asabri saat itu, Hari Setianto, malah mengikat perjanjian jual-beli kaveling dengan Benny untuk membeli kaveling Blessindo senilai Rp 732,261 miliar. Asabri mulai mentransfer biaya pembelian itu ke rekening Blessindo pada 25 Juli sebesar Rp 100 miliar. Sehari kemudian, pada 26 Juli 2016, giliran duit Rp 200 miliar disetor.
Nah, setelah Blessindo mendapat transfer itu, giliran Wiracipta yang menyetor dana ke Asabri sebesar Rp 100 miliar. Transfer memutar tersebut—dari Asabri ke Blessindo, lalu dari Wiracipta ke Asabri—berlangsung sampai 29 Juli 2016. Sepanjang 25-29 Juli 2016, Asabri total mentransfer duit ke Blessindo sebesar Rp 732,261 miliar—harga kaveling yang disepakati. Adapun Wiracipta mengirim Rp 732 miliar, kekurangan pengembalian saham Wiracipta.
Artinya, di atas kertas, Wiracipta telah mengembalikan pembelian saham dari Asabri senilai Rp 832 miliar plus bunga. Namun duit pelunasan itu sebetulnya berasal pembelian kaveling oleh Asabri senilai Rp 732,261 miliar.
Lalu bagaimana status pengeluaran Asabri itu? Kembali lagi ke Blessindo, tapi dengan judul investasi properti. Duit itu digunakan untuk membeli kaveling di Serpong Kencana sebanyak 2.338 unit dengan luas masing-masing 72 meter persegi. Pembelian ini diduga melanggar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 53 Tahun 2012 tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi, yang mengatur investasi properti hanya boleh pada tanah yang telah terdapat bangunan. Masalahnya, direksi Asabri pada 2013 membuat aturan sendiri yang menabrak pagar Kementerian Keuangan tersebut.
Dalam perjanjian jual-beli itu juga, Asabri membeli kaveling, tapi Benny wajib mengembangkan dan menjualnya sampai habis paling lambat 31 Desember 2019 dengan memberikan keuntungan 10 persen per tahun kepada Asabri. Sampai 10 Oktober 2016, Benny baru mampu menjual 292 unit dengan nilai Rp 94,9 miliar, yang duitnya telah diberikan kepada Asabri. Namun BPK tidak dapat meyakini kebenaran penjualan tersebut.
Dikurangi hasil penjualan senilai Rp 94,9 miliar itu pun Asabri masih berpotensi merugi Rp 637 miliar. Sebab, BPK menemukan sertifikat 2.338 unit kaveling yang dibeli Asabri itu sudah diagunkan dulu ke Bank Capital oleh Benny.
Hingga Jumat siang, 17 Januari lalu, separuh kawasan perumahan yang telah berubah nama menjadi Forest Hill itu masih berupa tanah kosong, belum laku. Dimintai klarifikasi tentang status tanah Asabri di Serpong Kencana saat ini, Public Relations and Communications PT Hanson International Dessy A. Putri belum dapat memberikan jawaban. “Saya diskusikan dulu ke manajemen karena terkait dengan data,” ujar Dessy ketika dihubungi, Jumat, 17 Januari lalu.
•••
Gedung PT Asabri (Persero) di Jakarta, Rabu, 15 Januari 2020. Tempo/Tony Hartawan
PADA 23 September 2019, Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) mengumumkan perubahan jadwal pembayaran bagi hasil pertama Sukuk Mudharabah I Prima Jaringan Tahap I Tahun 2017 dan Sukuk Mudharabah I Prima Jaringan Tahap II Tahun 2018. Pemegang efek Prima Jaringan semestinya mendapat pembayaran bagi hasil pada 25 September 2019. Nilainya mencapai Rp 21,818 miliar dan Rp 4,545 miliar. “Mengenai tanggal pembayaran, kami menunggu konfirmasi tertulis dari penerbit efek (PT Prima Jaringan),” kata Kepala Divisi Jasa Kustodian KSEI Hartati Handayani kepada Tempo, Rabu, 15 Januari lalu.
Tidak banyak yang tahu bahwa pemegang efek Prima Jaringan itu PT Asabri. Kepemilikan Asabri di efek ini bermula dari keputusan perusahaan membeli saham PT Eureka Prima Jakarta Tbk. Sepanjang 2015, Asabri tercatat membeli 501 juta lembar saham dengan modal Rp 203,9 miliar. Saat itu, harga saham perusahaan dengan kode LCGP tersebut masih Rp 521 per lembar. Per 31 Desember 2015, harga saham LCGP menjadi Rp 620 per lembar. Jumlah saham Asabri di LCGP menjadi 1,017 miliar lembar dengan nilai Rp 630,9 miliar. Asabri pun terus menambah koleksi saham ini.
Sampai 30 September 2016, Asabri mengempit 1,7 miliar lembar saham LCGP dengan saldo Rp 692 miliar. Investasi ini menjadikan Asabri sebagai penguasa 24,25 persen saham LCGP—salah satu saham yang disebut sejumlah pelaku pasar modal terindikasi sebagai saham gorengan. Gelontoran dana ini pun disorot auditor Badan Pemeriksa Keuangan. “Tidak diketahui dasar yang memadai bagi Asabri untuk tetap berinvestasi di saham LCGP,” begitu bunyi temuan BPK pada 2017.
Masalahnya, sekali masuk ke saham gorengan, susah buat investor untuk keluar. Sejumlah pelaku pasar modal menyatakan Asabri berusaha “keluar” dari LCGP lewat bantuan manajer investasi Asia Raya Kapital ke reksa dana penyertaan terbatas Asia Raya Properti Syariah menggunakan medium-term note Prima Jaringan. Asabri mencaplok tahap I. Adapun Dana Pensiun Asabri mencaplok tahap II.
Di atas kertas, surat utang itu digunakan sebagai modal membeli sebidang tanah seluas 26.080 meter persegi di dekat Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta Timur. Masalahnya, tanah itu tidak bisa diperjualbelikan lantaran hak pakainya dikantongi Yayasan Harapan Kita, yang dipimpin Siti Hardijanti Rukmana alias Tutut, anak mantan presiden Soeharto. Pada 4 September 2019, Tutut telah menghibahkan tanah itu kepada Komando Daerah Militer Jayakarta buat pembangunan rumah sakit. “Pada dasarnya, ini transaksi bodong karena tidak ada asetnya,” tutur sumber Tempo di pasar modal.
Direktur Utama PT Asabri (Persero), Letnan Jenderal TNI (purn) Sonny Widjaja memberikan pernyataan tentang dugaan korupsi di kantornya, Cawang, Jakarta Timur, Kamis, 16 Januari 2020. TEMPO/Francisca Christy Rosana
Pemilik Asia Raya Kapital, Soetrisno Bachir, enggan menanggapi saat dimintai konfirmasi. “Silakan menghubungi Komisaris Utama Pak Syafii Antonio atau Direktur Utama Pak Tri Agung,” kata Soetrisno, yang juga Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional. Namun nama yang dirujuk Soetrisno tak merespons permintaan konfirmasi Tempo.
Desy Ananta Sembiring, Corporate Communications Officer Asabri, meminta Tempo mengirim pertanyaan tertulis. “Silakan dikirimkan saja,” ujar Desy setelah menemani Direktur Utama Asabri Sonny Widjaja menggelar konferensi pers di kantor Asabri, Jakarta, Kamis, 16 Januari lalu. Melalui Desy, Tempo mengirim daftar klarifikasi tentang investasi janggal Asabri pada Jumat, 17 Januari. Namun perseroan belum menjawab pertanyaan tersebut.
Sonny dalam jumpa pers itu hanya berbicara selama dua menit tanpa membuka sesi tanya-jawab. Dia membantah keras dugaan korupsi di Asabri. “Kepada seluruh peserta Asabri, prajurit TNI, Polri, seluruh ASN Kementerian Pertahanan dan Polri, saya tegaskan, saya menjamin, bahwa uang kalian yang dikelola Asabri aman. Tidak hilang dan tidak dikorupsi,” tuturnya. Sonny malah mengancam akan menempuh jalur hukum bila pemberitaan negatif tentang Asabri berlanjut.
Laporan dugaan penyimpangan investasi Asabri sebetulnya sudah masuk ke Kementerian Pertahanan. Makanya, kementerian itu menerjunkan tim di bawah Inspektorat Jenderal untuk mengusut dugaan tersebut. “Saya sudah mengirim tim buat investigasi,” ucap Sakti Wahyu Trenggono, Wakil Menteri Pertahanan, kepada Tempo di kantornya, Kamis, 16 Januari lalu. Untuk sementara, Asabri memang masih jauh dari potensi gagal bayar. Kewajiban klaimnya tiap tahun masih bisa ditutup dari premi wajib dari gaji prajurit yang dikutip.
KHAIRUL ANAM, PUTRI ADITYOWATI, GHOIDA RAHMA
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo