Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ringkasan Berita
Mayoritas saham BUMN melemah pada hari peluncuran resmi Badan Pengelola Investasi Danantara.
Pasar khawatir Danantara membuat keputusan investasi secara terpusat dan dipengaruhi kepentingan politik.
Jika Danantara tidak dikelola secara profesional, ada risiko investor asing menarik dana dari pasar saham Indonesia (IHSG) dan Surat Berharga Negara (SBN).
PELUNCURAN resmi Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara atau BPI Danantara pada Senin pagi, 24 Februari 2025, belum memikat kepercayaan investor. Harga mayoritas saham badan usaha milik negara (BUMN) justru turun setelah Danantara diresmikan Presiden Prabowo Subianto. Dari tiga bank milik BUMN yang asetnya bakal dikelola Danantara, hanya satu yang nilainya meningkat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saham PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) ditutup turun 2,33 persen atau 100 poin di level 4.200 pada perdagangan kemarin. Saham BBNI melanjutkan tren pelemahan yang dalam sebulan terakhir merosot 8,89 persen atau 410 poin.
Begitu pula saham PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) yang turun 0,99 persen atau 50 poin ke level 5.025. Dalam sebulan terakhir, emiten ini anjlok 17,96 persen atau 1.100 poin.
Saham PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM) pun mengalami koreksi sebesar 1,89 persen atau 50 poin ke level 2.600. Hanya saham PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) yang naik 0,77 persen atau 30 poin ke level 3.920. Meskipun dalam sebulan terakhir saham BBRI masih terkoreksi 6,44 persen atau 270 poin.
Head Customer Literation and Education Kiwoom Sekuritas Indonesia Oktavianus Audi mengatakan respons pasar cenderung beragam terhadap peluncuran Danantara. “Ada beberapa moral hazard yang menjadi kekhawatiran pasar,” ujarnya kepada Tempo, Senin, 24 Februari 2025.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Oktavianus menekankan bahwa investor sangat memperhatikan transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan BUMN. Jika tata kelola di Danantara kurang kuat, kepercayaan investor bisa turun dan berdampak negatif pada harga saham. Khususnya ihwal penggunaan dividen yang dikhawatirkan membatasi ruang gerak emiten itu karena penggunaannya akan menyasar lebih dari 20 megaproyek.
Berdasarkan Undang-Undang BUMN, Danantara bertugas mengelola dividen BUMN. Danantara akan mengelola dividen holding investasi, dividen holding operasional, dan dividen BUMN. Danantara juga berwenang mengatur penyertaan modal BUMN dari dividen, membentuk holding investasi dan operasional bersama menteri, serta menyetujui penghapusan aset BUMN yang diusulkan holding.
Prabowo pun sebelumnya menyatakan akan memanfaatkan aset BUMN di bawah Danantara untuk berinvestasi dalam berbagai proyek, seperti penghiliran atau hilirisasi, produksi pangan, energi terbarukan, dan manufaktur. Danantara direncanakan mengelola aset lebih dari Rp 14 ribu triliun atau sekitar US$ 900 miliar dalam bentuk asset under management (AUM).
Menurut Oktavianus, ada dua risiko yang membayangi pasar jika Danantara mengendalikan sejumlah BUMN strategis. Pertama, perusahaan-perusahaan tersebut akan kehilangan insentif untuk berinovasi dalam mengelola bisnisnya. Pasalnya, dividen yang dihasilkan oleh BUMN ada kemungkinan lebih diarahkan untuk mendanai proyek-proyek tertentu yang ditetapkan oleh Danantara, bukan untuk pengembangan usaha setiap BUMN.
Risiko kedua, kontrol yang terpusat di Danantara memunculkan kekhawatiran bahwa investasi yang dilakukan tidak murni berbasis pada pertimbangan bisnis, melainkan atas kepentingan politik. Jika investasi Danantara diarahkan pada proyek atau perusahaan yang berafiliasi dengan pihak tertentu, Oktavianus mengingatkan hal ini bisa menyebabkan penggunaan dana tidak optimal.
Dengan demikian, Oktavianus memprediksi perusahaan-perusahaan BUMN menjadi kurang agresif dalam berekspansi, berinvestasi, atau meningkatkan efisiensi. Sebab, dana mereka tidak sepenuhnya dikelola secara mandiri, melainkan di bawah Danantara.
Hal ini bisa berdampak negatif pada keuangan Danantara dan BUMN di bawahnya dalam jangka panjang karena dana yang seharusnya digunakan untuk ekspansi serta pertumbuhan malah terserap ke proyek yang kurang produktif atau bahkan merugi.
Secara umum, indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup melemah setelah Danantara resmi meluncur. IHSG bergerak di rentang 6.732-6.818, lalu ditutup pada level 6.749,60 atau minus 0,78 persen dibanding penutupan perdagangan pada akhir pekan lalu. Sebanyak 223 saham menguat, 351 saham melemah, dan 218 saham stagnan.
Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti tren ini. Kepala Center of Industry, Trade, and Investment Indef Andry Satrio Nugroho mengatakan kredibilitas Danantara sangat dipertaruhkan apabila tidak dikelola secara profesional atau terlibat kepentingan politik praktis.
Jika Danantara tidak dikelola dengan profesional, Andry memperkirakan terjadi capital outflow, yakni investor asing menarik dananya dari pasar saham Indonesia (IHSG) dan Surat Berharga Negara (SBN). Akibatnya, kepemilikan asing pada instrumen investasi seperti SBN menurun, yang berisiko meningkatkan imbal hasil (yield) dan beban utang negara.
Pergerakan perdagangan saham di Bursa Efek Indonesia, Jakarta, Januari 2025. Tempo/M. Taufan Rengganis
Menurut Andry, perusahaan BUMN di bawah Danantara yang melantai di bursa pun akan mengalami penurunan nilai saham yang signifikan, terutama saham bank-bank milik negara. Musababnya, investor khawatir bank-bank ini akan dipaksa mendanai proyek-proyek tidak menguntungkan atau berisiko tinggi. "Makin sulit Danantara mendapatkan pendanaan dan kepercayaan dari investor asing di masa yang akan datang,” katanya.
Sebelumnya Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan dana pihak ketiga (DPK) tidak akan digunakan oleh Danantara. Karena itu, nasabah ataupun masyarakat umum tidak perlu khawatir. "DPK tidak digunakan. Yang dipakai adalah dividen," ujar Royke di kompleks Istana Kepresidenan, Senin, 24 Februari 2025.
Rosan Roeslani, yang baru dilantik menjadi Chief Executive Officer Danantara, memastikan lembaga ini akan menjadi badan yang paling banyak diawasi. “Karena nanti semua yang terlibat ini kita laporkan langsung kepada Bapak Presiden. Itu tidak ada yang lebih tinggi lagi laporan pertanggungjawabannya," ucap Rosan seusai peluncuran Danantara di Istana Merdeka, Jakarta, Senin, 24 Februari 2025.
Rosan, yang merangkap Menteri Investasi dan Hilirisasi, menyebutkan 99 persen kepemilikan saham BUMN akan tercatat sebagai milik Danantara, sementara Kementerian BUMN hanya akan mengelola 1 persen. Nantinya dividen BUMN akan dikelola dengan cara diinvestasikan lagi ke sektor-sektor tertentu agar nilainya makin bertambah.
Merujuk pada data historis Kementerian BUMN, dividen BUMN yang disetor ke negara mencapai Rp 81,2 triliun pada 2023, lalu naik menjadi Rp 85,84 triliun pada 2024. Tahun ini, dividen perusahaan pelat merah ditargetkan sebesar Rp 90 triliun. Setoran dividen mayoritas berasal dari sektor perbankan, yaitu senilai Rp 49,59 triliun pada 2023, naik 21,43 persen dibanding tahun buku 2022 yang sebesar Rp 40,84 triliun.
Ihwal risiko peralihan dividen BUMN ke Danantara, Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo mengatakan pembagiannya masih dikaji. “Belum (diputuskan), lagi dihitung,” ucapnya saat ditemui di kantor Kementerian Perdagangan, Jakarta, Senin, 24 Februari 2025. ●