Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Yang liar dan tidak bayar

Piutang sejumlah tidak kurang dari rp 85 milyar yang berasal dari iuran hasil hutan (IHH) dan dana jaminan reboisasi (DJR) yang pembayarannya ditunggak oleh sejumlah pemegang hak pengusahaan hutan.

12 Maret 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKTOR kayu diam-diam menyandera piutang negara, yang jumlahnya tidak kurang dan Rp 85 milyar. Piutang ini berasal dari iuran Hasil Hutan (IHH) dan Dana Jaminan Reboisasi (DJR), yang pembayarannya ditunggak oleh sejumlah pemegang HPH (Hak Pengusahaan Hutan). Menteri Kehutanan Soedjarwo menyatakan, jumlah uang sebesar itu merupakan tumpukan utang bertahun-tahun, yang terjadi sewaktu hasil hutan mengalami pemasaran yang sulit. Sebanyak Rp 30 milyar sudah dibayar - terlepas dari nilai di atas. Sedang yang Rp 85 milyar, "akan dibayar mulai Mei, dan paling lambat Desember nanti," katanya. Abbas Adhar, Dirut PT International Timber Corp. of Indonesia (ITCI) memastikan bahwa pemegang HPH "gurem"-lah yang menunggak membayar IHH serta DTR itu. "DJR yang kami setorkan tiap bulan selalu lancar," kata Adhar, yang memegang HPH 650 ribu hektar di Kalimantan Timur. Setoran ITCI ada sekitar Rp 2,8 juta, dari 700 ribu m3 kayu gelondongan - Jenis meranti, kapur, dan triung - tahun lalu. ITCI juga setia membayar IHH, yang bertarif antara R 4.000,00 dan Rp 6.000,00 per m3 itu. Lancar, pokoknya. Kalau semua pemegang HPH seperti itu, tentu tak muncul catatan tunggakan di Departemen Kehutanan. Di pihak lain, bukan tak mustahil seorang pemegang HPH di Kal-Tim keberatan mengungkapkan tunggakannya. Tapi menurut sumber TEMPO di Kanwil Kehutanan Kal-Tim, di sana tercatat tunggakan sekitar Rp 141 juta. Angka ini mencakup enam perusahaan pemegang HPH, tiga di antaranya mengandung nama "Barito". Di samping tunggakan, kerusakan hutan termasuk masalah yang cukup menjengkelkan. Itu akibat penebangan liar, yang masih saja sulit dikendalikan. Maklum, jumlah polisi hutan sangat terbatas. Ini diakui Irjen Kehutanan, Heary Santoso. Di Jawa saja, rasionya, seorang pplisi hutan mengawasi 50 hektar, sedangkan di luar Jawa malah mencapai 10 ribu hektar. Lagi pula, meski ada petugas, penebang liar tetap bertindak semaunya. Tahun 1985, misalnya, pernah seorang polisi hutan dikeroyok 50 penebang liar. Tidak mustahil, penebang-penebang ini dimodali pemegang HPH, yang menghendaki kayu itu dijual murah kepadanya. Kendati penebang liar ditangkap, kayu disita, "karena harganya murah, kayu itu akhirnya jatuh ke tangan pemegang HPH juga," kata Santoso. Malah penebangan terjadi di wilayah pemegang HPH, yang justru memodali penebangan itu. Dengan cara ini dia bisa memperoleh kayu murah, tanpa harus membayar DJR dan IHH. Tapi semenjak Departemen Kehutanan membentuk Tim Khusus Kehutanan (TKK), mereka tentu lebih hati-hati kini. Tim itu ada di tingkat pusat dan daerah. Melibatkan 12 instansi pemerintah, seperti Kejaksaan, ABRIj Kehakiman, tim khusus itu selama satu tahun berhasil membongkar 838 kasus. Barang bukti yang disita meliputi 765 ribu m3 kayu bulat, hampir 57 ribu m3 kayu olahan, belum termasuk rotan yang mencapai hampir 20 ribu ton. Sebagian barang bukti itu sudah dilelang senilai Rp 6,7 milyar, tapi baru sekitar separuh nilai itu yang disetor ke kas negara. Tapi, "operasi itu akan berlanjut terus, sampai ada efeknya," ujar Mayjen (Pur) Pranoto, asisten Menko Polkam yang menjadi ketua TKK Pusat. Sebab, TKK juga menyadari, jika mereka gencar beroperasi, penebangan liar otomatis mandek. Dan kerugian negara, meski bisa ditekan, tak mungkin dihapus. Termasuk praktek pemalsuan dokumen pemuatan kayu di atas kapal, seperti yang masuk pasaran DKI Jakarta - harga 40% dari 800 ribu m3 yang diperkirakan kayu curian. "Pokoknya, kami tidak akan memberi peluang kepada pencuri," tutur Pranoto tegas. Suhardjo Hs. dan Moebanoe Moera (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus