DEREGULASI terus, tapi bentuk dan tafsirnya rupanya harus tak selalu sama. Contohnya cengkeh. Menjelang tahun baru 1991, Dirjen Perdagangan Dalam Negeri Kumhal Jamil mengumumkan Keputusan Menteri Perdagangan yang mengatur pelaksanaan tata niaga cengkeh hasil produksi dalam negeri. Dalam tata niaga baru ini, ditegaskan bahwa BPPC (Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh) adalah satu-satunya lembaga yang berhak jadi pelaksana pembelian dan penjualan rempah bahan kretek itu. Monopoli? Ya atau bukan, reaksi sudah datang. Tentu saja dari pihak yang selama ini jadi konsumen utama cengkeh: Gappri (Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia). Selesai rapat pengurusnya Kamis pekan lalu, Gappri mengeluarkan pernyataan. Surat Keputusan yang bernomor 306 itu, seperti dituturkan kembali oleh juru bicara Gappri Bambang Soelistyo kepada wartawan TEMPO Jalil Hakim, "merupakan langkah mundur pemerintah dalam mengurus tata niaga cengkeh." Nampaknya memang banyak yang mempertanyakan, antara lain dalam forum penjelasan RAPBN di Auditorium Departemen Penerangan Ahad malam kemarin, apakah SK itu tak berlawanan dengan semangat deregulasi yang dikumandangkan belakangan ini. Menteri Perdagangan Arifin Siregar saat itu juga mengelak kalau tata niaga baru itu dianggap anti-deregulasi. Katanya, "SK itu justru merupakan penyempurnaan dari deregulasi sebelumnya." Yang ia maksud adalah Keppres (Keputusan Presiden) Nomor 8. Berdasarkan Keppres itu, cengkeh dari petani dikumpulkan oleh KUD, yang sudah terseleksi Dirjen Koperasi, untuk kemudian dilelang. Pembelinya bisa Pusat KUD, untuk kemudian ditampung oleh PT Kerta Niaga, sebuah badan usaha milik negara, atau pedagang antar-pulau, yang lazim disingkat jadi PAP, yang akan menjual komoditi itu ke pengusaha rokok kretek. Seharusnya, PT Kerta Niaga berfungsi menyangga harga, agar tetap sesuai dengan patokan minimal, yakni Rp 6.500 per kg. Tapi dana yang diperoleh dari pemerintah cuma Rp 65 milyar setahun. Ini tak cukup untuk menghadang produksi cengkeh yang rata-rata 52 ribu ton setahun. Akibatnya, bagian yang tak tertampung itu dibeli oleh PAP dengan harga di bawah patokan -paling pol Rp 4.500 per kg. Harga serendah itu, bagi petani, lebih baik ketimbang harus menimbun hasil buminya di gudang. Untuk melindungi petani pula, diaturlah bahwa pedagang harus membeli via lelang. Ia akan kena penalti Rp 350 per kg jika membeli dari petani untuk kemudian langsung diserahkan ke pabrik rokok. Ada 12 daerah penghasil yang diatur agar menaati tata niaga itu: Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan. Di luar wilayah itu berlaku tata niaga bebas. Tapi tiap aturan ada saja bolongnya: si PAP memang membeli cengkeh dari lelang. Tapi seperti pernah dikatakan oleh seorang petani cengkeh di Sulawesi Utara, Nico Lolong, para PAP cuma "kepanjangan tangan pengusaha pabrik rokok". Pembelian di lelang itu pun sebenarnya, menurut Lolong, hasil kongkalikong PAP dan KUD, melalui pembagian keuntungan 50%-50%. Dalam kerja sama itu, cengkeh milik PAP, yang sudah dibeli langsung dari petani dengan harga jauh di bawah patokan, dititipkan ke lelang untuk kemudian dibeli sendiri -- demi menghindari penalti. Kini nampaknya ada niat memperbaiki aturan itu. Dalam regulasi baru kini, wilayah yang terkena tata niaga jadi 14 daerah. Riau, Jambi, dan Kalimantan Selatan sudah tak disebutkan, tapi ada penambahan: Bali, Yogya, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Yang mencolok ialah bahwa di luar 14 wilayah itu kini tak ada lagi daerah bebas. Pembelian cengkeh di ke-14 wilayah itu dilakukan oleh KUD. Cengkeh kemudian dijual ke BPPC. Dalam pembelian itu, BPPC dapat menunjuk pihak lain, bisa pusat KUD, para pedagang antardaerah atau lokal. Untuk membeli cengkeh dari petani, yang harus dibayar tunai, KUD dapat menggunakan dana yang bersumber dari modal sendiri, kredit perbankan, atau dari BPPC. Singkatnya, berdasarkan tata niaga yang baru, produksi cengkeh dari Sabang sampai Merauke praktis tertuju ke tangan BPPC semua. Untuk menghindari penyelewengan, aparat pemerintah turun tangan: tiap perpindahan cengkeh -- antar-pulau maupun antardaerah -- harus menggunakan semacam surat jalan dari kantor wilayah Departemen Perdagangan setempat. "Sampai ke kebun-kebun yang kecil pun, KUD harus aktif menampungnya," kata Ketua BPPC Hutomo Mandala Putra, yang akrab dikenal dengan panggilan Tommy Soeharto, kepada TEMPO. Bahkan cengkeh dari kebun milik pabrik rokok kretek sendiri tak dikecualikan: mesti dijual ke BPPC dulu, bisa melalui KUD, baru dibeli (kembali) oleh pabrik rokok. Alasannya? "Kalau pabrik rokok mau langsung mengembangkan kebunnya sendiri, bagaimana nanti nasib petani cengkeh?" kata Tommy. Siapakah BPPC? Menurut keputusan Menteri yang efektif sejak Januari ini, lembaga itu dibentuk atas dasar usaha bersama, dengan anggota terdiri dari unsur koperasi, BUMN, dan swasta. Kabarnya, pihak Gappri belum mau masuk sebagai unsur swasta di situ. Maka, swasta yang ada dalam BPPC sekarang ini adalah yang tergabung dalam PT Kembang Cengkeh Nasional, sebagai satu konsorsium. Anggotanya: PT Bina Reksa Perdana, PT Sinar Utama Agung, PT Agro Sejati Bina Perkasa, PT Rempah Jaya Makmur, dan PT Wahana Dana Lestari. Menurut Tommy, konsorsium itu akan berperan dalam BPPC paling sampai lima tahun. Selanjutnya dikemudikan oleh KUD. Untuk kegiatan pembelian cengkeh ke petani, KUD memperoleh komisi. Komisi juga akan diterima BPPC sebagai penampung dan penyangga harga. Besarnya imbalan sampai pekan ini belum diputuskan oleh Menteri Perdagangan. Akan halnya harga cengkehnya sendiri ditentukan berdasarkan pada patokan mutu, yang akan diukur oleh perusahaan surveyor. Menteri Perdagangan Arifin Siregar sudah menunjuk PT Sucofindo untuk tugas itu. Ujung dari proses panjang itu tentu berupa harga. Menjelang panen kali ini, menurut Kumbal Jamil, harga dasar cengkeh bermutu nanti diperkirakan Rp 7.000 sampai Rp 8.000 per kg. Setelah dihitung dengan komisi, bunga bank, penyusutan, dan Sumbangan Rehabilitasi Cengkeh (SRC) yang Rp 500 per kilonya, berapa harga sampai di pabrik kretek? Bisa sekitar Rp 10.000 atau lebih. Perlu dicatat: harga Rp 10.000 itu hanya untuk cengkeh hasil panen nanti. Untuk komoditi yang sudah tersimpan oleh konsorsium (sekitar 65 ribu ton), harganya bisa lehih mahal, sekitar Rp 13.000, mengingat sudah terbebani biaya bunga. Dengan demikian, barisan pabrik rokok, yang memiliki persediaan 60 ribu ton atau untuk delapan bulan produksi, sudah harus mulai membuat kalkulasi baru untuk mengantisipasi harga yang akan datang. Menurut Ketua Gappri Soegiharto Prayogo, harga franko pabrik idealnya tak lebih dari Rp 9.500 per kilo. Tapi ada yang mengatakan, sebenarnya sampai harga Rp 13.000 pun pabrik rokok masih bisa tahan. Karena selama ini, ketika cengkeh Rp 8.000 per kilo, ada pabrik yang dikabarkan melaporkan ke bea cukai biaya komponen cengkehnya Rp 13.500. Tapi sudah jelas pabrik rokok akan berkurang labanya dengan harga baru -- atau berkurang ruang geraknya. Maka, belum jelas apa yang akan dilakukan Gappri. Sebaliknya BPPC sudah pasang kuda-kuda untuk menampung seluruh produksi, yang diperkirakan bisa mendekati 100 ribu ton. Jika harga ratarata Rp 8.000, maka minimal perlu Rp 800 milyar, ditambah biaya komisi KUD dan SRC. Sumber dananya? "Sudah ada bank yang akan mendukung kami," kata Tommy. Disebutnya, antara lain BRI, BBD, dan BNI, plus satu dua bank swasta (yang namanya ia simpan). Jika dana itu masih kurang, karena ternyata panen lebih banyak lagi, Tommy tak akan ragu-ragu memanfaatkan dana dari luar negeri. Jika ini bisa diibaratkan "perang cengkeh", di bawah kepemimpinan Tommy Soeharto, BPPC nampak di atas angin. Dan mungkin itu juga kabar baik, bagi mereka yang antirokok. Atau bagi pabrik rokok putih. Cengkeh naik berarti rokok kretek bisa jadi lebih mahal. Mohamad Cholid, Moebanoe Moera, dan Bambang Aji (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini