CENGKEH tidak hanya memancarkan aroma harum segar, tapi juga menyimpan sejarah yang panjang dalam perjuangan bangsa. Dan sejarah itu, pada awalnya, berlumuran darah. Ketika orang-orang Portugis, Spanyol, dan Belanda berburu rempah-rempah ke Timur, mereka terpaksa berurusan dengan Sultan Ternate dan Tidore, yang kawasannya kini dikenal sebagai Kepulauan Maluku. Demi cengkeh dan pala, para penjarah dari Barat itu mengadu-domba, lalu menaklukkan para sultan satu per satu. Portugis dan Spanyol akhirnya tersingkir dari Maluku di ujung abad ke-17 dan Belanda menjadi penguasa tunggal di sana. Dengan demikian, mereka tidak saja menguasai sumber rempah-rempah, tapi juga memonopoli penjualan cengkeh dan pala di pasar internasional. Dalam sekejap, mereka kaya raya, dalam sekejap pula, mereka menjadi amat serakah. Kendati Sultan-Sultan Ternate dan Tidore (daerah kekuasaan mereka di Maluku Utara) sudah tidak berdaya lagi, penguasa VOC -- yang berkedudukan di Batavia -- merasa perlu membatasi produksi cengkeh dan pala, hanya di dua pulau: Ambon dan Banda (Maluku Tengah). Tujuannya jelas: agar suplai bisa dikendalikan, juga supaya para sultan tidak punya sumber dana lagi. Tapi membatasi penanaman pohon cengkeh dan pala tidak cukup dengan ordonansi saja. VOC membentuk apa yang disebut hongi tochten, yakni ekspedisi perahu ke seantero pulau-pulau di Maluku. Ekspedisi bersenjata itu dilancarkan secara tidak mengenal belas kasihan. Semua pohon cengkeh dan pala di Maluku -- yang tumbuh di luar Pulau Ambon dan Banda -- ditebang dengan ganasnya, semata-mata agar produksi rempah-rempah bisa ditekan sampai seperempat dari volume yang biasa. Dengan demikian, harganya bisa tetap tinggi. Peristiwa yang tragis itu terjadi sekitar pertengahan abad ke-19. Kini, pohon-pohon cengkeh tumbuh dengan rimbun dan suburnya, hampir di seluruh Nusantara. Sedemikian suburnya, hingga dalam satu dasawarsa saja, produksi cengkeh melimpah ruah dan tiap empat tahun sekali terjadi panen raya. Panen raya tahun ini diperkirakan akan menghasilkan 120.000 ton cengkeh, sedangkan stok cengkeh yang tersedia -- di gudang-gudang pabrik kretek, PT Kerta Niaga, PT Bina Reksa Perdana -- mencapai puluhan ribu ton pula. Sementara itu, daya serap pasar terhitung kecil, apalagi pengusaha kretek masih punya stok untuk kebutuhan cengkeh selama satu tahun. Masalahnya tidak begitu rumit, kalau mengingat bahwa sekarang tidak ada VOC, tidak ada ekspedisi hongi, dan tidak ada monopoli rempah-rempah yang harus dipertahankan di pasar internasional. Yang agak merisaukan cuma satu hal: mengapa dari dulu sampai sekarang, tata niaga cengkeh yang ada belum secara murni mencerminkan kepentingan pihak-pihak yang langsung terlibat dalam mata rantai permintaan dan penawaran (petani, pedagang perantara, dan pengusaha kretek). Tata niaga cengkeh, yang diturunkan sebagai cerita utama TEMPO nomor ini, misalnya, belum apa-apa telah menimbulkan kontroversi, kendati baru diberlakukan 1 Januari silam. Ada kesan, Gappri -- wadah gabungan pengusaha rokok -- merasa seperti disepelekan. Dalam kata lain, kepentingan mereka tidak dengan pantas terwakili dalam tata niaga tersebut. Sementara itu, pemerintah, yang sibuk memperketat kredit likuiditasnya, toh menugaskan bank-bank pemerintah bertindak sebagai penyandang dana utama, untuk membiayai aktivitas Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Padahal, dana yang diperlukan untuk menyerap 120.000 ton cengkeh bisa mencapai Rp 650 milyar, belum lagi dihitung biaya bunga, biaya penggudangan, dan lain-lain. Sebenarnya, kalau ada niat untuk menguji keampuhan deregulasi, mungkin tata niaga cengkeh yang baru ini bisa menjadi batu ujian yang spektakuler. Tapi untuk itu diperlukan waktu, setidaknya satu tahun ke depan. Saat itu bisa dilihat, adakah KUD mampu beroperasi menunjang usaha petani cengkeh, adakah pedagang antarpulau bisa mandiri sepenuhnya, adakah BPPC bisa berfungsi menyangga harga cengkeh, apakah pengusaha kretek masih bertahan dengan cukai dan PPh-nya yang total Rp 3 trilyun berikut dengan segala glamornya. Dalam semangat melihat ke depan itulah, TEMPO menurunkan laporan utama cengkeh ini. Bagian pertama merupakan ulasan tentang tata niaga yang baru serta proyeksi menyongsong panen cengkeh tahun ini. Lalu ada tiga wawancara yang diturunkan secara utuh dalam bentuk tanya-jawab -- dengan Menperdag Arifin Siregar, Ketua BPPC Tommy Hutomo Mandala Putra, dan Ketua Gappri Drs. Soegiharto Prajogo. Bagian terakhir bercerita tentang kiprah pengusaha kretek, yang diam-diam telah membuka lapangan kerja untuk 3,5 juta orang dan dengan itu menempatkan diri mereka (bersama-sama) sebagai pembayar pajak (berikut cukai) terbesar negeri ini (sesudah migas). Mungkin ini sebabnya mereka "berani", yang menarik untuk distudi bagi masa depan hubungan bisnis dan negara di Indonesia. Isma Sawitri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini