RANGKAIAN melati segar menyebar harum di sekitar meja tamu di ruang kerja Hutomo Mandala Putra, yang kini menjabat sebagai Ketua Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC). Pria bertubuh atletis ini, yang lebih terkenal dengan nama akrab Tommy, juga memelihara seekor ikan arwana dalam akuarium yang terletak di sisi kanan meja kerjanya. Senin siang pekan ini, usai mendengarkan pidato kenegaraan Presiden Soeharto di gedung DPR, Senayan, Tommy menerima tim wartawan TEMPO, Moebanoe Moera dan Mohamad Cholid, untuk sebuah wawancara khusus tentang per- dagangan cengkeh. Petikannya: Apa saja kesulitan yang harus Anda hadapi dalam melaksanakan SK Menperdag tentang tata niaga cengkeh yang baru? Kesulitan itu akan berasal dari Gappri, yang menentang tata niaga tersebut. Terutama dari lima besar. Sedangkan pabrik rokok yang kecil-kecil, selama ini, memang tidak bersuara. Dan kenyataannya, setelah rapat KCN (Konsorsium Cengkeh Nasional), mereka yang kecil-kecil itu malah mendukung kami. Dengan harga cengkeh yang stabil atau lebih tinggi, ternyata pemasaran rokok pabrik-pabrik kecil ini malah lebih tinggi. Pasaran mereka sebagian besar masyarakat di kampung-kampung, hingga tingkat kabupaten. Pada mulanya, pasaran ini tertindas karena adanya promosi oleh pabrik rokok besar. Tapi sesudah promosi lewat, orang kampung tidak mampu membeli harga rokok buatan pabrik besar yang mahal itu. Mereka lalu membeli rokok yang lebih murah. Akhirnya, pabrik rokok kecil akan lebih hidup. Bagaimana BPPC akan memulai tugasnya? BPPC akan memulai dari apa yang tertuang di dalam SK Menperdag. Struktur tata kerjanya, mulai dari pengadaan, penimbunan, pengarungan, dan penyaluran kepada konsumen. Tata kerja ini yang masih akan dibahas. Kalau perlu, diadakan penyuluhan dan seminar-seminar. Semuanya, diperkirakan membutuhkan waktu enam bulan. Ini pun dengan catatan, tidak adanya intervensi yang merugikan dari pihak konsumen. Menurut Anda, intervensi apa yang mungkin dilakukan oleh konsumen? Apakah hal ini sudah diantisipasi oleh BPPC? Yang paling simpel, mereka akan melakukan ini dari segi harga. Harga di petani memang sudah dipatok. Setelah itu, petani harus membayar retribusi kepada KUD dalam rangka penyertaan modal KUD di dalam BPPC. Sejauh mana kesadaran petani, untuk merealisasikan usaha BPPC, ini memang perlu pengarahan yang intensif. Kalau si petani hanya melihat jangka pendeknya, sangat mungkin mereka akan terjebak oleh penawaran secara langsung dari konsumen. Misalnya saja, kalau petani menjual ke KUD, terkena potongan Rp 1.500 per kg, mereka akan lebih tergiur menjual langsung ke konsumen karena diimingimingi insentif Rp 1.000. Tapi dalam jangka panjang, problemnya, petani tidak akan bisa ikut merealisasikan kestabilan harga cengkeh. Juga mereka tidak mempunyai kesempatan untuk memiliki BPPC. Karena dana yang seharusnya disimpan di KUD --untuk penyertaan di BPPC -- diambil sendiri untuk dijual langsung ke konsumen. Bagaimana intervensi itu bisa terjadi, kan harus ada surat keterangan asal cengkeh? Memang untuk penanggulangannya banyak cara. Ada surat, ada izin pelayarannya, izin transportasinya, di situlah pencegahannya. Tapi kembali lagi, semua ini kan menyangkut manusia, tidak berarti si pemberi izin itu tidak bisa diajak kerja sama (he he he,). Ya, semua itu memang membutuhkan waktu. Soal harga, Gappri mengusulkan Rp 9.500 per kg. Apakah BPPC juga siap mengusulkan harga? Saya rasa harga yang sudah diusulkan itu bisa saja terjadi. Tapi, otomatis pendapatan petani akan berkurang, karena dari Rp 9.500 masih harus dipotong untuk SRC Rp 500, dipotong lagi Rp 500 komisi untuk KUD, dan iuran petani Rp 1.000 untuk penyertaan KUD di BPPC. Karena, pada suatu saat nanti, BPPC akan dimiliki oleh KUD dan BUMN, sedangkan penyertaan swasta akan minoritas. Jadi, harga yang diusulkan Gappri itu terlalu rendah? Terutama bagi petani, ya, terlalu rendah. Harga yang akan diusulkan nantinya adalah hasil rumusan BCN (Badan Cengkeh Nasional) sebagai policy maker dari BPPC. Dan semua rumusan harga ini, berdasarkan Keppres No. 8, nantinya harus disetujui oleh Presiden. Ada laporan, sejak akhir tahun lalu hingga awal bulan Januari ini, harga cengkeh turun di bawah Rp 8.000. Mengapa? Memang benar, dalam masa menunggu keputusan dari pemerintah terakhir ini, kami, KCN (semula Konsorsium Cengkeh Nasional, belakangan ini menjadi PT. Kembang Cengkeh Nasional), bisa dikatakan tidak melakukan kegiatan apa-apa. Ini salah satu bukti, dengan keberadaan KCN inilah harga cengkeh bisa naik. Sedangkan Gappri ingin menekan cost serendah mungkin untuk meningkatkan keuntungan setinggi mungkin. Yang lebih ironis, dan ini belum banyak masyarakat yang tahu, pada awal 1988, harga cengkeh yang Rp 2.000-3.000 sekilo, dilaporkan pabrik rokok dalam komponen biaya untuk cukai, harga beli per kg cengkeh Rp 8.000-10.000. Berarti pabrik rokok meraup keuntungan yang tidak dilaporkan sebesar rata-rata Rp 5.000 per kg. Kalau kebutuhan cengkeh nasional waktu itu 70 ribu ton, berarti keuntungan mereka Rp 350 milyar. Keuntungan ini ke mana larinya? Tentu masuk ke kantung PAP (Pedagang Antar Pulau), yang selama ini ternyata kaki tangan para pengusaha rokok. Seharusnya, 35%-nya masuk ke pemerintah melalui PPh. Apakah mereka melaporkan itu? (Untuk lebih meyakinkan, Tommy memperlihatkan fotokopi biaya pabrik GG, yang dilaporkan untuk cukai pada Juli 1990). Dengan adanya BPPC, pabrik-pabrik rokok tidak akan bisa lagi melakukan praktek seperti ini. Jelas, mengapa mereka tidak mau mengakui BPPC, karena keuntungan mereka akan hilang. GG saja, dengan harga cengkeh Rp 13.500, keuntungannya di tahun 1990 sekitar Rp 600-700 milyar. Bagaimana kalau sebagian kebun cengkeh dimiliki pabrik rokok? Pabrik-pabrik itu, tak perlu disangkal lagi, memang mampu memiliki kebun sendiri. Tapi kalau dibiarkan, kesenjangan sosial akan berlangsung terus. Kalau begitu, buat apa ada petani. Kalau pabrik mengerjakan semua sendiri, itu monopoli juga namanya. Lalu pemerataan itu di mana?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini