BERULANG kali Menteri Perdagangan M. Arifin Siregar, 55 tahun, menghela napas ketika diburu pertanyaan seputar cengkeh. Namun, akhirnya, ia mau juga berbicara selama 30 menit kepada Wahyu Muryadi dari TEMPO, seusai acara Tatap Muka Awal Tahun 1991, dengan wartawan di Gedung PPEI, Slipi, Jakarta. Senin sore pekan ini. Beberapa petikan: Apa sebabnya sampai lahir SK No. 306? Kita kan ingin memecahkan permasalahan secara bersama-sama. Sebab di situ ada kepentingan petani, pabrik rokok sebagai konsumen terbesar, juga para pedagang cengkeh. Sebelumnya, pabrik rokok ini, yang punya dana besar dan konsumen utama, melahirkan situasi yang monopolistik. Mereka berhadapan dengan ribuan petani cengkeh, kalau diserahkan pada mekanisme pasar, biasanya yang terkena petani kecil, yang lebih lemah. Itulah yang terjadi, ketika harga cengkeh turun drastis. Tapi kenapa SK itu tiba-tiba muncul tanpa memberitahukan sebelumnya kepada Gappri? Nonsens. Kami sudah berpuluh kali berunding dengan mereka. Baik dengan saya sendiri selama empat kali, dengan Menteri Muda Perdagangan, dan dengan Dirjen Perdagangan Negeri. Bahkan mereka menantang kami, kalau begitu ambil saja kebijaksanaan. Makanya, sekarang kami ambil kebijaksanaan. Ada kesan seakan-akan pemerintah membuka konfrontasi terhadap Gappri? Kami tidak mau konfrontasi. Janganlah dikatakan kami tak membuka kesempatan berdialog. Kami sudah lebih dari setahun dialog dengan mereka. Jangan juga dikatakan kami tak memperhatikan kepentingan mereka. Tidak. Kami sudah meminta mereka duduk dalam kedua badan tersebut, bersama-sama pemerintah sebagai penengah untuk memecahkan persoalan bersama. Tapi, sampai sekarang, mereka belum bersedia. Kami harapkan mereka akan bersedia. Kenapa jadi BPPC yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai pelaksana tunggal tata niaga cengkeh? Pertama, kami berpendapat perlu ada suatu badan yang pertamatama membeli dari KUD. Dan jika perlu menjadi penyangga dan menjual kepada para konsumen. Seyogyanya badan tersebut terdiri dari unsur yang terlibat dalam perdagangan cengkeh. Unsur konsumen, petani cengkeh dan pengusaha. Sudah tentu, pemerintah jadi penengah. Toh Gappri merasa tersisih atas lahirnya BPPC dan BCN. Kelihatannya mereka mau sistem yang agak lain. Tapi kita berpendapat kalau itu diterapkan, yakni memberi kebebasan pada siapa saja untuk membeli dan menjual cengkeh, akan merugikan petani. Sekalipun mungkin akan menguntungkan pabrik rokok. Makanya, kami mencoba mencari keseimbangan dari semua pihak, bukan hanya dari satu pihak. Tapi jangan lupa, fabrikan rokok tergolong pembayar pajak besar. Beberapa anggota Gappri bahkan tampil sebagai bapak angkat sejumlah pabrik rokok kecil.... Oke, oke, itu kami hargai. Tapi, secara keseluruhan, mereka masih merupakan satu segmen di antara semua unsur yang berkecimpung di bidang cengkeh. Bagaimana dengan nasib para petani cengkeh kecil yang ribuan dan pengusaha-pengusaha cengkeh yang kecil? Dulu-dulu, Departemen Perdagangan tak terdengar membicarakan soal itu. Apa benar Bapak mendapat tekanan, hingga melahirkan SK itu? Sama sekali tidak. Kebijaksanaan ini diambil berdasar keputusan bersama dengan Departemen Perindustrian, juga Departemen Pertanian dan Koperasi. Ini kebijaksanaan pemerintah secara keseluruhan, bukan melulu Departemen Perdagangan. Kami bersama-sama juga telah menghadap Bapak Presiden. Harap diketahui, Departemen Perdagangan hanya bertindak sebagai koordinator. Nampaknya Gappri tetap merasa tak banyak gunanya untuk bergabung. Mereka merasa tak lagi berperan setelah adanya BPPC. Kami tetap mengharapkan mereka bersedia bekerja sama dan ikut serta dalam BPPC dan BCN. Itu pertanda SK NO. 306 tidak monopolistik. Apa sudah ada pernyataan resmi dari Gappri tak mau ikut bergabung sebagai anggota BPPC dan BCN? Belum. Tapi kalau mereka tetap tak mau, ya, apa boleh buat. Kami akan jalan terus. Dan sikap yang demikian merupakan penghinaan bagi pemerintah. Kebijaksanaan pemerintah yang digodok selama setahun ternyata tidak dilaksanakan oleh sebagian anggota masyarakatnya. Berapa harga patokan cengkeh yang ideal menurut Pak Arifin? Sabar. Itulah yang sebentar lagi akan ditentukan. Sebelum panen Februari bulan depan. Ada range, tergantung kualitas cengkehnya. Mungkin Rp 7.000, bisa juga Rp 8.500 per kilo. Gappri minta agar Jawa dikeluarkan dari 14 sentra produksi yang baru diputuskan. Karena sebelumnya memang demikian? SK tersebut harus berlaku di semua sentra produksi. Sebelumnya, memang hanya berlaku di sembilan sentra produksi, tidak termasuk Jawa. Tapi produksi cengkeh di Jawa sudah mencapai 30% dari total produksi nasional. Maka, untuk menghindari dualisme dalam perdagangan, terutama dalam harga jual petani, Jawa dan Bali dimasukkan dalam aturan tata niaga cengkeh yang baru. Bagaimana dengan kebun cengkeh yang terletak di luar 14 sentra produksi. Bebaskah perdagangan cengkeh di sana? Bagi daerah di luar 14 sentra produksi utama cengkeh, pembelian cengkeh dari petani hanya dilakukan oleh BPPC. Apa anggota Gappri juga diharuskan untuk membeli cengkeh dari BPPC, yang saat ini kabarnya punya stok mengambang 86.000 ton? Tidak. Tak ada keharusan bagi Gappri untuk membeli. Katanya, mereka masih punya stok untuk produksi 6-8 bulan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini