Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jalan suram ke Wina

Harga minyak dunia terus merosot. maukah arab saudi, penghasil minyak terbesar opec, berkorban dengan memotong produksi?

26 Maret 1994 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EKONOMI Indonesia sedang menjalani ujian. Sekalipun para pakar masih optimistis pertumbuhan bakal mencapai sekitar 7,5 persen tahun ini, serangkaian masalah sudah menghadang. Pertumbuhan ekspor nonmigas tidak cerah, investasi asing merosot. Dan, ini yang juga bikin kecut, harga minyak terus melorot. Dua pekan lalu, Brent -- harga minyak dari Laut Utara yang biasa dipakai untuk patokan -- sudah mendekati US$ 13 per barel, harga terburuk dalam lima tahun terakhir. Harga memang sempat bergerak hingga US$ 14 per barel, namun untuk penyerahan bulan Mei sudah merosot lagi menjadi US$ 13,5 per barel pekan lalu. Harga minyak Indonesia tentu ikut terbanting. Awal Maret ini harga Minas, yang jadi patokan minyak Indonesia, tercatat US$ 14,52 per barel, satu setengah dolar di bawah APBN yang mematok harga minyak US$ 16 per barel. Untuk Maret ini harga Minas memang masih sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan harga di pasar dunia. Itu karena harga minyak Indonesia dihitung dengan patokan Asia Petroleum Price Index. Dalam perhitungan itu rata- rata harga selama 52 minggu sebelumnya ikut diperhitungkan. Hingga pertengahan tahun lalu harga masih cukup bagus, hingga mengangkat sedikit derajat Minas. Namun, jika harga yang terus- menerus rendah sejak Desember lalu ini berlanjut, si Minas di pertengahan tahun ini bukan mustahil akan lebih rendah dari harga di pasar dunia. Sebab, harga rata-rata 52 minggu sebelumnya malah akan membuat harga Minas lebih murah. Dalam sebuah diskusi di Centre for Strategic and International Studies, dua bulan lalu, pakar perminyakan Indonesia, Wijarso, sebenarnya sudah memperkirakan kondisi ini. Biang keladi murahnya minyak dunia ini, tuturnya, adalah persepsi pasar di bursa-bursa komoditi tempat minyak diperdagangkan, terutama bursa Nymex yang ada di New York. "Celakanya, kita tak punya cara untuk mengontrol maupun mempengaruhi persepsi pasar ini," katanya. Para pedagang dan pialang minyak internasional yakin harga minyak bakal terus turun hingga menjadi sekitar US$ 10 per barel pada bulan-bulan musim panas di belahan bumi Utara, Juni- September, saat permintaan minyak sangat rendah. Dasar utama perhitungan ini adalah makin rapuhnya persatuan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) dalam mengendalikan jumlah produksi. Belum lagi pertemuan para Menteri Perminyakan OPEC dibuka Jumat pekan ini di Wina, Austria, dua negara terbesar sudah terlibat perang mulut. Iran, negara produsen nomor dua di OPEC, menuduh Arab Saudi, si produsen terbesar, melanggar kuota. Saudi yang berang menuduh balik, itu fitnah yang tak berdasar. Pemanasan menjelang sidang inilah yang diterjemahkan oleh para spekulator sebagai gelagat OPEC akan gagal memotong produksi. Padahal, untuk memulihkan harga, OPEC perlu sebuah gebrakan yang bisa mendongkrak gengsinya. Misalnya saja pemotongan produksi hingga 1 juta barel sehari. Mungkinkah? Saat ini OPEC menetapkan kuota produksi total 24,5 juta barel sehari. Kuota ini sudah lebih rendah dibandingkan dengan permintaan untuk kuartal kedua tahun ini yang 23,2 juta barel per hari. Tapi tetap saja banyak anggota yang memompa minyaknya di atas kuota. Tak mengherankan bila produksi minyak OPEC sepanjang Februari rata-rata mencapai 24,9 juta barel per hari. Maka tak perlu kaget jika harga jatuh. Dalam kondisi seperti ini, hasil optimal yang bisa diharapkan dari pertemuan Wina nanti hanyalah roll-over atau berlakunya kembali kuota untuk kuartal berikutnya, hingga ada pertemuan para menteri perminyakan lagi. Sebenarnya, harga minyak juga bisa lebih terkendali bila roll-over kuota ini bukan cuma untuk kuartal kedua tahun ini, namun juga untuk kuartal ketiga dan keempat, saat permintaan membaik. Pada kuartal ketiga permintaan akan naik menjadi 23,79 juta barel per hari dan puncaknya pada kuartal keempat nanti akan menjadi 25,6 juta barel per hari. Namun, roll-over kuota hingga kuartal tiga dan empat ini agaknya tak bakal tercapai. Masalahnya, tak ada satu pihak pun yang memelopori dan bersedia berkorban. Saat ini strategi utama negara produsen terkemuka OPEC, Arab Saudi misalnya, adalah mempertahankan pangsa pasar. Mereka tak perduli lagi bila harga akan anjlok, asalkan mereka tetap bisa memompa minyak dan menjaga pasar. Dari anggaran pemerintah Arab Saudi yang ketat --mereka membatalkan serangkaian proyek besar dan mengupayakan pembelian berbagai barang mahal, seperti pesawat terbang, lewat kredit --tampak benar bahwa Saudi sudah bersiap menghadapi harga minyak yang rendah. Suasana suram ini masih ditambah dengan kemungkinan dicabutnya embargo atas Irak, yang sudah berlaku hampir empat tahun. Irak saat ini sedang mengupayakan lobi secara intensif di PBB. Bila pencabutan itu terjadi, OPEC harus siap mengakomodasikan tambahan produksi tiga juta barel sehari. Sampai di sini, para analis menyerah, tak tahu lagi mesti menunjuk siapa yang bakal berkorban menurunkan produksi sebanyak itu. Dunia agaknya mesti bersiap-siap kembali menghadapai glut alias banjir minyak.Yopie Hidayat

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum