KETIKA pertengahan tahun lalu harga minyak menukik, dampaknya terasa. Maklum, kendati bukan lagi primadona, migas tetap penghasil devisa yang diandalkan untuk menopang APBN. Buktinya, waktu harga rata-rata minyak turun menjadi 16,5 dolar per barel (di tahun anggaran 1993-1994), angka defisit cukup mendebarkan: Rp 1,8 triliun. Nah, kalau akibat menurunnya pendapatan dari migas saja sudah sedemikian besarnya, apalagi jika yang oleng adalah perolehan dari nonmigas. Celakanya, gejala ke arah itu kini mulai tampak ke permukaan. Memang, seperti yang dilaporkan Menko Indag Hartarto kepada Presiden, ekspor nonmigas masih menunjukkan kenaikan sebesar 8,4%. Tapi, jika diurut ke belakang, pertumbuhan yang kecil ini sudah cukup mengkhawatirkan. Sebab, jika dibandingkan dengan pertumbuhan yang dicapai selama tahun 1992 (27,7%), jelas kenaikan tersebut tak berarti banyak. Begitupun jika dibandingkan dengan rata-rata pertumbuhan sepanjang Pelita V yang 19,1%, angka pertumbuhan 1993 tidak sampai separuhnya. Atau dengan kata lain, inilah pertumbuhan yang paling rendah sejak ekspor nonmigas menjadi motor utama penghasilan negara. Adapun penyebab utama turunnya pertumbuhan ini ternyata komoditi tekstil dan produk tekstil (TPT). Tengok saja data yang disajikan BPS. Beberapa tahun silam, TPT bisa tumbuh rata- rata 40%. Selama tahun 1992 pertumbuhannya bahkan mencapai 49,1 persen. Tapi tahun lalu hampir tidak berkembang. Dengan nilai ekspor sekitar US$ 5,9 miliar, tekstil, yang bersama garmen menduduki peringkat teratas di jajaran ekspor nonmigas, hanya tumbuh sebesar 0,01 persen atau naik sekitar 400 ribu dolar saja. Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama melempemnya ekspor TPT ini. Salah satunya adalah karena semakin meroketnya harga kapas di pasar internasional, yang ujung-ujungnya diikuti dengan kenaikan harga berbagai jenis benang. Kapas jenis SLM (strict low midling), contohnya, di pasar New York harga di awal Maret telah mencapai 70,75 sen dolar per pound. Atau naik sekitar 16% jika dibandingkan dengan harga dua bulan sebelumnya. Setelah kapas, maka dengan sendirinya semua jenis benang pun ikut merangkak. Bahkan lebih tinggi lagi. Benang jenis TC 45, misalnya, sejak Desember tahun lalu naik 22% menjadi Rp 1,4 juta per bal. Bahkan jenis benang kasar (carded) hanya dalam waktu tiga bulan telah melompat naik 40%. Jadi, kalau sebelumnya benang kasar dijual dengan harga Rp 1 juta per bal, kini menjadi Rp 1,4 juta per bal. Menurut sebuah sumber di Asosiasi Pertekstilan Indonesia, naiknya harga bahan baku TPT disebabkan kegagalan panen kapas yang dialami RRC, Pakistan, dan India. Karena serangan hama pada akar pohon, produksi kapas RRC tahun lalu boleh dibilang hancur. Tekstil Pakistan pun jatuh produksinya sebanyak 60%. Betul, impor kapas Indonesia tidak bergantung pada ketiga negara tersebut. Ada 80 negara yang memasok kapas untuk negeri ini. Di antaranya dari AS sebanyak 35% dari kebutuhan, dan dari Australia 25%. Namun, impor dari tiga negara itu, jika dijumlahkan, lumayan besar: sekitar 25% seluruh kebutuhan kapas Indonesia yang 480 ribu ton setahun. Akibat dari kegagalan panen ini bukan hanya menyebabkan pasok dari RRC, Pakistan, dan India berkurang. Lebih dari itu, ketiga negara itu pun kini ikut aktif memborong kapas, bahan baku utama tekstil, di pasar internasional. "Baru terjadi suplai kapas terpukul sampai separah ini," kata seorang pemilik pabrik tekstil di Bekasi, Jawa Barat. Dengan kontribusi terhadap biaya produksi sebesar 60%, para produsen tekstil kini harus menanggung kenaikan biaya sebesar 18%. Sayangnya, kenaikan harga jual tak mungkin dilakukan sebesar itu. Ambil contoh Pabrik Batik Keris Solo yang mengekspor ke Eropa, AS, dan Jepang. Menurut Direktur Utamanya, Hadianto, harga jual produknya cuma naik 10%. Kalau harga jual dikerek sesuai dengan kenaikan biaya produksi, "Kami khawatir akan kalah bersaing dengan produk Bangladesh atau Vietnam," katanya. Bagi produsen tekstil besar, seperti Batik Keris atau Argo Pantes, berkurangnya pasok kapas yang diikuti naiknya harga benang ini tampaknya tidak terlalu menjadi soal. Apalagi bagi pabrik-pabrik yang memiliki industri terpadu, mulai dari kapas hingga garmen. Sebab, seperti diakui Hadianto, pabrik besar biasanya memiliki stok kapas untuk jangka tiga sampai empat bulan masa produksi. Dengan stok sebanyak itu, kondisi pabrik diperkirakan aman hingga tiba masa panen kapas di Amerika dan Australia. Ditambah lagi, dalam masa empat bulan diduga para petani di RRC, India, dan Pakistan telah berhasil memperbaiki tanaman mereka. Lain halnya dengan pabrik tekstil kelas menengah dan kecil. Di Bandung, misalnya, dikabarkan ada beberapa pabrik yang terpangkas produksinya sebesar 25%. Tidak sampai PHK, memang, tapi jam produksi yang dikurangi. Menurut seorang pejabat Departemen Perdagangan, "Itu akibat manajemen stok mereka yang tidak antisipatif." Jadi, kemungkinan besar, macetnya pertumbuhan ekspor TPT diakibatkan oleh menurunnya produksi di banyak pabrik kelas menengah. Sebab, kenaikan harga jual, seperti kata seorang produsen, bukan hanya dilakukan oleh Indonesia. Tapi oleh seluruh produsen tekstil di dunia. Tapi syukurlah, kendati harga naik, "buyer tetap saja melakukan pembelian," katanya. Selain faktor bahan baku, yang turut menjegal pertumbuhan ekspor TPT adalah kondisi di dalam negeri sendiri. Masalah yang muncul memang cukup kompleks. Mulai dari pembagian kuota, yang sudah menjadi penyakit yang sulit disembuhkan, hingga ke soal pembiayaan produksi. Dalam soal pembagian kuota, misalnya, hingga kini para pengusaha beranggapan bahwa Departemen Perdagangan masih enggan untuk bersikap transparan. Sehingga tak sedikit produsen yang merasa dianaktirikan dengan bagian kuota yang sangat kecil. Tapi, di lain pihak, kabarnya sejumlah produsen besar, misalnya Texmaco dan Karwel, merasa bersyukur karena kelebihan jatah. Alkisah, untuk mengatasi suasana yang pincang itu, Pemerintah, dalam hal ini Departemen Perdagangan, menjanjikan akan menurunkan sebentar lagi sebuah senjata pamungkasnya, yakni suatu deregulasi baru. Paling tidak, dengan pemangkasan aturan ini diharapkan pembagian kuota menjadi lebih terbuka. Juga menjadi idaman pengusaha adalah berkurangnya biaya siluman yang senantiasa mereka keluarkan untuk memperoleh jatah ekspor. Selain itu, melalui Asosiasi Pertekstilan, para produsen eksportir juga kini tengah mengusahakan agar pembelian bahan baku bisa dilakukan dengan usance L/C yang rendah bunganya. Jadi, tidak seperti sekarang, bahan baku impor maupun lokal selalu dibeli dengan tunai. Ini jelas menambah beban bunga yang harus ditanggung produsen. Lain produsen TPT yang kini sedang sesak napas, lain pula kondisi produsen eksportir nonmigas di luar tekstil dan garmen. Bagi mereka, tahun 1993 adalah bagaikan masa panen raya. Eskpor produk kayu, misalnya, di tahun itu naik 37,5%, hingga nilainya hampir menyamai angka yang diperoleh dari ekspor TPT, yakni 5,82 miliar dolar. Atau hanya terpaut 79 juta dolar dari ekspor TPT. Yang tak kalah spektakuler adalah ekspor karet dan produk karet (KPT) yang mencatat kenaikan 148,7%. Komoditi yang selama ini melempem karena harga jualnya yang merem-melek, kini hinggap di peringkat ketiga dengan nilai ekspor 1,72 miliar dolar. Menyusul di belakang karet adalah ekspor kulit, elektronika, besi baja, olahan kelapa sawit, pangan, dan pulp serta kertas. Namun, tidak berarti Pemerintah akan membiarkan masalah di TPT terus berlanjut. Selain sebuah paket deregulasi akan segera diluncurkan, Pemerintah juga kini tengah menyiapkan sebuah Rakor Khusus yang akan membahas melambatnya pertumbuhan ekspor nonmigas secara keseluruhan. Ini memang sebuah langkah penting. Sebab, terlambat sedikit saja, maka defisit transaksi berjalan -- yang kini antara 2,8 miliar dan 3,1 miliar dolar -- jangan-jangan akan bertambah bengkak. tb -------------------------------------------------------------- Pertumbuhan Nilai Ekspor 9 Komoditi Manufaktur yang Bernilai di Atas 500 Juta dolar AS . (dalam jutaan dolar AS) -------------------------------------------------------------- . 1992 1993 Naik Tekstil 5.899,9 5.899,9 0,01% Kayu 4.234,6 5.820,6 37,47% Karet 693,3 1.722,6 148,47% Kulit dan Barang kulit 983,3 1.227,2 24,72% Elektronika 803,1 1.181,4 47,12% Besi Baja 800,0 1.168,1 46,02% Hasil Olahan Kelapa Sawit 615,2 806,0 31,02% Pangan 501,0 547,7 9,32% Pulp dan Kertas 392,5 536,5 36,69% Sumber: Biro Pusat Statistik -------------------------------------------------------------- Budi Kusumah dan Indrawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini