TOWIL Herjoto dan Subekti Ismaun adalah sosok bankir yang telah meniti karier mulai dari bawah, yaitu bekerja dari tingkat klerk dan berakhir sebagai pimpinan tertinggi Bapindo. Suatu perjalanan karier dan prestasi yang dapat dianggap cemerlang dan hanya dicapai oleh sebagian kecil bankir profesional di bank pemerintah. Pengalaman kerja dan keuletan mereka menimba ilmu, memupuk prestasi, dan mengarungi gejolak sejarah pasang surut perbankan Indonesia, membuahkan kepercayaan dari pucuk pimpinan dan masyarakat perbankan dari dalam dan luar negeri. Setidaknya, dipercayakannya kedudukan pimpinan manajemen tertinggi di Bapindo pada mereka membuktikan bahwa mereka merupakan figur yang telah berhasil mengatasi persaingan dan kompetisi yang ketat. Dengan kata lain, mereka telah memenuhi persyaratan minimum di bidang kepemimpinan, keahlian manajemen, pengalaman, pengetahuan perbankan, serta dedikasi dan loyalitas yang tinggi kepada pimpinan dan perusahaan. Kepercayaan masyarakat terbukti dengan keberhasilan Bapindo menerbitkan obligasi di pasar modal. Kreditor luar negeri juga telah mempercayai Bapindo di bawah kendali mereka dengan mengucurnya kredit off-shore, baik dari lembaga multilateral maupun dari bank-bank komersial luar negeri. Sukses Towil dan Subekti merupakan salah satu contoh berhasilnya pengembangan sumber daya manusia dalam industri perbankan Indonesia. Kedua orang itu memperoleh suatu kualifikasi dan tanggung jawab profesional yang tinggi dengan bermodalkan perasaan dan intuisi sebagai bankir yang mengandalkan kepercayaan sebagai komoditi yang suci (sacred commodity) yang harus dipupuk dan dipertahankan. Karena itu, mestinya mereka memiliki intuisi untuk mengemudikan kendali manajemen Bapindo agar tidak membentur rambu-rambu peraturan (prudential regulation) yang diciptakan oleh Bank Indonesia. Apalagi mereka dibantu oleh pejabat otoritas moneter (dewan pengawas) yang selalu siap memberikan arahan kebijaksanaan dan bantuan pengawasan. Maka, keputusan Kejaksaan Agung menahan Towil dan Subekti, pekan lalu, merupakan suatu akhir yang tragis dari perjalanan karier profesional seorang bankir. Sebagai penonton, mungkin kita akan bertanya-tanya: Mengapa mereka mau mengorbankan dan menyia-nyiakan modal kepercayaan yang telah susah payah dipupuk dan dibina selama puluhan tahun hanya demi seorang Eddy Tansil? Apakah mudah melepaskan perasaan dan intuisi profesional yang telah dimiliki selama puluhan tahun, hingga mereka mau membiarkan terjadinya pelanggaran terhadap peraturan yang sangat disakralkan oleh para bankir? Apakah mereka memiliki kekuatan untuk menghadang niat Eddy Tansil? Atau sebaliknya, apakah mereka memiliki daya (otoritas penuh) untuk membantu mewujudkan niat Eddy? Adakah alternatif lain yang lebih baik (bagi mereka) ketimbang menuruti kemauan dan pengaruh Eddy Tansil? Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas masih harus menunggu hasil pemeriksaan Kejaksaan Agung. Tapi satu hal yang pasti dapat disimpulkan, kehadiran peraturan yang berhati-hati dan tersedianya bankir profesional berpengalaman tak menjamin terlaksananya praktek pengelolaan bank yang wajar (prudent). Sebab, kehadiran kedua faktor tersebut masih belum mampu menghadang kekuatan dari luar bank. Yakni kekuatan yang dengan mudah mendikte dan melabrak asas peraturan prudential banking yang sangat disakralkan oleh bankir profesional. Towil dan Subekti pun harus tunduk dan menanggalkan perasaan dan intuisi profesionalisme mereka, dan akhirnya mengorbankan satu-satunya modal yang telah puluhan tahun dipupuk selama mereka menekuni karier perbankan di Bapindo. Dengan demikian, kredibilitas Bapindo pun ikut tercemar, hingga dapat memudarkan kepercayaan para kreditor luar negeri. Mungkin saja para kreditor itu tidak bersedia lagi memperpanjang fasilitas pinjaman mereka untuk Bapindo. Mungkin ini sebabnya, Menteri Keuangan memberikan indikasi bahwa manajemen Bapindo akan dikontrakkan ke bank asing. Tujuannya jelas, untuk tetap mempertahankan kepercayaan pihak kreditor Bapindo. Kontrak manajemen merupakan suatu hal yang lumrah dalam dunia usaha. Biasanya ini dilakukan jika suatu perusahaan tidak memiliki pengalaman dan keahlian teknis maupun manajemen untuk mengemudikan perusahaan. Dan ini dilakukan secara temporer. Tapi, rencana dikontrakkannya manajemen Bapindo ke bank asing tidaklah berdasarkan kriteria di atas. Tampaknya keahlian dan pengalaman bukanlah masalah bagi Bapindo. Yang tampaknya menjadi masalah adalah kematian rasa dan intuisi para profesional yang telah direnggut oleh kekuatan eksternal yang telah dijadikan senjata pamungkas oleh Eddy Tansil. Lalu, apakah manajemen bank asing mampu menghidupkan kembali kematian rasa dan intuisi tersebut? Jika rencana Menteri Keuangan benar-benar direalisasi, kita tidak perlu memrotesnya. Yang kita perlukan adalah kesiapan kita untuk menelan pil pahit. Itulah kenyataan bahwa semua bankir di Indonesia sudah mati rasa, tidak lagi mempunyai kekuatan dan intuisi profesionalisme yang mampu mengimbangi senjata pamungkas yang dipakai oleh Eddy Tansil. Dengan demikian, kita telah membunuh harapan dan masa depan bankir-bankir muda lainnya yang masih memiliki rasa dan intuisi profesional. Kita ingat pepatah, "Jika ada tikus di lumbung padi, janganlah lumbung yang dibakar." Dalam konteks kasus Bapindo, apakah bukannya yang harus dimusnahkan adalah Eddy Tansil dan senjata pamungkasnya? Bukannya harapan dan masa depan para bankir muda Indonesia? Towil dan Subekti merupakan korban dari kesaktian senjata pamungkas Eddy Tansil. Siapa tahu, walaupun Eddy Tansil telah ditahan oleh kejaksaan, dan Bapindo dijaga oleh tameng bank asing, bila senjata pamungkas tak dimusnahkan, bisa saja ia diarahkan ke bank pemerintah yang lain. Karena itulah, sekali lagi, kita mengharapkan Kejaksaan Agung mencari dan memusnahkan senjata pamungkas yang telah menjadi predator perbankan dan perekonomian kita itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini