TERNYATA Kejaksaan Agung gesit juga dalam menjaring kasus Golden Key Group (GKG). Selain wakil kepala cabang Bapindo dan pengusaha pemilik GKG, Eddy Tansil (ET), hingga akhir pekan lalu dua orang mantan direktur utama Bapindo telah ditahan. Bisa jadi jumlah tahanan akan makin bertambah. Kalau benar begitu, ini membuktikan kemelut Bapindo berbeda dengan bobolnya Bank Duta dan Bank Summa. Dalam kasus Bank Duta, tumpuan kesalahan tertuju pada wakil direktur utama, sedangkan dalam kasus Bank Summa, kesalahan praktis ditudingkan ke Edward Soeryadjaya yang begitu berkuasa, hingga komisaris dan direksi bank itu melanggar ketentuan tiga L (legal lending limit), dan prinsip perbankan yang konservatif. Tapi, dalam kasus Bapindo, terbukti bahwa sistem dan struktur formal yang ada tak berdaya menghadapi ulah seorang ET. Kenapa itu bisa terjadi? Kenapa harta negara yang diperkirakan raib Rp 1,7 triliun -- bukan Rp 1,3 triliun seperti sering diberitakan -- paling-paling cuma separuh yang bisa diselamatkan? Jawabnya ternyata bukan pada UU Perbankan atau status bank negara sebagai persero. Juga bukan karena ET "bertanggung jawab", punya "dedikasi tinggi", dan "dapat dipercaya", bak kata Ketua DPA Sudomo dalam suratnya 26 Oktober tahun lalu. Jawabnya adalah ini: seluruh iklim yang melatarbelakangi pelanggaran tiga L, dan perubahan status L/C dari usance ke red clause adalah iklim yang korup. Iklim yang korup juga yang menyebabkan adanya pencairan dana kredit tanpa penandatanganan akad kredit. Iklim korup inilah yang akan ditekan melalui persidangan, di mana pihak kejaksaan akan mengajukan tuntutan berdasarkan UU Anti Korupsi tahun 1970. Kebetulan penulis, 24 tahun silam, terlibat dalam kegiatan anti korupsi: Mahasiswa Menggugat dan Komite Anti Korupsi (KAK). Kegiatan itulah yang melatarbelakangi terbentuknya UU Anti Korupsi. Kegiatan itu pula yang melibatkan aktivis Akbar Tandjung, kini Menteri Negara Perumahan Rakyat, dalam KAK, dan Mar'ie Muhammad dalam Seminar Korupsi di UI. Saat itu Mar'ie mengungkapkan strategisnya peran "political will" Pemerintah dalam memberantas korupsi. Kini Menteri Keuangan Mar'ie mendukung Jaksa Agung dalam melaksanakan UU Anti Korupsi itu. Di sini pula dilema yang akan dihadapi Jaksa Agung dan Menteri Keuangan. Bagaimana korupsi bisa diberantas bila dalam jajaran Pemerintah masih duduk Ketua DPA dan Ketua BPK yang disebut-sebut perannya dalam pengembangan iklim yang melatarbelakangi keputusan ilegal dan korup di Bapindo? Satu- satunya jalan mengatasi dilema ini adalah kesediaan kedua pejabat tinggi negara ini untuk mengundurkan diri, demi lancarnya proses pemeriksaan dan pengadilan. Kalau kelak terbukti mereka ternyata "bersih", tidak ada yang lebih terhormat dari nama baik kedua tokoh tersebut di masyarakat. Agaknya, seperti kata Jaksa Agung Singgih, Pemerintah serius untuk menindak "setan gundul" sekalipun. Maka, kita perlu berpikir dari kerangka mikro Bapindo ke kerangka makro Pemerintah. Di sinilah pentingnya mengumandangkan kembali tema penegakan clean government. Suatu seruan yang oleh sebagian masyarakat kita dianggap hampa, kalau bukan dianggap sebagai suatu rekayasa politik. Karena iklim korup itulah Menteri Keuangan berniat agar manajemen Bapindo diserahkan ke bank asing. Ini mirip, walau tak sama, dengan penyerahan tugas Bea Cukai ke SGS, tahun 1987. Dari segi pemerintahan, penyerahan ke SGS lebih radikal dari penyerahan manajemen bank negara ke bank asing. Sebab, status bank negara adalah persero, sedangkan Bea Cukai adalah institut birokrasi Pemerintah. Dari sudut pandang nasionalis, jelas niat Menteri Keuangan dapat diartikan sebagai hal yang tak sesuai dengan aspirasi nasionalisme. Tapi ada baiknya kita melihat hal ini dari segi teknis perbankan. Pertama, bagaimana menilai kualitas audit. Sulit mengatakan kualitas audit kita sudah memadai. Bank Duta sebelum go public telah diaudit dan belakangan "ditemukan" keganjilan luar biasa. Begitu juga hasil audit Bank Summa dan pengawasan BI akhirnya cuma menunda proses likuidasi, yang hingga kini menyengsarakan banyak nasabah. Suatu upaya tender ke bank asing akan melahirkan international auditor yang sekaligus akan menghasilkan neraca Bapindo yang pasti berbeda dengan neraca per akhir Desember lalu. Dalam neraca per akhir Desember 1993 dinyatakan aset total sekitar Rp 15 triliun, kredit total sekitar Rp 9,6 triliun, dan dana dari masyarakat Rp 5,7 triliun. Di luar dana dari masyarakat, angka lain amat diragukan. Dan saya perkirakan terlalu besar. Suatu pemeriksaan oleh lembaga audit internasional bisa dipastikan akan memunculkan penghapusan berbagai kredit bermasalah. Begitu juga bila Pemerintah membayar kewajiban Bapindo, April mendatang, yang berjumlah Rp 600--700 miliar (ekuivalen), maka status pembayaran Pemerintah harus jelas, apakah berupa pinjaman dari pemegang saham, yang boleh dibilang tanpa syarat (subordination loan), atau berupa pinjaman dengan syarat tertentu. Bagi bank asing yang bersedia mengikuti tender, apa saja insentif untuk mereka? Bank asing yang terpilih bisa memperoleh suatu persentase tertentu dari laba. Dari kondisi Bapindo sekarang sulit diharapkan laba. Karena itu, bank asing yang diserahi tugas manajemen kontrak itu tentunya mengharapkan keuntungan jangka panjang, misalnya equity incentive. Ini dibenarkan oleh status persero bank untuk jangka menengah dan panjang. Dalam hal kerja sama manajemen (management contract) dengan bank asing, bank asing yang terpilih jelas punya reputasi internasional yang harus mereka pertahankan. Berbagai debitur Bapindo, termasuk yang dianggap punya "masalah", justru menyambut positif kemungkinan adanya kerja sama manajemen Bapindo dengan bank-bank asing. Soalnya, para debitur Bapindo telah dibikin bingung oleh aparat Bapindo sejak awal Februari karena adanya kasus Golden Key. Manajemen profesional yang dijalankan bank asing jauh lebih menjanjikan harapan -- ingat, ini hanya sementara -- karena seluruh iklim penyelesaian gaya cincai dan tidak transparan dalam hubungan kerja bisa dihilangkan. Penulis bersimpati dengan sentimen nasionalisme yang ada, tapi otak penulis tidak bisa tidak mendukung langkah tegas yang ditempuh Menteri Keuangan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini