Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI depan Komisi Energi dan Sumber Daya Mineral Dewan Perwakilan Rakyat, Eddie Widiono melontarkan unek-uneknya. Direktur Utama Perusahaan Listrik Negara itu mengeluhkan kesulitan membeli gas alam. Berbagai persyaratan harus dipenuhi sebelum PLN bisa meneken kontrak pembelian, mulai dari keharusan menempatkan dana di rekening penampungan (escrow account) sampai adanya klausul take or pay?dipakai atau tidak, PLN tetap harus membayar gas.
Dalam rapat kerja Rabu pekan lalu itu, Eddie mencontohkan keharusan PLN menerbitkan standby letter of credit (SLBC) sebelum teken kontrak. Dengan SLBC, PLN mesti menempatkan dana dalam jumlah besar di rekening penampungan. Dalam pembelian gas untuk Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) Gresik, misalnya, PLN harus menaruh duit US$ 250 juta. Sudah begitu, uang itu menganggur dan tidak bisa dimanfaatkan sama sekali.
Klausul take or pay juga menyulitkan PLN, karena jika pasokan terganggu atas alasan apa pun?termasuk kegagalan pemasok menyediakan gas?perusahaan listrik itu tetap harus membayar. Pernah terjadi, ketika pasokan gas ke PLTG Gresik terhenti karena produksi gas dari lapangan gas di Jawa Timur terganggu, PLN tetap harus membayar. Itu sebabnya PLN sangat berhati-hati ketika meneken kontrak pembelian gas. "Kalau salah, sakitnya lama," kata Eddie.
Toh, perusahaan setrum negara itu terus berjuang mengubah pembangkit listrik berbahan bakar minyak (BBM) ke gas bumi. Ongkos memproduksi listrik dengan BBM dirasakan kian mahal. Sejak tak lagi membeli solar dengan harga subsidi, ongkos pembelian BBM mencapai Rp 14 triliun, 60 persen dari total biaya bahan bakar pembangkit PLN Rp 23,5 triliun. Padahal, pembangkit berbahan baku solar ini hanya memasok 30 persen dari produksi listrik nasional sebesar 21.768 megawatt (MW).
Kasus yang hampir sama terjadi dalam penyediaan bahan baku gas untuk pabrik pupuk. Malahan, dampak ketidaktersediaan gas sebagai bahan baku urea ini menyebabkan pemerintah Indonesia tahun ini terpaksa menutup pabrik pupuk ASEAN Aceh Fertilizer. Pasokan gas dari lapangan Arun tak lagi cukup memenuhi kebutuhan pabrik pupuk, karena ExxonMobil, sebagai pemegang hak di sana, sudah terikat kontrak penjualan dengan Jepang.
Indonesia merupakan produsen gas terbesar ke-11 di dunia. Dengan cadangan sekitar 150 triliun kaki kubik (TCF), Indonesia bisa memanfaatkan gas sampai ratusan tahun. Bandingkan dengan cadangan minyak bumi kita yang tinggal 20 tahun lagi. Karena itulah, upaya pemerintah mengganti BBM dengan mendorong penggunaan gas alam di dalam negeri patut dipertanyakan. Dengan cadangan yang masih berlimpah saja, Indonesia tak bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. Apalagi jika kelak cadangan gas makin susut.
Tapi tahun ini pemerintah terpaksa mengeluarkan subsidi BBM hingga Rp 70 triliun?naik dari rencana semula Rp 59,2 triliun?akibat harga minyak mentah di pasar dunia yang masih bertahan di atas US$ 40 per barel. Apalagi tahun depan pemerintah cuma menganggarkan subsidi Rp 25 triliun. Pemanfaatan gas akhirnya menjadi niscaya. "Target kita bukan mengurangi subsidi, melainkan menghapusnya," kata Menteri Koordinator Perekonomian, Aburizal Bakrie. Untuk itu pemerintah mendorong penggunaan gas bumi dan batu bara.
Problemnya, pemerintah lebih suka menjualnya ke pasar luar negeri dalam bentuk gas alam cair atawa liquefied natural gas (LNG). Sebab, harga jualnya lebih menarik ketimbang di pasar domestik. Apalagi pendapatan hasil penjualan migas itu masih mendominasi "setoran" ke pemerintah dalam APBN. Sebagai penghasil devisa negara, setoran migas memang terbilang tinggi, per tahun bisa 25-30 persen dari total penerimaan?atau Rp 80 triliun-100 triliun.
Menurut Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Purnomo Yusgiantoro, hingga kini volume gas yang sudah pasti dijual ke luar negeri mencapai 90 triliun kaki kubik. "Pemerintah lebih suka menjual LNG karena langsung dapat duit banyak," kata Purnomo. Saat ini, dari produksi nasional gas bumi 8,64 miliar kaki kubik per hari, proporsi penjualan ke pasar ekspor mencapai 60 persen. Pasar domestik hanya kebagian sisanya (lihat tabel).
Sudah begitu, sejak gas bumi dikomersialkan pada 1970-an, pemerintah seakan alpa membangun infrastruktur gas bumi di dalam negeri. Jaringan pipa gas bumi tak berkembang. Saat ini, baru ada 2.000 kilometer pipa transmisi dan 3.000 kilometer pipa distribusi. Di Pulau Jawa saja baru terpusat di Jawa Barat dan Jawa Timur. Di Sumatera hanya sebagian kecil: Medan, Palembang, dan Grissik.
Direktur Utama PT PGN, WMP Simandjuntak, mengatakan hambatan utama pemanfaatan gas bumi sebagai energi alternatif adalah masih adanya subsidi BBM. Tak mengherankan jika publik sangat bergantung pada BBM sebagai bahan bakar, karena harganya masih murah lantaran tetap disubsidi. Proporsi penggunaan BBM sebagai bahan bakar mencapai 55 persen, bandingkan dengan gas yang baru 23,4 persen. Repotnya, kebanyakan sumber gas berada jauh dari pasar yang terkonsentrasi di Jawa.
Pembangunan infrastruktur gas juga membutuhkan dana besar. Rata-rata setiap satu kilometer pipa memerlukan investasi US$ 1 juta. Menurut PT PGN, proyek jaringan pipa gas bumi dari Grissik ke Cilegon, sepanjang hampir 500 kilometer, membutuhkan investasi US$ 500 juta. Proyek ini diperkirakan selesai pada 2006 untuk konsumen Jawa Barat. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi mencatat, saat ini proyek pembangunan jaringan pipa transmisi dan distribusi di Tanah Air membutuhkan dana hampir US$ 3 miliar.
Meski masih banyak masalah, pemanfaatan gas bumi bagaimanapun harus dimulai. Secara ekonomi, konsumsi gas jauh lebih murah ketimbang BBM, terutama pada saat harga minyak mentah mahal seperti sekarang ini. Dalam hitungan Badan Pengatur, harga gas bumi 35 persen lebih murah dari harga solar yang Rp 1.850 per liter. Dengan begitu, industri, misalnya, dapat menghemat konsumsi energi BBM 3,5 juta kiloliter per tahun, atau US$ 1,1 miliar (Rp 9,9 triliun). Penghematan juga terjadi di sektor transportasi sebesar US$ 1,09 miliar (Rp 9,8 triliun).
PLN pun bisa menghemat sangat besar. Dalam hitungan PLN, pengalihan BBM ke gas bumi bisa menghemat keuangan perusahaan Rp 9 triliun per tahun. Nilai itu setara dengan volume BBM 6.000 juta liter per tahun. Penghematan bisa terjadi karena biaya bahan bakar gas untuk memproduksi satu kilowatt hour (kWh) listrik memang sangat murah, cuma Rp 190. Bandingkan dengan BBM, yang bisa sampai Rp 463 per kWh. "Gas bumi adalah alternatif energi primer yang paling didambakan sektor listrik," kata Eddie.
Cuma, masalahnya, ya itu tadi: bagaimana pemerintah bisa mendorong penggunaan gas jika orientasinya cuma kas negara. Dalam kasus PLN, misalnya. Produsen listrik satu-satunya dalam skala besar ini membeli gas dengan harga tertinggi, US$ 2,5-2,7 per mmbtu. Kalau PLN yang sanggup membayar dengan harga tertinggi saja sulit mendapatkan gas, apalagi perusahaan lain yang jauh lebih kecil. Masuk akal jika dari 27 proyek listrik swasta, hanya dua proyek pembangkit yang menggunakan bahan bakar gas.
Lebih susah lagi adalah konsumen rumah tangga. Selain problem infrastruktur pipa ke rumah-rumah, kata Direktur Gas Bumi Badan Pengatur Migas, Nafrizal Sihombing, problem lain adalah rendahnya daya beli konsumen kelas ini, meskipun harga gas pipa lebih murah hingga 50 persen dari harga gas dalam tabung (LPG). Saat ini harga gas yang dijual ke rumah tangga Rp 1.100-1.400 per meter kubik. Karena itu, Batur mengusulkan agar dana subsidi BBM dialihkan ke subsidi gas konsumen rumah tangga. Subsidi itu bisa untuk pembangunan infrastruktur pipa ke rumah-rumah yang rata-rata diperkirakan Rp 1-1,5 juta. Saat ini baru 60 ribu rumah tangga yang mengkonsumsi gas bumi melalui pipa. Ke depan ditargetkan bertambah menjadi 500 ribu.
Rencananya, kata Nafrizal, Badan Pengatur akan membuat klaster wilayah bebas minyak tanah di Bekasi, Bogor, Palembang, dan Medan, dengan jaringan pipa gas. "Hanya dengan cara itu penggunaan BBM bisa dikurangi," katanya. Ia mencontohkan Vietnam, yang bukan negara produsen migas tetapi mampu menekan konsumsi minyak tanahnya tinggal hanya 4 persen dari total konsumsi energi nasionalnya. Selebihnya memakai gas bumi. Kalau negara konsumen gas seperti Vietnam saja mampu memanfaatkan energi lebih murah, tiada alasan bagi negeri produsen gas seperti Indonesia menunda program gasisasi.
M. Syakur Usman
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo