Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Jatam Beberkan Sederet Masalah Izin Usaha Tambang Emas di Pulau Sangihe

Jatam menilai pemberian izin usaha pertambangan atau IUP untuk perusahaan tambang emas, PT TMS, di Pulau Sangihe, Kepulauan Sangihe, cacat hukum.

11 Juni 2021 | 04.04 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Merah Johansyah. Foto/twitter.com

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta – Koordiantor Nasional Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Merah Johansyah Ismail menilai pemberian izin usaha pertambangan atau IUP untuk perusahaan tambang emas, PT TMS, di Pulau Sangihe, Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, cacat hukum. Menurut Merah, izin ini bertentangan dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Sangihe ini kan pulau kecil. Pulau kecil itu dilindungi oleh regulasi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2014. Sebagai pulau kecil di bawah 2.000 kilometer persegi, Sangihe semestinya tidak boleh ditambang,” ujar Merah saat dihubungi Tempo, Jumat, 11 Juni 2021.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gelombang penolakan terhadap izin pertambangan emas telah meruak sejak 2017. Masyarakat dan kolaisi yang terdiri atas 25 kelompok pegiat lingkungan di Kabupaten Kepulauan Sangihe menentang aktivitas pertambangan seluas 42 hektare itu karena disinyalir menyalahi hukum dan akan mengancam ekosistem lingkungan.

Musababnya, kawasan tambang tersebut memakan separuh dari luas wilayah Pulau Sangihe yang hanya 73.698 hektare. Bila izin tersebut diteruskan, kegiatan tambang ditakutkan bakal merusak lingkungan daratan, pantai, komunitas mangrove, terumbu karang, dan biota laut dalam waktu tak terlalu lama.

Penguasaan wilayah pertambangan juga ditengarai akan berimbas pada hilangnya sebagian atau keseluruhan hak atas tanah dan kebun masyarakat. Di sisi lain, pertambangan juga dapat menyebabkan Pulau Sangihe tenggelam atau rusak parah.

Pada bagian selatan Pulau Sangihe, kata Merah, terdapat beberapa zona kuning dan oranye serta area nyaris merah yang artinya berisiko tinggi terhadap gempa. “Jadi seharusnya izin-izin di kawasan risiko bencana tidak bisa dikeluarkan sembarangan. Ini adalah tanda-tanda bukti pemberian izin pertambangan dalam prosesnya bermasalah,” ujar Merah.

Merah berharap Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral atau ESDM serta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) meninjau ulang atau mencabut izin pertambangan tersebut. “Apalagi masyarakat merasa tidak pernah dilibatkan dalam proses pemberian izin pertambangan,” tutur Merah.

Kementerian ESDM memberikan izin perpanjangan kontrak karya perusahaan tambang emas PT TMS hingga 33 tahun setelah sempat ditangguhkan selama empat tahun sejak 2017. Izin itu tertuang dalam surat Kementerian ESDM Nomor 163 K/MB.04/DJB/2021 yang terbit pada 29 Januari 2021. Padahal berdasarkan Undang-undang tentang Mineral dan Batu Bara Tahun 2020, kontrak karya hanya boleh diperpanjang dua kali dan masing-masing selama 10 tahun.

Francisca Christy Rosana

Francisca Christy Rosana

Lulus dari Universitas Gadjah Mada jurusan Sastra Indonesia pada 2014, ia bergabung dengan Tempo pada 2015. Kini meliput isu politik untuk desk Nasional dan salah satu host siniar Bocor Alus Politik di YouTube Tempodotco. Ia meliput kunjungan apostolik Paus Fransiscus ke beberapa negara, termasuk Indonesia, pada 2024 

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus