Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ekonomi

Jebakan Keledai Harga Kedelai

Setelah dicurigai dan diserang kanan-kiri, Menteri Gita menyerah. Tata niaga kedelai diubah dan keran impor kembali dibebaskan.

23 September 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rapat koordinasi di kantor Wakil Presiden dua pekan lalu itu memanas. Intonasi suara Menteri Koordinator Perekonomian Hatta Rajasa saat menyampaikan pendapat atau pertanyaannya kepada Menteri Perdagangan Gita Wirjawan terdengar tinggi. "Bagaimana bisa ada importir swasta yang diberi jatah 210 ribu ton lebih, sementara Perusahaan Umum Bulog yang diberi penugasan khusus justru hanya dikasih kuota 20 ribu ton?" sumber Tempo mengulang pernyataan Hatta dalam rapat itu.

Hatta gusar karena, menurut si sumber, arahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak awal sudah sangat jelas terkait dengan program stabilisasi harga kedelai. Perintah itu secara khusus ditegaskan melalui peraturan presiden yang diteken 8 Mei lalu. Isinya penugasan kepada Bulog sebagai agen pengaman harga dan penyaluran bahan baku tahu dan tempe tersebut. Hatta menilai perintah itu tak tecermin dalam kebijakan tata niaga yang dibuat Menteri Gita, yang mengubah mekanisme impor kedelai dari importir umum menjadi hanya untuk sejumlah importir terdaftar. "Itu yang bikin Hatta dan Wakil Presiden marah," sumber Tempo lainnya bercerita.

Rapat itu berlangsung di tengah protes dan ancaman pemogokan para produsen tahu dan tempe, yang mengaku keberatan terhadap meroketnya harga dan menipisnya suplai kedelai di pasar. Lantaran sudah mengira akan ada masalah pasokan, Direktur Utama Perum Bulog Sutarto Alimoeso sudah mengajukan izin untuk mengimpor 500 ribu ton sejak Maret. "Separuhnya dimaksudkan sebagai kedelai cadangan pemerintah. Selebihnya untuk komersial," ujar Sutarto, Rabu pekan lalu. "Tapi, kami tunggu-tunggu, izinnya dari Kementerian Perdagangan tak kunjung keluar."

Dalam hitungan Bulog, sistem penyangga dan pengaman harga hanya akan efektif jika mereka bisa menguasai sedikitnya 10 persen dari total pasar. Dengan kebutuhan tahunan rata-rata 2,5 juta ton kedelai, kata Sutarto, "Bulog baru akan bisa berpengaruh kalau punya stok 250 ribu ton. Kalau terlalu sedikit, pasar akan tetap dikendalikan segelintir pemain besar." Izin buat Bulog akhirnya memang keluar, tapi kelewat sedikit dan sudah terlambat untuk mengatasi masalah.

Dengan alasan berbeda, Menteri Keuangan M. Chatib Basri pun khawatir terhadap sistem kuota dan pembatasan impor yang diberlakukan Gita. Kenaikan harga kedelai yang tak terkendali dikhawatirkan menambah inflasi dan memperberat beban ekonomi yang sedang tertekan oleh anjloknya nilai tukar rupiah dan pelarian modal asing. Itu sebabnya, Chatib cenderung meminta agar keran impor dibuka lebih lebar.

Kecuali Gita, para pejabat lain dalam rapat itu punya kesimpulan: kenaikan harga kedelai di pasar domestik lebih me­refleksikan ketidakpastian suplai ketimbang efek nilai tukar. Gubernur Bank Indonesia Agus Martowardojo pun ikut bersuara. "Turunnya nilai tukar rupiah terhadap dolar tahun ini hanya 11 persen, tapi mengapa harga kedelai naik lebih dari 40 persen? Itu pasti ulah spekulan."

Pembagian jatah yang tak jelas dan dianggap terlalu lambat itu bahkan memicu kecurigaan yang lebih luas. Apalagi sistem kuota yang diberlakukan dalam komoditas lain, seperti daging sapi dan produk hortikultura, di Kementerian Pertanian sudah terbukti rawan korupsi dan membuat peluang kolutif antara pelaku dan regulator. Kasus korupsi daging sapi bahkan sedang disidik Komisi Pemberantasan Korupsi dan sebagian lagi mulai masuk meja hijau.

Dikritik kanan-kiri, Gita semula berkukuh tak mau menerima tudingan bahwa model penjatahan impor yang dibuatnya menjadi biang kelangkaan dan melonjaknya harga kedelai. "Saya belum ada bukti soal itu. Masalah itu lebih disebabkan oleh pelemahan nilai tukar dan anomali cuaca, termasuk di sentra produksinya di Amerika," ujarnya. "Harga kedelai tidak akan lagi semurah tahun-tahun sebelumnya akibat dua hal itu."

Meski demikian, ia tak menolak ketika rapat kabinet paripurna pada Rabu pekan lalu akhirnya memutuskan mengembalikan pola lama pengadaan kedelai melalui importir umum. "Akan saya teken keputusan menterinya soal itu," ucap Gita. "Sekarang bebas. Bulog mau impor 20-30 juta ton juga boleh. Tak ada lagi keharusan importir membeli produk lokal. Bea masuk 5 persen juga sudah dihapus."

Hatta Rajasa meyakinkan kebijakan membuka lebar pintu impor itu tak akan memukul petani dan produsen kedelai lokal. Penghapusan bea impor pun bukan masalah, karena sejak awal aturan itu tidak dirancang untuk menambah pendapatan negara. "Bea masuk itu instrumen kendali, bukan pendapatan," katanya. "Itu hanya sepanjang harga masih tinggi. Jika harga sudah normal, nanti kembali diterapkan. Kalau tidak, kasihan petani."

Gita memang balik badan, tapi ia tetap berpendapat, dalam jangka panjang, sistem kuota masih merupakan pilihan terbaik jika pemerintah hendak melindungi petani dan memperkuat ketahanan pangan lewat produk lokal. Hanya dengan sistem itu pula pemerintah punya instrumen untuk mengendalikan pasar. "Jadi sistem ini (importir umum), adalah policy response sementara."

n n n

SAMBIL menenteng ember, Samijan berkeliling di lahan sebahu atau seluas 0,7 hektare milik juragannya di Desa Curahjati, Kecamatan Purwoharjo, Banyuwangi, Jawa Timur. Selasa siang pekan lalu itu, satu per satu pohon kedelai yang mulai memasuki masa panen ia periksa. Butir-butir kedelai yang sudah tua ia petik dan dimasukkan ke ember. "Terlalu sering hujan," lelaki 55 tahun ini menjelaskan mengapa tanaman kedelainya kali ini tumbuh terlalu pendek, rata-rata cuma 25 sentimeter.

Tanaman pendek, panenan pun bisa dipastikan kurang menggembirakan. ­Samijan memperkirakan hasilnya paling banyak hanya 6 kuintal. Padahal, kata dia, jika panas matahari lebih banyak dan hujan lebih jarang, varietas kedelai anjasmoro yang ia tanam itu bisa tumbuh sampai semeter. Panenan pun bisa sampai 12 kuintal setiap bahu.

Untungnya, Samijan panen pada saat harga kedelai di pasar sedang melambung di atas Rp 8.000 per kilogram. Ia membandingkannya dengan harga pada musim sebelumnya, yang hanya berkisar di angka Rp 6.200 per kg. Tapi, dari waktu ke waktu, area tanam kedelai di lahan itu kian menyempit.

Pemilik tanah, Buntas Triono, mengatakan lahan sebahu yang digarap Samijan itu adalah kebun kedelainya yang terakhir. Dari total empat bahu atau 2,8 hektare sawah miliknya, sejak 1994, petani 46 tahun ini selalu menanam kedelai sebagai tanaman sela di antara dua kali panen padi setiap tahun. Tapi, sejak kedelai impor membanjir pada awal 2000, tiga bahu sawahnya ia tanami jeruk siam. Tahun lalu sebahu sisanya ia tanami lagi dengan bibit jeruk siam. "Saat ini kedelai masih bisa ditanam dengan tumpang sari di antara jeruk siam," ujarnya. Tapi dua tahun lagi, saat tajuk jeruk sudah melebar, tak akan ada tempat lagi bagi kedelai.

Di Desa Curahjati, pengalihan lahan tanam kedelai ke jeruk siam sedang jadi tren. Buntas berhitung, harga kedelai yang naik-turun tak menentu membuat petani kurang tertarik menanamnya. Kalaupun sekarang sedang tinggi, ia yakin hal ini tak akan berlangsung lama. "Setelah kedelai impor masuk, harga pasti terjun bebas lagi," kata bekas kepala desa itu.

Banyuwangi tercatat sebagai lumbung kedelai di Jawa Timur, dengan area tanam terluas. Namun, beberapa tahun belakangan, lahan kedelai di kabupaten ini terus menyusut. Menurut data Dinas Pertanian, Perkebunan, Kehutanan, dan Hortikultura setempat, pada 2009, luasnya mencapai 37.700 hektare. Tahun berikutnya turun jadi 36.900 hektare dan pada 2011 menjadi 36.100 hektare, dengan produksi seberat 66.094 ton. "Tanaman jeruk lebih menjanjikan bagi petani," ucap Kepala Bidang Pertanian Kabupaten Banyuwangi Pratmadja Gunawan.

Di sentra-sentra produksi kedelai di Bojonegoro situasinya sama saja. Hujan yang masih kerap turun pada musim kemarau ini membuat banyak petani memilih padi. "Kedelainya menyusut," ujar Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Bojonegoro Syarif Usman. "Memang merosot," Kepala Dinas Pertanian Bojonegoro Ahmad Djupari mengakui. "Dari tahun lalu 19.500 hek­tare, tahun ini tinggal 13 ribu hektare yang ditanami kedelai."

Situasi di Banyuwangi dan Bojonegoro itu jadi gambaran umum produksi kedelai nasional. Petani masih memperlakukan jenis palawija ini bukan sebagai ta­naman utama. Luas lahan tanam pun naik-turun tergantung musim dan harga pasar. Rata-rata luas lahan petani Indonesia yang hanya 3.000 meter persegi juga tak sebanding dengan luasnya lahan yang digarap para produsen kedelai di Amerika Serikat, Brasil, dan Argentina.

Pendek kata, sulit bagi petani kita bersaing dengan koleganya di Amerika, Brasil, dan Argentina. Pada 1992, ketika Indonesia masih swasembada kedelai, lahan tanam jenis kacang-kacangan ini masih mencapai 1,66 juta hektare. Pada 2001, ketika berbagai insentif bagi petani dicabut dan impor dibebaskan, luas area bagi kedelai tinggal 678 ribu hektare dan hampir tak beranjak naik sampai sekarang. Kedelai lokal hanya mampu memenuhi tak lebih dari 30 persen kebutuhan nasional, yang terus bertambah saban tahun. "Solusinya memang hanya bisa lewat impor," ucap Sutarto Alimoeso.

Ada pula masalah lain: setelah lama menggunakan kedelai impor, pengusaha tahu-tempe jadi terbiasa menggunakan kedelai hasil kebun di Amerika ketimbang kedelai lokal. Alasan mereka, kedelai Amerika ukurannya lebih besar dan merata serta kering. "Mutu dan waktu pengiriman kedelai lokal sering tak konsisten," ujar seorang pengusaha tahu di Bandung. "Selain itu, kerap ada kacang dan batu." Produk kedelai lokal praktis lebih banyak digunakan untuk membuat tauco dan kecap.

Tapi, seperti keledai yang jatuh lagi di lubang yang sama, masalah dengan pasokan dan gejolak harga setiap kali berulang. Pasar kedelai dianggap tak sehat karena rawan dikendalikan beberapa importir. Komisi Pengawas Persaingan Usaha sejak dulu mencurigai adanya praktek kartel dalam perdagangan komoditas ini. Ada indikasi bahwa beberapa perusahaan pemegang kuota impor sebenarnya saling berafiliasi dan mendominasi pasar. Ketua Umum Dewan Kedelai Nasional Benny Kusbini bahkan menduga kuat mahalnya harga kedelai dalam dua bulan terakhir lebih disebabkan oleh permainan mereka. "Badan intelijen dan kepolisian seharusnya mengecek gudang-gudang importir besar itu."

Persaingan di pasar semakin tak sempurna dengan munculnya aturan tata niaga yang dibuat Menteri Gita Wirjawan. Dengan alasan mengendalikan harga, Gita mengubah mekanisme impor melalui importir umum menjadi impor terdaftar dengan kuota mulai Mei lalu, dan ­diperbaiki pada 28 Agustus. Dalam peraturan terakhir, izin diberikan kepada 21 importir sebanyak total 584 ribu ton. Jatah terbanyak diberikan kepada PT Fishindo Kusuma Sejahtera Multi Agro Tbk (FKS Multi Agro), yakni 210.600 ton, dari permintaan impor 360 ribu ton.

Sempitnya pintu persaingan membuat tiap importir beradu strategi. Beberapa dari mereka berupaya mengajukan izin melalui berbagai perusahaan, yang ujungnya mereka-mereka juga. PT FKS, misalnya, terdeteksi berafiliasi dengan PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Teluk Intan, yang masing-masing mendapat kuota 46.500 ton dan 8.500 ton. Seorang importir mengatakan ketiga perusahaan itu dimiliki oleh Edy Kusuma, yang dijalankan oleh Siswanta dan Baron Setiawan Sumadi.

Di sisi lain, ada kelompok seperti Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo) dan Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad), yang tak berpengalaman mengimpor kedelai tapi memperoleh jatah 20 ribu ton. "Alasan penunjukannya tak jelas," ujar seorang pemain lama kedelai.

Y. Tomi Aryanto, Akbar Trikurniawan, Ika Ningtyas (Banyuwangi), Sujatmiko (Bojonegoro)


Daftar Importir Terdaftar untuk Kedelai
NoPerusahaanKuota (ton)Kedelai lokal yang wajib diserap (ton)
1FKS Multi Agro210.60095.563
2Gerbang Cahaya Utama46.50021.100
3Teluk Intan8.5003.857
4Budi Semesta Satria42.00019.058
5Golden Sinar Sakti20.0009.075
6Sari Agrotama Persada10.0004.538
7Sukabumi Serasi Indah13.0005.899
8Jackson Niagatama21.6009.801
9Karya Pratama2.7001.225
10Setyacipta Ekatama13.0005.899
11Dwi Kencana Abadi5.0002.269
12Seger Agro Nusantara12.5005.672
13Cargill Trading Indonesia25.50011.571
14Jakarta Sereal55.00024.957
15Sinar Unigrain Indonesia5.0002.269
16Exindokarsa Agung2.5001.134
17Kapuas Lestari2.000908
18Mabar Feed Indonesia28.60012.978
19Bulog100.00045.375*
20Gakoptindo**20.0009.075
21Inkopad20.0009.075
Total664.000***

* Prediksi. Awalnya kuota Bulog 20 ribu ton dengan kewajiban serap 9.075 ton.
** Gakoptindo mengajukan 125 ribu ton, Kementerian Perdagangan menyetujui 20 ribu ton, lalu ditambah menjadi 125 ribu ton. Belakangan Gakoptindo mengaku tidak sanggup dan mengembalikan kuota ke 105 ribu ton.
*** Total kuota ini awalnya 584 ribu ton. Angka berubah setelah kritik berdatangan ke Menteri Gita Wirjawan.

Pembeli Terbesar Kedelai Amerika
Cina: 21,67 juta ton (61,5 persen dari produksi kedelai Amerika)
Jepang: 1,85 juta ton (5,24 persen dari produksi kedelai Amerika)
Indonesia: 1,4 juta ton (5,11 persen dari produksi kedelai Amerika) SUMBER: BPS (2012), NBM (2011), STATISTIK PERTANIAN (2011)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus