Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
INSPEKSI Menteri Perdagangan Gita Wirjawan itu hanya berlangsung 45 menit. Setelah melongok sentra pabrik tahu di Gang Srikaya, Utan Kayu, Jakarta Timur, ia mengecek dua truk ukuran sedang bermuatan 17 ton kedelai impor yang diparkir 30 meter di depan pabrik. Kedelai itu dijual Rp 8.350 per kilogram, lebih murah ketimbang harga di pasar, yang tembus Rp 9.400. Kedelai murah itu dijual oleh PT Gerbang Cahaya Utama dan PT Jakarta Sereal. Distribusinya melalui Gabungan Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Gakoptindo).
Setelah berdialog dengan pembuat tahu-tempe, Gita bergegas pergi. Sejurus kemudian, belasan pembuat tahu-tempe menyemut di sekitar kedelai impor itu. Seorang pria berseragam batik Koperasi Tahu-Tempe Indonesia (Kopti) mendesak Suyanto, Sekretaris Jenderal Gakoptindo, untuk membawa belasan ton kedelai itu ke markas Kopti. "Dijual di sana saja," katanya. Produsen yang lain tidak setuju, "Lebih baik di sini, dekat pabrik." Suyanto tak memutuskan. "Terserah bapak-bapak."
Gakoptindo, menurut Suyanto, lebih berfokus mendistribusikan kedelai ketimbang mengimpor. Tapi organisasi yang tempo hari menggerakkan mogok pedagang tahu-tempe itu sempat memperoleh kuota impor 20 ribu ton dari Kementerian Perdagangan. Kuota itu turun dari sebelumnya 125 ribu ton. Agustus lalu, Gakoptindo menyodorkan permintaan impor sebesar 132 ribu ton. Suyanto menilai permintaan itu sesuai dengan kebutuhan perajin anggota mereka.
Kementerian Perdagangan mengabulkan permintaan itu. Gita Wirjawan mengatakan izin untuk Gakoptindo mengacu pada perintah Wakil Presiden, yang menginginkan siapa saja boleh mengimpor. "Semoga Gakoptindo mampu," ujarnya. Belakangan Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Sri Agustina mengatakan Gakoptindo mengembalikan 105 ribu ton kuotanya. "Mereka hanya sanggup 20 ribu ton," katanya.
Suyanto mengakui pengembalian izin impor itu. Alasannya, mereka kesulitan mendapatkan pinjaman perbankan. Bank Rakyat Indonesia dan Bank Mandiri, yang diminta menggelontorkan kredit, tak kunjung memberi sinyal. Seorang mantan pengurus Koperasi yang dekat dengan Gakoptindo mengatakan Gakoptindo bakal kesulitan mendapat utang dari bank. Alasannya, beberapa orang di Gakoptindo "alumnus" Induk Koperasi Tahu Tempe Indonesia (Inkoptindo), yang terjerat kredit bermasalah US$ 7 juta atau sekitar Rp 77 miliar dari Bank CIC, yang berubah menjadi Bank Century (sekarang Bank Mutiara). "Pejabat Inkoptindo masuk daftar hitam perbankan," ucapnya.
Salah seorang pengurus mengatakan Ketua Gakoptindo Aip Syarifudin paling ngotot mendapatkan kuota impor. "Dia paling aktif menghadiri rapat penentuan kuota dengan importir," katanya. Posisi Gakoptindo kian kuat berkat lobi Hayono Isman, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Demokrat yang juga penasihat Gakoptindo.
Hayono mengakui membawa pengurus Gakoptindo bertemu dengan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Gita. "Respons mereka positif," ujarnya Jumat pekan lalu. Kendati demikian, Hayono menyesalkan kecilnya kuota Gakoptindo. Dia berharap pemerintah masih memberikan kuota lebih banyak kepada koperasi itu.
Dia menilai tidak adanya pengalaman Gakoptindo mengimpor bukan alasan memberi kuota sedikit. "Kami bisa kerja sama dengan importir," ujar Hayono, yang menjadi pesaing Gita dalam konvensi Partai Demokrat. Impor Gakoptindo melalui tangan importir itu, menurut dia, memperpendek rantai perdagangan. Ia berharap pemerintah membela koperasi primer agar anggotanya lebih sejahtera. "Dulu anggota koperasi primer bisa naik haji dan beli rumah."
Induk Koperasi Angkatan Darat (Inkopad) juga mendapat kuota 20 ribu ton. Seorang mantan pengurus mengatakan kuota ini aneh karena Inkopad tidak punya pengalaman mengimpor. Ia yakin Inkopad akan menggunakan perseroan lain untuk mengimpor. "Inkopad pasti menitip ke perusahaan lain," katanya. Hayono Isman juga menuding kuota Inkopad mencurigakan. "Apa urusannya Inkopad dengan kedelai?"
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Sri Agustina enggan menjelaskan alasan penerbitan izin untuk Inkopad. "Pokoknya memenuhi syarat," ucapnya. Keanehan bertambah karena Ketua Umum Inkopad Brigadir Jenderal Sigit Yuwono membantah mengajukan permohonan impor. "Tidak pernah, kuota itu tidak jelas," katanya.
Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo