Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Nama PT Gerbang Cahaya Utama tidak terpampang sebagai penyewa di Gedung Sampoerna Strategic Square, Jakarta. Tapi, jika bertanya kepada petugas bagian informasi atau keamanan, mereka akan menyebut kantor perusahaan itu terletak di lantai tiga. "Sekarang bergabung dengan FKS," kata petugas informasi yang tidak mau disebutkan namanya.
Setelah keluar dari lift di lantai tiga, kantor PT Fishindo Kusuma Sejahtera Multi Sejahtera Tbk (FKS Multi Agro) langsung terlihat di sebelah kanan. Nama perusahaan terpampang besar di belakang meja resepsionis. Direktur FKS Multi Agro Kusnarto membantah jika kantornya disebut jadi satu dengan Gerbang Cahaya Utama. "Tidak benar, GCU (Gerbang Cahaya Utama) di atas," katanya sambil menunjuk ke atas. Tapi Tempo tidak menemukan kantor GCU di lantai atas.
Kusnarto enggan menjelaskan perihal hubungan kedua perusahaan tersebut. Ia hanya mengatakan dekat. "Tapi saya tidak mau berkomentar lagi," ujarnya. Nama dua perusahaan ini mencuat setelah mendapat kuota impor kedelai yang besar dari Kementerian Perdagangan pada awal September lalu. FKS, yang baru dua tahun mengimpor kedelai, mendapat jatah terbesar dibanding 20 importir lain, yaitu 210.600 ton. Sedangkan Gerbang Cahaya Utama memperoleh 46.500 ton.
Tidak hanya dengan GCU, seorang sumber Tempo menyebutkan FKS Multi Agro juga memiliki hubungan dengan importir kedelai lain, PT Teluk Intan. Perusahaan ini mendapat jatah 8.500 ton. "Ketiga perusahaan ini dimiliki orang yang sama atau satu grup," kata seorang importir kedelai. Mereka dikenal dengan FKS Group, yang dimiliki Edy Kusuma.
Direktur Gerbang Cahaya Utama Farhan R. Gunawan mengakui hubungan ketiga perusahaan tersebut. "Yang saya tahu itu keluarga, kakak-adik," katanya. "Belinya pakai satu kapal, lebih murah, efisien." Namun ia membantah ketiganya sengaja bermain di impor kedelai untuk menguasai pasar. "Importir itu berantem, tidak ada teman," ujar Farhan.
Kenaikan harga kedelai yang terjadi beberapa waktu lalu—dari Rp 7.500 per kilogram pada Juli, sekarang Rp 9.500-10.000 per kilogram—menurut dia, karena nilai dolar Amerika Serikat naik. "Cuaca di AS juga buruk, produksi turun, yang lain tidak ada persoalan," katanya.
Adapun perusahaan lain yang terafiliasi dengan pengusaha pangan terbesar adalah PT Budi Semesta Satria, yang mengantongi 42 ribu ton, dan PT Golden Sinar Sakti, yang dijatah 20 ribu ton. Kedua perusahaan ini di bawah bendera Sungai Budi Group, yang bermarkas di Kuningan, Jakarta Selatan, dan pemilik tepung beras merek Rose Brand.
Importir lain yang terafiliasi dengan perusahaan besar adalah Wilmar Group melalui PT Sari Agrotama Persada dan Group Cibadak melalui PT Sukabumi Serasi Indah. Cibadak adalah kelompok bisnis yang menguasai impor kedelai.
PT Jakarta Sereal juga mendapat jatah impor kedelai cukup besar, 55 ribu ton. Direktur Utama Jakarta Sereal Singgih Sutanto mengatakan jatah itu sesuai dengan permintaan dan kapasitas gudang. Perusahaan yang awalnya mengimpor bawang bombay ini mulai masuk ke sektor kedelai empat tahun lalu.
Perubahan sistem impor kedelai menjadi importir terdaftar pada Juni lalu membuka celah importir besar berebut menguasai pasar. Mereka berusaha tetap mendapat kuota besar dari Kementerian Perdagangan antara lain lewat Asosiasi Kedelai Indonesia (Akindo), yang didirikan tepat setahun lalu.
Para importir kedelai menempatkan Yus'an sebagai Direktur Eksekutif Akindo. Yus'an bekas pejabat senior pemerintah. Dia mantan Wakil Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, saat Gita Wirjawan menjadi kepala di lembaga itu. Sebelum menjadi direktur eksekutif di Akindo, Yus'an lebih dulu menjadi komisaris independen di FKS Multi Agro.
Seorang sumber Tempo mengatakan Akindo aktif melobi Kementerian Perdagangan agar memperoleh kuota besar. Kelompok itu ingin mendapat kuota besar karena selama ini menguasai pangsa pasar kedelai hingga 60 persen. Pangsa pasar itu terbentuk ketika mekanisme impor masih bebas. Setelah diberi kuota, mereka tetap ingin melanjutkan dominasi.
Yus'an membantah tudingan membantu lobi importir itu. Menurut dia, importir itu besar karena kompetisi yang sehat. "Jangan suuzon (buruk sangka), kita harus mendukung perusahaan nasional menjadi besar di kancah internasional," ujarnya. "Kalau sudah pensiun, ya, tetap cari kerja," katanya tentang keberadaannya di Akindo.
Sorta Tobing, Akbar Tri Kurniawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo