Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jepang Datang, Melihat & Menerkam Invasi Saudara Tua

Dalam pelita II arus modal Jepang membanjir, hingga melebihi daya tampung pengusaha. Modal tersebut berkiblat pada usaha yang cepat menghasilkan, hingga menimbulkan perubahan bentuk sosial masyarakat.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KETIKA bangunan megah di mulut jalan Thamrin seberang Hotel lndonesia diresmikan Presiden Soeharto awal Desember lalu, orang lalu menduga bahwa arus pedagang dan turis Jepang makin berhandai-handai datang ke mari. Rukan saja karena anak perusahaan penerbangan JAL ikut menyumbangkan 10% modal pembangunan Wisma Nusantara & President Hotel yang bertingkat 28 itu. Tapi karena bangunan raksasa yang serba berbau Jepang itu bisa juga diartikan munculnya semacam. Ipang Centre di jantung Jakarta yang terpisah dari kedutaannya hanya dalam jarak 5 menit jalan kaki. Dalam bahasa orang dagang di sini, maka rampungnya bangunan yang menelan biaya 32,8 juta dollar AS dengan andil Mitsui 45%, bisa diartikan bahwa Jepang berhasrat memperluas kraan PMA mereka. Kado Pesawat Terbang Dugaan itu agaknya tidak meleset. Sebab seiring dengan pindahnya kantor cabang Bank of Tokyo. kantor perwakilan Dai-Ichi Kangyo Bank, JETRO, dan seperangkat perusahaan Jepang lainnya ikut boyong ke Wisma Nusantara, para duta ekonomi dari negeri Sakura secara non-stop memenuhi hampir seluruh ruangan di sana. Dan tentu saja tidak lupa melangsungkan selusin konperensi dengan pers, tokoh-tokoh bisnis dan pemerintahan sambil menyodorkan berbagai rencana investasi menjelang Pelita II. Gemuruhnya lobi Jepang itu tidak saja terpusat di hotel itu, tapi masuk juga ke jalan Cendana. Tidak lama setelah presiden raksasa elektronika Jepang, Matsushita ikut menyaksikan peresmian stasiun TV-RI di Ujungpandang sumbangan haji Gobel dan National, misi Mitsubishi yang dipimpin Chujiro Fujino menyusul mampir di Jakarta. Dan begitu besar minat kelompok "tiga berlian" ini mengguncang kaki bumi ndonesia, sampai-sampai sebuah pesawat terbang konon sudah disediakan sebagai hadiah untuk Presiden. Syukur, pelicin jalan model begini urung dibuatnya karena kepal: negara kabarnya menyarankan liwat aspri Soedjono Humardhani agar hadiah semewah itu disalurkan untuk perbaikan pendidikan tehnik di negeri ini. Namun ketika ditanya kesediaam1ya membantu proyek Asahan -- yang menurut perhitungan siphoa lepailg baru bisa kembali dalam 30 tahun -- Chujiro Fujino mel1gelak memberi jawaban terhadap proyek jangka panjang yang penuh risiko itu. "Tergantung kebijaksanaan kabinet Tanaka", katanya. Surplus Dollar & Calo Bank Belum lagi usai perundingan soal Asahan, timbul lagi maialah baru yang serta merta membuat Menlu-menlu ASEAN yang berkonperensi di Pantai Pataya, Muangthai serentak angkat suara menentang ekspansi karet sintetis buatan Jepang, Menghadapi situasi begini, Presiden Fuji Bank Kunihiko Sasaki dan rombongannya yang singgah ke Jakarla tidak dapat berbuat lain dari pada "memaklumi kecaman produsen-produsen karet alam terhadap program itu". Sebab untuk menggolkan tawaran kreditkomersiilnya pada Pertamina dan PNPN lainnya yang dipandang cukup bonafid, tentu saja Fuji Bank membutuhkan suasana yang cukup tenang untuk berembug dengan pejabat-pejabat Ekuin RI. Namun jauh-jauh hari sebelum Fuji Bank dan beberapa bank Jepang lainnya n1elibatkan diri dalam lembaga-lembaga keuangan yang baru-baru ini disyahkan oleh Ali Wardhana, pancingan-pancingan kredit yang tidak kepalang tanggung bcsarnya telah diumpankan pada Pertamina. Kalau bukan langsung dari kantor pusat di Tokyo atau cabang-cabang di Hongkong dan Singapura -- sembari berkongsi dengan bank-bank Amerika yang punya cabang di Jakarta -- pancingan-pancingan yang dimaksudkan untuk mengurangi surplus dollar yang kian menumpuk di Tokyo itu disalurkan dengan perantaraan Mitsubishi, Mitsui, Sumitomo atau sogo shosha hanya di Jakarta. Sebab seperti dituturkan Dr Panglaykim dalam Seminar "Berdagang dengan Jepang" di Lembaga Pendidikan & Pembinaan Management, "perusahaan dagang Jepang sekaligus merangkap sebagai calo bank-bank mereka". Kalau tidak, bagaimana Tatsuro Goto, salah seorang sesepuh Mitsui begitu berselera menawarkan investasi 1 milyar dollar AS selama Pelita II. Tapi jangan keliru. Sesungguhnya bukan rencana Pelita II itu yang membuat para pedagang dan industriawan bak menitik air liurnya melihat mangsa. Surplus dollar di Jepang sendiri yang tetap tidak merosot setelah revaluasi Yen yang kedua, dibarengi gejala multi nasionalisme yang menghinggapi perusahaan-perusahaan swasta di sana mendorong "invasi" ke seluruh dunia. Tidak terkecuali ke kawasan Asia Tenggara. Bahkan menurut jawaban atas daftar pertanyaan yang diedarkan JETRO pada berbagai perusahaan Jepang, 23 dari 32 perusahaan yang diwawancarai menyatakan terpikat oleh Amerika Latim Sedang 27 perusahaan terang-terangan memilih Asia. Dan di kedua kawasan itu, Brazilia dan Indonesia mendapat prioritas utama. Soalnya mengapa Brazllia dan Indonesia? Rebutan Kue Jawabannya, ada macam-macam. Kalangan JETRO sendiri mencatat keunggulan-keunggulan seperti tingkat upah yang masih rendah, dan mudahnya mendapatkan daerah lokasi industri sebagai alasan yang terpenting. Sedang bagi Mitsubishi yang akhir Januari telah mengirimkan misi muhibah yang juga dipimpin Chujiro Fujino ke Sao Paolo, kestabilan politik pemerintah Soeharto dan Emilico Garrastazu Medici merupakan "faktor yang sangat berpengaruh". Hal mana tidak berarti bahwa Masyarakat Ekonomi Eropah yang sudah diperluas dengan masuknya Inggeris Irlandia, Denmark dan Norwegia tidak n1cllarik minat investor-investor Jepang. Justru untuk melompati tenlbok-tembok tarif yang proteksionistis, para usahawan Jepang telah menanamkan modalnya untuk memanfaatkan pasaran 256 juta penduduk itu, sambil mengembangkan hubungan dagang dengan negara-negara blok Timur. Tentunya dengan harapan juga, hubungan dagang Jepang dengan Amerika Serikat -- yang pernah digambarkan sebagai "saudara tua" Jepang dalam bidang ekonomi dan teknologi -- tidak terus menerus dibayangi awan proteksionisme. Walhasil, dalam tempo 6 bulan sejak Maret 1971, penanaman modal Jepang di luar kandang meningkat 40%. Meskipun dalam angka-angka absolut yang mengalir ke Asia Tenggara masih kalah dibandingkan dengan kawasan-kawasan ekonomi di Utara -- AS dan MEE - penanaman modal di Asia paling cepat kenaikannya. Bayangkan saja. Dalam 21 bulan sejak Maret L971 sampai saat tutup buku tahun lalu, terjadi kenaikan 63% di kawasan Asia. Dan laju investasi itu nampaknya belum akan menurun, bilamana tidak ada yang menghambat pedagang-pedagang Jepang itu: sebuah badan penasehat MITI meramalkan bahwa 30% dari PMA Jepang akan saling berpacu memperebutkan kue Asia Tenggara. Kue apa yang kepingin diraih di sini? Yah, selain mempertahankan pasaran yang sudah mulai dipagari tembok-ten1bok pembatasan impor yang seiranla dengan hasrat negara-negara Asia Tengaara menghidupkan industri-industrinya sendiri, di samping faktor buruh murah dan tanah. Dan yang tidak kalah pentingnya: pengamanan persediaan sumber-sumber alam yang teramat langka di negeri Sakura. Misalnya kerjasama perusahaan-perusahaan Jepang dengan Pertamina dalam hal pemasaran minyak bumi Indonesia di sana. Tahap berikutnya adalah gemuruh investasi dalam penyulingan minyak bumi serta industri petro-kimia antara lain di Pulau Batam Semangka dan Dumai. Lonjakan investasi Jepang di Asia Tenggara yang diramalkan akan mencapai 5,2 milyar dollar AS dalam tahun 1980 -- atau 20% dari PMA Jepang di seluruh dunia --dikhawatirkan mampu menggoncangkan sendi-sendi ekonomi negara-negara Asia Tenggara yang masih sangat rapuh. Kecemasan itu telah teruji dengan meletusnya demonstrasi mahasiswa dan aksi boikot barang-barang Jepang di Muangthai. Meski kejadian sesungguhnya tidaklah sehebat seperti apa yang direncanakan para mahasiswa, Mitsubishi dan Mitsui yang punya laruhan paling besar di Muangthai dengan angka PMA Jepang yang paling tinggi dibandingkan PMA negara-negara lain (lihat Tabel) buru-buru mencoba mengelus hati para mahasiswa dengan menaikkan sumbangannya menjadi 200.000 Baht (10.000 dollar) per tahun bagi 3 universitas selama 5 tahun! Namun pemecahan yang hanya bersifat adhoc itu pun disadari kelemahannya oleh MITI yang tanpa berfikir panjang lagi mengirimkan team survey keliling dunil untuk menyelidiki aktivitas dan tingkah laku para usahawan Jepang di seluruh dunia, sambil meminjam tangan JETRO dan otak di pusat-pusat penelitian universitas-universitas Jepang yang terkenal. Asia Yang Asing Bagi Indonesia, meski untuk pertama kalinya dalam kwartal ke-2 tahun ini, Jepang telah tercatat sebagai penanam modal asing yang trbesar -- 467,7 juta dollar AS untuk 119 proyek dibandingkan dengan AS: 462,2 juta dollar yang tertanam dalam 84 proyek -- situai tampaknya belum serawan Muangthai. Walau demikian, toh ketika Jepang mendengar rencana pemutaran film Romusa yang sudah lepas sensor, diam-diam Menlu Ohira konon mengajukan permintaan pada Pemerintah Indonesia agar mengurungkan film itu beredar. Mengapa ? Menurut orang yang dekat dengan lobi Jepang di Jakarta, "pemerintah dan swasta Jepang khawatir terhadap nasib orang-orang Jepang di tempat-tempat terpencil bilamana rakyat di desa-desa tergugah kembali ingatannnya akan masa pendudukan Jepang". Berarti, tanpa diumumkan terang-terangan, pemerintah Jepang sudah menyadari akan ulah para warganya dalam berbagai scktor perekonomian Indonesia -- mulai dari hutan, laut, sampai nyaris mendominasi perberasan di Karawang -- bisa merupakan bom waktu yang tidak mustahil meletup pada saatnya. Tapi yang lebih penting, bagaimana reputasi putera-putera negari malahan terbit dalam keterlibatan ekonomi itu. Tampaknya kalangan Jepang sendiri sudah menyadari, dari berbagai keterangan yang disampaikan secara lisan maupun tulisan, bahwa reputasi yang ditimbulkan -- juga di negeri ini -- tidaklah selalu semanis apa yang justru diharapkan dari Jepang sebagai negara kaya, dan pernah menyebut diri sebagai "saudara tua" bangsa-bangsa di kawasan Asia Timur dan Tenggara. Dari penelitian JETRO di berbagai negara Asia Tenggara, ada 4 faktor yang merusak gambaran Jepang. Pertama-tama, dibandingkan dengan usahawan-usahawan Eropa dan Amerika yang sudah lama beroperasi di kawasan ini, pedagang-pedagang Jepang masih tergolong "orang asing". Nah, orang-orang asing pernah jadi momok orang Asia memasuki wilayah yang sebelumnya sudah lama dikuasai para saingannya. Dan agar dapat meraih laba secepat-cepatnya mereka cenderung untuk bekerja-sama dengan modal dan jaringan bisnis pedagang-pedagang Tionghoa. Tentu saja jurang sosial yang sudah menganga antara lapisan penduduk pribumi dan non-pribumi itu lebih diperdalam lagi oleh sikap isolasionis pedagang-pedagang Jepang yang jarang mampu berbahasa lain kecuali bahasanya dan senang bergerombol-gerombol sendiri. Dan seolahlah ke-3 faktor itu belum cukup bikin pusing para dubes dan pejabat JETRO di berbagai negara Asia Tenggara, kebanyakan perusahaan Jepang tampaknya belum punya strategi jangka panjang agar ekspansi bisnisnya dapat merangkul masyarakat setempat. Termasuk para pengusaha lokal. Sehingga tumbuhlah anggapan orang, bahwa dalam posisi disetir rapi oleh kantor pusat di Tokyo di tengah persaingan sengit menghadapi Amerika dan Eropa, perusahaan-perusahaan kongsi Jepang lupa mematuhi ketentuan-ketentuan lokalisasi yang dikehendaki Pemerintah negara-negara penampung modal Jepang. Kalangan JETRO di Jakarta bukannya tidak sadar akan relevansi berbagai kecaman masyarakat Asia Tenggara yang juga berlaku di Indonesia. Misalnya soal joint-venture dengan pengusaha-pengu saha non-pribumi l1ntuk menguasai pasaran dalam negeri. Gejala yang sudah umum itu, menurut direktur JETRO cabang Jakarta, Isamu Noto, "hanyalah suatu keterpaksaan". Mengapa? "Sebab PMA di Indonesia tidak diizinkan memasuki bidang perdagangan, sehingga investor-inveStOr Jepang terpaksa mencari partner yang sudah menguasai jaring-jaring distribusi". Seandainya peraturan Pemerintah itu dapat dipertimbangkan kembali, dan perusahaan joint venture dibolehkan memasarkan produk-produknya sendiri, para pengusaha Jepang di sini mau saja mencari jodoh yang pribumi, sambil mengajarkan ilmu & seni pemasaran itu pada partner pribuminya". Dengan demikian, ujar Isamu Noto (42 tahun) "setelah fihbak di Jepang menarik diri akan tercipta lebih banyak pengusaha pibumi yang tidak hanya pintar berproduksi, tapi juga pandai menjajakan barangnya". Teori Ballon Sesungguhnya pendapat orang JETRO yang sebelumnya menjadi staf ahli pemasaran MITI itu masih dapat diperdebatkan. Sebab tanpa langsung terjun secara fisik dalam bidang pemasaran toh modal dan keahlian promosi dagang Jepang yang diperlihatkan liwat perusahaan-perusahaan kongsi seperti PT Toyota-Astra itu sudah amat menakjubkan. Lagi pula, peraturan yang dikeluarkan Departemen Perdagangan untuk menambah ruang gerak pada pengusaha-pengusaha nasional itu tidak dimaksudkan sebagai penganakmasan bagi yang non-pribumi. Masalahnya menurut Yoneda, atase pers Kedubes Jepang di Jakarta merangkap sebagai kepala bagian PMA, adalah "kurangnya partner yang tersedia". Padahal begitu pintu modal asing dibuka awal tahun 1967, pengusaha-pengusaha Indonesia yang tergolong bonafid langsung menjadi "rebutan" antara investor-investor Jepang dan Amerika yang mulai memasuki Indonesia. Sehingga dalam dua-tiga tahun sesudah permohonan-permohonan PMA pertama disetujui, krisis partner itu sudah mulai terasa. Akibatnya beberapa perushaan yang sudah mempunyai hubungan dagang atau sudah berkongsi dengan berbagai perusahaan asing, terus menerus terpaksa menerima lamaran baru. PT Limasatu yang tahun 1969 pertama kali mengadakan joint-venture dengan Sankyo Shokuhin Co sehingga berdirilah pabrik n1ic PT Limasatu Sankyo, berturut-turut dalam tahun-tahun berikutnya mendirikan 4 kongsi Jepang di bidang sepeda, tekstil, dan real estate. Contoh lain lagi adalah PT Respati Jaya, yang berkat hubungan bisnisnya yang mulus dengan Nissho Iwai, telah menelorkan 3 perusahaan kongsi sebagai hasil "perkawinan" perusahaan dagang Jepang dan rekannya yang tergolong Tenglang. Dari contoh tersebut menonjollah pula satu segi lain dari perusahaan kongsi Jepang seperti yang digambarkan oleh Profesor R.J. Ballon dalam Seminar tentang Jepang di gedung LPPM, yakni "Loyalitas pada satu relasi yang sudah terbina". Aspek inilah yang sesungguhnya mudah ditemukan pula pada bisnis Barat maupun bisnis Tenglang --mendorong kebanyakan investor Jepang yang mau mendirikan kongsi di sini pertama-tama datang ke alamat perusahaan Indonesia yang sebelumnya sudah menjadi importir produk-produk Jepang itu. Begitulah misalnya riwayat pendirian joint-venture PT Primatex sebagai buah hubungan bisnis antara Nichimen dengan GKBI, hubungan Matsushita dan Haji Gobel. Atau pabrik kaca Asahimas setelah Tan Siong Kie, tauke perusahaan Rodamas, helasan tahun menjadi importir tunggal kaca bikinan Asahi Glass, salah satu anggota kelompok Mitsubishi. Bagi eks importir-importir yang berkongsi-dengan Jepang yang bermotif mempertahankan pasaran melompati 6arikade impor yang sang Pemerintah, rencana industri dan melatarbelakangi politik pembatasan impor itu hanyalah normal. Misalnya dalam industri mobil dan sepeda motor. Yang penting adalah mana mobil atau motor yang dipakai di sini harganya bisa bersaing barang sejenisnya, tidak peduli pang atau tidak. Wallasil, dalam Tbyota misalnya, terang-teranga den Komisaris PT Astra yang juga dikenal sebagai Dirjen Perindustrian mengakui bahwa praktis seluruh komponen Toyota masih diimpor dari Jepang. Dan untuk mengharapkan itu menaikkan jumlah % komponen yang bikinan Indonesia, masih bersabar sebentar. Sebab seperti malkan oleh sang Dirjen, "baru 10 tahun diharapkan mencapai penggunaan komponen dalam negeri. Sehingga profesi tukang jok yang puluhan tahun menjadi tradisi sebagai penduduk Betawi dan di berbagai tempat lain, harus bersabar dulu sebelum perusahaan kongsi Jepang itu mengatrol mutu industri assembling mobilnya di Indonesia yang masih taraf "putar sekrup". Betapapun, persaingan di antar pang-Jepang itu sendiri, yang di dorong dari belakang dengan naiknya separuh di negeri asalnya agaknya membuat beberapa kongsi. Jepang ingin membeli onderdil-onderdil yang dapat dibuka sini. Misalnya pabrik sepeda motor Suzuki, yang sudah: menghubungi Penelitian Industri Logam di Bandung untuk menjajagi kemungkinan membuat onderdil-onderdil ringan seperti spakbor di dalam negeri. Tidak dapat dilepaskan pula dari usaha menaikkan % ondaerdil dan bahan-bahan lokal itu joventure sedang didirikan oleh Mitsui bersama Bridgestone Tire Manufacturing bersama seorang partner Indonesia untuk melayani kebutuhan industri di sini dengan bahan karet alam Indonesia. Bukan karet sintetis yang menurut H. Kamio, orang pertama Toyo Astra masih lebih digemari oleh perusahaannya dari pada ban bikinan dalam negeri yang tidak cocok ukuran dan kwalitasnya. Dalam hal ini masalahnya memang tidak tergantung pada sang fabrikan baik yang Indonesia maupun Jepang - tapi lebih banyak terletak di pundak Pemerintah. Sebab mungkin dari semua perusahaan memang belum ada untungnya meningkatkan bahan-bahan lokal itu. Salah-salah harga bisa jatuh lebih mahal dari pada harga produk saingannya. Tapi kalau industri asembling yang tergolong jenis industri "substitusi impor" itu tidak lekas-lekas diangkat ke tingkat manufaktur, ada bahayanya dia akan menjadi terlalu terikat pada impor. Dan satu ketika ada gejolak moneter di negeri asalnya - seperti misalnya revaluasi Yen baru-baru ini - orang di negeri ini bisa latah mengimpor inflasi dari luar negeri. Misalnya kenaikan tekstil dalam negeri yang diakibatkan karena ketergantungan industri tekstil Indonesia secara hampir sempurna pada Jepang juga (lihat box: Terhimpil Gajah Jepang & Non-Jepang). Taktik Kibul Kepekaan terhadap gelombang-gelombang moneter atau pasang-surutnya harga di luar negeri memang merupakan - konsekwensi logis. Kalau terlalu berkiblat pada satu negara. Misalnya dalam sektor ekstraktif - minyak, kayu dan hasil-hasil laut yang notabene merupakan lapangan usaha yang lebih terbuka bagi peng1lsaha asli maupun non-asli. Dalam sektor kehutanan misalnya, cukup terkenal cerita-cerita bagaimana lihainya pedagang-pedagang Jepang melipat para pengusaha kayu Indonesia yang dalam bidang ini masih tergolong ingusan. Dan hal ini justru dialami oleh pemegang-pemegang HPH yang terikat dalam kongsi dengan raksasa-raksasa Jepang seperti Ataka, Mitsui dan Mitsubishi. Bukan pengusaha-pengusaha nasional yang sekedar menebang pohon, kemudian menjualnya pada pengusaha Jepang atau tauke dari Malaysia dan Singapura dan langsung menerima pembayaran kontan. Sebab bagi pengusaha-pengusaha bebas ini, ada kebebasan menjual pada siapa saja yang berani membayar dengan harga paling tinggi -- yang umumnya dihindari oleh pedagang-pedagang Jepang. Kunci kelemahan si "partner" Indonesia terletak pada kenyataan bahwa armada pengangkutan kayu ada di tangan Jepang. Hal ini sudah dikemukakan oleh Dirjen Kehutanan Soedjarwo dalam sebuah Raker di Cipayung baru-baru ini. Sehingga logs yang dijual pada importir-importir yang siap menanti di pelabuhan-pelabuhan Jepang, hanya dibayar menurut harga FOB. Meskipun kayu yang diangkut ke kapal sudah dikir memenuhi standar internasional oleh graders Kehutanan, setibanya di Jepang tidak jarang itu barang diclaim importir-importir dengan alasan norma-norma Jepang berbeda dengan norma-norma Indonesia". Anehnya "partner Jepang yang ada di Indonesia tidak mau ikut mengawasi selcksi mutu logs yang mau dikirim ke Jepang", kata seorang pegawai PT Jamaker yang punya konsesi di Kalimantan Timur. Sehingga agar tidak dikibuli terus-menerus, perusahaan itu mengirim beberapa pegawainya ke Singapura dan Malaysia untuk mempelajari segala macam norma yang berlaku dalam dunia perkayuan. Gila-gilaan Selain taktik claim itu - yang kadang-kadang juga merupakan akibat keteledoran fihak Indonesia -- masih ada taktik-taktik lain yang menyangkut harga, pembayaran via hank, dan pengangkutan. Pernah terjadi kayu yang sudah dipesan dibiarkan menumpuk di sebuah pelabuhan di pesisir Kalimantan dengan alasan "harga sedang jatuh di Jepang". Taktik yang dituturkan seorang tauke kayu Malaysia pada wartawan TEMPO di Ujungpandang, menyebabkan beberapa perwira tinggi pemilik HPH terbang ke Jepang, minta agar kayu itu tidak diterlantarkan. Sebab dengan membiarkannya menumpuk itu, kwalitas bisa merosot dan otomatis sang importir dapat membayar harga lebih rendah. Kadang-kadang terjadi pula bagaimana pembayaran ditangguhkan meskipun baran sudah sampai di pelabuhan tujuan, karcna fihak Jepang belum mendapat devisa yang diperlukannya dari Bank of Tokyo. Sehingga satu-satunya tumpuan harapan para eksportir kayu Indonesia adalah informasi yang tidak terputus-putus dengan Atase Perdagangan RI di Tokyo agar dapat mengikuti fluktuasi harg sana. Sedang untuk merebut posisi rezeki yang selama ini menggelincir masuk kantong pengusaha angkutan log Jepang, PT Tri Usaha Bhakti, PT Jamaker ia beberapa pemegang HPH lainnya sedang mengumpulkan modli untuk membeli kapal dan mengelolanya bersama. Ditinjau dari segi devisa negara, lama menguasai angkutan log itu besar artinya. Sebab selain selama ini memungkinkan fihak Jepang berkuasa menentukan harga, juga dalam soal volume kayu yang telah diekspor tidak ada kesepakatan antara Jepang dan Indonesia. Beberapa fihak ahli Bappenas yang membahas soal ekspor log ini baru-baru di Puncak, sampai pada selisih yang cukup kolosal: Rp 500 milyar! Meskipun soal nilai itu masih harus diselidiki lebih lanjut, kalangan pedaang kayu di Singapura cukup maklum akan keterbelakangan petugas-petugas pabean dalam menaksir berapa volume balok-balok kayu yang diangkut kapal-kapal khusus itu. Kalau dalam sektor kehutanan sudah sekian banyak keuntungan yang tersedot ke Jepang tanpa tercatat oleh petugas-petugas Negara, di laut problimnya lebih gawat lagi. Batas-batas alam yang melingkari suatu wilayah konsesi lebih kabur lagi dari pada di hutan yang masih ada tanda-tanda alam, tanda-tanda di pohon atau protes dari tetangga yang dilanggar wilayahnya. Sementara itu, supremasi Jepang di sektor perikanan ini lebih terasa lagi. Sebab ke-8 perusahaan PMA yang mereguk hasil-hasil laut--satu di antaranya beternak mutiara di Maluku -- semuanya berasal dari Jepang. Sedang 8 perusahaan PMDN yang merupakan saingannya, menurut pengamatan Warta E konomi Maitin tidak hanya bergantung pada modal yang disuplai dari Jepang, tapi juga tenaga-tenaga ahli. Jadi tidak mengherankan apabila direksi Indonesia sudah tidak punya kebebasan mengambil keputusan dan mengikhlaskan saja pemsahaannya dikelola oleh tangan-tangan asing. Walhasil sulit dicegah penangkapan-penangkapan ikan secara besarbesaran yang kurang memikirkan hari depan. Seperti kata seorang pengusaha mllda, "bukan hanya anak-anak ikan yang dikuras, tapi juga cucu-cucu ikan sakaligus". Persaingan gila-gilaan yang memaksa sebagian besar nelayan pondok menggantungkan pukatnya akhirnya mendorong Dirjen Perikandn Nizam Zachman menempuh beberapa kebijaksanaan baru. Industri-industri perikanan modern hanya diizinkan beroperasi di kawasan Indonesia bagian Barat. Selat Malaka dan Selatan pulau Jawa. Sedang laut Jawa, selat Karimata dan selat Makasar diperuntukkan bagi para nelayan. Padahal justru daerah yang disisihkan bagi nelayan itu merupakan wilayah lalulintas angkutan laut yang sudah cukup ramai. Diplomasi Beras Isamu Noto, direktur JETRO Jakarta dari balik mejanya berusaha membuyarkan kesalahan-kesalahan yang hanya dilontarkan ke alamat fihak Jepang dalam kasus-kasus kortsluiting Jepang-Indonesia. Masalahnya bukan fihak Jepang berusaha memeras partner Indonesianya dengan seribu satu taktik bisnis, tapi masih ada jurang komunikasi antara kedua belah fihak". Dari fihak Jepang diakuinya kelemahan bahasa merupakan satu sebab mengapa partner Indonesia selalu curiga bilamana anak cucu Momotaru itu menge1uh tentang harga yang jatuh di pasaran dunia. Sebaliknya, "partner Indonesia seringkali tidak punya pengertian yang cukup tentang seluk-beluk ekonomi dunia yang modern dengan fluktuasi harganya, goncangan-goncangan moneter dan persaingan yang tajam antar perusahaan dan antar negara". Begitulah pendapat sang direktur JETRO sambil menunjukkan kuti an-kutipan harga yang selalu dilakukan secara terbuka melalui masmedia di Jepang. Noto agaknya lupa bahwa justru fihak yang paling lemahlah yang seringkali menjadi korban akibat persaingan kekuatan-kekuatan ekonomi raksasa. Bak kata pepatah, gajah sama gajah bertarung, pelanduk mati di tengah-tengah. Misalnya dalam dunia pertekstilan di Indonesia (lihatBox: Terhimpit Gajah Jepang & Non-Jepang). Seperti dikemukakan Dr Panglaykim, "pengusaha Indonesia dalam banyak hal bukanlah lawan yang seirnbang bagi Jepang". Ada 8 faktor pembmding yang dikemukakan eks guru besar yang pernah punya pengalaman di Pintu Kecil. Mulai dari volume perdagangan, variasi produk dari suler-mi sampai sandal jepit, sikap dan falsafah hidup gene.rasi Taisho yang memirnpin 10 perusahaan dagang raksasa Jepang, kredit investasi, kebijaksanaan investasi sampai pada kekompakan pemerintah & swasta Jepang dalam ekspansi dagang dan investasinya di manca-negara. Sambil mengutip ucapan eks PM Ikeda bahwa "Pemerintah Jepang itu ibarat nakhoda kapal, sedaIlg swasta merupakan kompasnya", Panglaykim menggambarkan Indonesia sebagai "potret fragmentaris ribuan perusahaan kecil". Sehingga dari berbagai segi perbandingan itu saja sudah terjawab keheranan kedua mahaguru Sophia University, Tokyo -- RJ Ballon dan Hideo Kimura -- mengapa "dunia luar, tern1asuk Indonesia segan memanfaatkan akibat kumulatif perkembangan ekonomi Jepang dengan surplus modalnya yang harus mencari jalan keluar". Prof. Kimura (33 tahun) yang agak gondrong malah menantang pengusaha-pengusaha lndonesia melibatkan diri dalam perkembangan ekonomi Jepang yang luar biasa itu dalam dasawarsa 1970-an dan 190-an yang akan (latang. "Justru di situlah terletak kesempatan mengadakan bisnis", ujarnya. Sesungguhnya tantangan itu tidak perlu lagi dialamatkan ke fihak Indonesia. Sebab tanpa diundangpun, para investor Jepang sudah berduyun-duyun memasuki negeri ini, mencari partner untuk saling "memadu janji" dalam ketimpangan joint-venture yang konon merupakan sifat khas PMA Jepang. Kesulitan mencari partner pengusaha yang mampu dan bonafid, segera dapat diatasi sebab putera-putera matahari terbit itupun maklum banyaknya oknum-oknum berpengaruh dan perwira-perwira yang sedang menghadapi Masa Persiapan Pensiun (MPP), dan siap untuk berganti karier menjadi pengusaha. Dan meskipun Isamu Noto menyangkal adanya kecenderungan usahawan Jepang menghalalkan berbagai aktik dan siasat untuk mencapai tujuannya, ada setumpuk bukti yang dapat diajukan. Misalnya dalam kasus masuknya Sumitomo Shoji Kaisha ke dalam sektor penggilingan beras yang sesungguhnya tertutup bagi PMA berdasarkan PP No. 65/1971 (TEMPO, 28 Oktober 1973). Namun yang tidak dapat disangkal bahwa fihak Indonesia pun harus mawas diri. Sebab seperti diakui pula oleh orang pertama JETRO "meskipun dalam bidang perkayuan saya pribadi berpendapat bahwa belum mungkin membuka industri plywood dalam Pelita II karena kurang kompetiLif, Pemerintah Indonesia yang mengl1endaki para investor Jepang harus patuh". Kalau tidak, "mereka bisa angkat kaki dari sini dan mencari tempat penanaman modal yang lain". Suara yang senada juga kedengaran dari LEKNAS/LIPI di jalan Gondangdia. Menanggapi invasi PMA Jepang yang terutama merasuk bidang barang-barang konsumsi sehari-hari atau barang ekspor yang kecil risikonya, Dr Thee Kian Wie berkata gamblang: "pada instansi terakhir kan kita juga yang menentukan dalam bidang mana PMA Jepang diizinkan masuk, dan mana yang tertutup". Sambil menekankan tentang azas "kedaulatan ekonomi" di mana negara tuan rumah yang berhak menentukan ulah tamu yang diperkenankan, ekonom yang masih bujang dan berusia 38 tahun itu menyesalkan "masih banyak orang Indonesia yang bersikap terlalu berterima kasih terhadap Jepang". 'lKan mereka juga punya kepentingan kalau sudah bersedia bekerjasama dengan kita", tukas Thee yang bersama rekan-rekannya telah menyelesaikan penelitian bersama team profesor Ichimura dari Kyoto University di Sumatera Selatan. Saburo Okita Maka, kalau seorang pengusaha Pintu Kecil yang dari kedudukan importir selama belasan tahun naik pangkat menjadi asembler barang-barang Jepang, sehingga sudah bisa berlibur ke negeri Sakura bersama seluruh keluarga, masuk akal kalau dia bersikap beribu-ribu kamshia. Dan membiarkan partner Jepangnya mengatur seluruh pola produksi. Apalagi kalau si Jepang mau memodali iklan-iklan raksasa buatan Daihatsu, dan sekaligus menyisipkan showroom mewah di setiap kota besar. Namun apabila pejabat-pejabat Pemel-intah terlalu menomorsatukan kepentingan PMA -baik Jepang maupun asing lainnya - di atas kepentingan pengusaha yang lOO% nasional dalam bidang yang toh mampu digarap bangsa dewek, hal itu terasa janggal. Misalnya dalam kasus perpanjangan izin penangkapan ikan bagi Gabungan Koperasi Nelayan-Nelayan Tuna Jepang di Laut Banda, yang konon melibatkan bantuan pangan rberas) Jepang sebagai senjata diplomasi. Meskipun tambahan bantuan beras yang kemudian diperoleh tidak banyak berarti dibandingkan dengan terampasnya kebebasan nelayan-nelayan pondok melempar pukatnya di Laut Banda yang oleh Jepang sudah dianggap sebagai daerah konsesinya. Betapapun, hikmat yang dapat disadap dari berbagai kasus tersebut adalah kekompakan pemerintah Jepang menjadi pelopor dan pelindung kepentingan swastanya. Sampai-sampai para pejabat Jepang sendiri turun ke meja perundingan menghadapi pejabat-pqabat HELN Deparlu RI dan Ditjen Perikanan membela kepentingan nelayan-nelayan Tuna Jepang yang rada terdesak oleh polusi di pantai Hondo. "Di Indonesia kita belum bisa mengharapkan kekompakan semacam itu", ujar seorang konsultan selepas Seminar di LPPM. Lantas kapan? "Yah, mungkin 5 atau 10 tahun lagi, bilamana sudah lebih banyak eks Menteri dan eks jenderal terjun dalam bisnis". Kerikilnya menurut konsultan itu adalah, rasa superioritas pejabatpejabat Pemerintah Indonesia yang merasa para usahawan pantas bersikap "sebaai orang yang diperintah". Konstatasi itu, yang pernah dikemukakan sebelumnya oleh letjen (Purnawirawan) AJ Mokoginta, memang bukan barang baru lagi. Padahal khusus dalam menghadapi agresivitas usahawan-usahawan Jepang sudah banyak isyarat dinyalakan fihak Jepang sendiri. Paling tidak dari kalangan MITI, bankir-bankir besar yang Juga terusaha keras meredakan ketegangan perang-dagang Jepang dengan blok-blok MEE dan AS, serta sejemput cendekiawan yang berfikiran panjang, Profesor Saburo Okita, Yusuku Kashigawa, Akira Onishi, Tsuneilik Watanabe bersama 9 sarjana Amerika dan Eropa belakangan ini sibuk bicarakan model-model baru dalam penanaman modal asing yang kurang menimbulkan ketegangan. Misalnya pilihan teknologi tanpa penyertaan sistim dan management, pengalihan pemikiran secara bertahap pada usahawan-usahawan lokal (divestment), atau sistim hasil sebagaimana yang dirintis Pertamina dalam bidang perminyakan yang mungkin dapat melegakan pengusaha-pengusaha kaliber mini dan jadi Nusantara, adalah transfer keterampilan yang ditopang oleh dana-dana pemerintah. Sejauh mana pembahasan-pembahasan di kampus-kampus mewah Jepang, Amerika dan Eropa itu menelorkan hasilnya, tergantung sikap Pemerintah negara-negara berkembang yang mendambakan modal asing itu. Tidak terkecuali, Indonesia, menurut seorang yang dekat dengan lobi Jepang di Jakarta, kepingin dijadikan "model bagi hubungan luar-negeri yang ideal dengan Jepang".

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus