DI belakang punggung Prof. Dr J. Verkuyl, persoalan hubungan
Kristen-Islam membayang samar-samar. Ketika misionaris Belanda
yang sudah banyak mengasuh tokoh-tokoh Protestan di Indonesia
itu - dan dianggap besar andilnya dalam pembentukan Dewan Gereja
DGI - berada di tanah air tiga bulan yang lalu, orang diingatkan
kepada hubungan yang kurang harmonis antara Kristen dan Islam di
Indonesia lewat surat terbuka Moh. Natsir (TEMPO 9 Juni).
Sesudah itu, untuk beberapa saat Inasalah itu mengendap ke bawah
permukaan. Tetapi bagaikan kerikil yang menyeliliap di bawah
tikar, soal yang tidak nampak belum tentu tidak menuntut
usaha-usaha penjernihan. Ketika Indonesia dikejutkan oleh RUU
Perkawinan, tidak urung hubungan Kristen-Islam terungkit
kembali. Prof. Rasjidi menulis di beberapa koran, dan menuduh
RUU tersebut sebagai "Kristenisasi terseluhung". Dan tuduhan itu
paralel saja dengan salah-satu pernyataan Natir, yang
mengingatkan betapa orang-orang Kristen banyak sekali memegangi
peranan yang menentukan dalam lembaga-lembaga pemerintahan.
Perwira gentleman sudah tentu hal itu dirasa sebagai "kekalahan"
orang Islam dalam permainan politik, setelah kekalahan dalam
penyediaan dana untuk biaya penyebaran agama. Umumnya para
pemuka Islam suka sekali mengulang-ulang pernyataan bahwa
intensifnya usaha-usaha Kristenisasi di tanah air, untuk
sebagian besar disebabkan oleh tersedianya dana tersebut. Dengan
itu, apa yang ingin dikatakan sebenarnya ialah: dengan kelebihan
dana usaha-usaha Kristenisasi kadang dilakukan secara tidak
sportif. Bila sebuah sekolah Kristen misalnya didirikan dengan
peralatan lengkap dan maju,dan sekolah itu menarik anak-anak
orang Islam, lantas tidak memben kesempatan anakanak muslim itu
melaksanakan sembahyang Jum'at misalnya - dengan jalan
mengharuskan mereka mengikuti pelajaran pada waktu orang-orang
Islam pergi ke masjid, cara-cara seperti itu memang sah dan
tidak bisa dituntut. Tapi itulah yang oleh para pemuka Islam
ingin dikesankan sebagai tidak perwira, tidak gentleman.
Sudah tentu faktor dana bukan satu-satunya penyebab giatnya
usaha-usaha penyebaran agama. Orang misalnya boleh menanyakan:
sekiranya orang Islam memiliki dana yang sama besar. bisakah
usaha-usaha da'wahnya dilakukan dengan kegiatan dan efektifitas
yang sama tanpa organisasi yang teratur? Lebih jauh lagi,
bisakah usaha-usaha di kalangan Islam produktif tanpa merombak
kecenderungan agamanya yang tampak ber"wajah politik" ke "wajah
sosial"? Toh dalam percakapan dengan Dr Verkuyl, di satu ruangan
kantor Badan Penerbit Kristen di Jakarta, misionaris yang telah
bekerja di Indonesia selama 25 tahun itu berkata kepada TEMPO
bahwa bukan hanya kalangan Kristen yang bisa inendapat bantuan
luar negeri. Di negeri Belanda terdapat pula meede Jinanceering
dari organisasi-organisasi swasta - yang sama sekali bukan
gereja -- yang malah memungkinkan kalangan-kalangan yang
berafiliasi kepada agama-agama bukan Kristen mendapat bantuan,
asal untuk proyek-proyek kemanusiaan. Poliklinik PKU
Muhammadiyah di Yogya misalnya, atau Rumah Sakit Islam Jakarta
termasuk badan-badan yang dipercayai menerima bantuan jenis
tersebut. Tak diingkari oleh Verkuyl, seperti dinyatakannya,
bahwa bantuan jenis terakhir di atas hanya berjumlah 4% dari
seluruh dana yang diberikan.
Our Lord. Hanya saja bagi Verkuyl, seperti juga bagi seluruh
misionaris yang gigih, potensi finansiil yang besar tentulah
harus digunakan seproduktif mungkin - dan orang lain tak usah
mengiri. Dengan wajah yang mantap dan bersih, pendeta berumur 65
tahun itu mengulangi kata-kata seorang Uskup dari Afrika dalam
satu dialog "Our Lord memerintahkan agar kita menyelamatkan
orang-orang lain". Dengan semboyan yang lebih populer: agar
menyebarkan berita Injil sampai ke ujung-ujung bumi. Bisa
difahami bahwa untuk terjaminnya tugas suci semacam itu maka
seperti dikatakan Verkuyl, "yang penting kita harus
mempertahankan kemerdekaan agama di negara mana saja. Termasuk
kemerdekaan berpindah agama. Bila ada seorang Islam berda'wah
kepada kita, kita terima".
Tapi benarkah semangat misioner sang pendeta mewakili secara
persis semangat yang ada di kalangan para pemuka Protestan di
Indonesia? Benarkah "vitalitas da'wah" Verkuyl, tokoh yang
antara lain telah menulis bukubuku -tika Krisen -- yang menurut
Prof. Rasjidi, dalam bukunya Korksi terhadap gerakan pembaharuan
Nur-holish Madjid: mengandung beberapa hal yang menyerang ajaran
Islam secara tidak adil - disetujui semua rekanrekannya di
Indonesia? Seperti diakui Verkuyl sendiri, "memang bukan tidak
terdapat perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan Kristen". Dan
perbedaan pendapat, selain menyallgkut cara-cara da'wah, juga
berkenaan dengan sampai berapa jauh "ketegangan da'wah" boleh
dipelihara. Di kalangan tokoh-tokoh Dewan Gereja di Indonesia
(DGI) misalnya, tubuh dari Gereja-Gereja Protestan di Indonesia,
bukan tidak terdapat suara-suara simpatik - yang tampaknya tidak
sekedar mereka ucapkan keluar untuk publikasi tapi mereka
suarakan dalam sidang-sidang sendiri. Sehingga bila tokoh-tokoh
semacam Verkuyl ataupun beberapa orang lain bisa dianggap satu
ekstrim, bukan tidak ada ekstrim lain yang bertentangan.
Beragamnya kelompok-kelompok dalam Protestan, sebagaimana
beragamnya Gereja-Gerqa yang liberal, boleh menyebabkan sesuatu
langkah bersama yang diambil keluar akan berkurang
ekstrimitasnya. Itulah sebabnya bila para pemuka Islam berbicara
tentang Kristenisasi yang pertama kali nampak bukanlah Protestan
- kecuali sekte-sekte kecil militan yang oleh kalangan resmi
Protestan sendiri cenderung dianggap bidat. Sudah tentu kesan
tentang "bahaya Protestan" sengaja tidak mereka hapuskan
--barangkali saja untuk "menjaga kemungkinan kalaukalau yang
terakhir itu berbuat sama".
"Daerah publikasi". Kesimpulan semacam itu boleh pula
disejajarkan dengan kenyataan yang bisa ditarik dari
kancah-kancah pergaulan Islam-Protestan dan Katolik-lslam.
Sementara di mana-mana tidak terdengar kasus-kasus kericuhan
Islam-Protestan -- bahkan di Tapanuli misalnya atau lebih-lebih di
Maluku Islam dan Protestan bergaul dengan mesra--ketegangan yang
acap terjadi antara agama-agama Kristen dan Islam boleh dibilang
hanya antara Protestan dan Katolik, ataupun Katolik dan Islam.
Lebih-lebih bila suara-suara yang dewasa ini santar di kalangan
Islam, tentang RUU Perkawinan, mau didengarkan: bahwa itu RUU, yang
dinilai sebagai senjata sangat bagus untuk membabat tubuh Islam
sampai lembaganya yang terkecil berupa unit keluarga tak lain
dari perbuatan tangan-tangan Katolik dalam posisi-posisi
terselubung Pemerintah. "Orang-orang Protestan tentunya
mendukung pekerjaan itu, tapi setidak-tidaknya bukan mereka yang
ada di depan", kata seorang ustaz dalam satu pengajian. Memang
tak begitu mudah ditolak. Meskipun orang tak punya surat bukti
bagaikan cek, tapi melihat sebuah organisasi agama yang teratur
hirarki Gereja yang ketat, semangat militan seperti yang
misalnya dicerminkan oleh ordo Yesuit yang berpengaruh-yang di
zaman dulu merupakan soko guru bagi tegaknya kembali Katolisisme
dan menumpas musuh-musuh Paus dari kalangan Reformasi - orang
dengan menggunakan tenaga penciumannya dengan mantap memastikan
bahwa sebuah pekerjaan Kristenisasi sudah dikoordinir dan
dibagi-bagi sedemikian rupa, lengkap dengan alat-alat dan
selubung-selubungnya dalam kancah politik.
Padahal, suara-suara yang segar dan ramah bukan tidak bertiup di
kalangan Katolik sendiri. Konsili Vatikan II misalnya, selain
meminta perhatian pada masalah kepincangan soial dunia, juga
menganjurkan pendekatan antar-umat beragama. Diberikannya
perhatian kepada negeri-negeri miskin dalam pada itu
menggembirakan -- apalagi bila orang yakin bahwa usaha
melenyapkan kemiskinan seperti yang dikehendaki Vatikan, toh
tidak identik dengan usaha melenyapkan keyakinan agama umatumat
yang miskin. Sebab gugatan terusmenerus agar orang memperhatikan
kelaparan dan penderitaan, lama-lama boleh menjadi klise bila
orang tidak memasukkan faktor ketidak-adilan dalam pengertian
"penderitaan" dan ketidakadilan tak jarang menyangkut faktor
keyakinan dan kepercayaan. Lebih dari itu orang bisa pula
berharap bahwa suara-suara ramah semacam itu siapa tahu akhirnya
bisa belgerak dari sekedar "daerah publikasi" ke dalam "daerah
kesadaran yang jujur". Apalagi bila suara-suara dari orang-orang
intelektuil Katolik di luar Gereja, yang acapkali tidak
menyetujui tindakan dari kalangan-dalam Katolik yang berbau
"permainan", tidak hanya terdengar di pinggir-pinggir. Tapi
mungkinkah itu?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini