Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sosial

Di belakang punggung verkuyl

Pernyataan misionaris Kristen, J.Verkuyl bertentangan. Dalam ceramahnya bilang tidak akan ada kristenisasi, namun bukunya mengandung ajaran menyerang Islam di Indonesia untuk usaha kristenisasi.

15 September 1973 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI belakang punggung Prof. Dr J. Verkuyl, persoalan hubungan Kristen-Islam membayang samar-samar. Ketika misionaris Belanda yang sudah banyak mengasuh tokoh-tokoh Protestan di Indonesia itu - dan dianggap besar andilnya dalam pembentukan Dewan Gereja DGI - berada di tanah air tiga bulan yang lalu, orang diingatkan kepada hubungan yang kurang harmonis antara Kristen dan Islam di Indonesia lewat surat terbuka Moh. Natsir (TEMPO 9 Juni). Sesudah itu, untuk beberapa saat Inasalah itu mengendap ke bawah permukaan. Tetapi bagaikan kerikil yang menyeliliap di bawah tikar, soal yang tidak nampak belum tentu tidak menuntut usaha-usaha penjernihan. Ketika Indonesia dikejutkan oleh RUU Perkawinan, tidak urung hubungan Kristen-Islam terungkit kembali. Prof. Rasjidi menulis di beberapa koran, dan menuduh RUU tersebut sebagai "Kristenisasi terseluhung". Dan tuduhan itu paralel saja dengan salah-satu pernyataan Natir, yang mengingatkan betapa orang-orang Kristen banyak sekali memegangi peranan yang menentukan dalam lembaga-lembaga pemerintahan. Perwira gentleman sudah tentu hal itu dirasa sebagai "kekalahan" orang Islam dalam permainan politik, setelah kekalahan dalam penyediaan dana untuk biaya penyebaran agama. Umumnya para pemuka Islam suka sekali mengulang-ulang pernyataan bahwa intensifnya usaha-usaha Kristenisasi di tanah air, untuk sebagian besar disebabkan oleh tersedianya dana tersebut. Dengan itu, apa yang ingin dikatakan sebenarnya ialah: dengan kelebihan dana usaha-usaha Kristenisasi kadang dilakukan secara tidak sportif. Bila sebuah sekolah Kristen misalnya didirikan dengan peralatan lengkap dan maju,dan sekolah itu menarik anak-anak orang Islam, lantas tidak memben kesempatan anakanak muslim itu melaksanakan sembahyang Jum'at misalnya - dengan jalan mengharuskan mereka mengikuti pelajaran pada waktu orang-orang Islam pergi ke masjid, cara-cara seperti itu memang sah dan tidak bisa dituntut. Tapi itulah yang oleh para pemuka Islam ingin dikesankan sebagai tidak perwira, tidak gentleman. Sudah tentu faktor dana bukan satu-satunya penyebab giatnya usaha-usaha penyebaran agama. Orang misalnya boleh menanyakan: sekiranya orang Islam memiliki dana yang sama besar. bisakah usaha-usaha da'wahnya dilakukan dengan kegiatan dan efektifitas yang sama tanpa organisasi yang teratur? Lebih jauh lagi, bisakah usaha-usaha di kalangan Islam produktif tanpa merombak kecenderungan agamanya yang tampak ber"wajah politik" ke "wajah sosial"? Toh dalam percakapan dengan Dr Verkuyl, di satu ruangan kantor Badan Penerbit Kristen di Jakarta, misionaris yang telah bekerja di Indonesia selama 25 tahun itu berkata kepada TEMPO bahwa bukan hanya kalangan Kristen yang bisa inendapat bantuan luar negeri. Di negeri Belanda terdapat pula meede Jinanceering dari organisasi-organisasi swasta - yang sama sekali bukan gereja -- yang malah memungkinkan kalangan-kalangan yang berafiliasi kepada agama-agama bukan Kristen mendapat bantuan, asal untuk proyek-proyek kemanusiaan. Poliklinik PKU Muhammadiyah di Yogya misalnya, atau Rumah Sakit Islam Jakarta termasuk badan-badan yang dipercayai menerima bantuan jenis tersebut. Tak diingkari oleh Verkuyl, seperti dinyatakannya, bahwa bantuan jenis terakhir di atas hanya berjumlah 4% dari seluruh dana yang diberikan. Our Lord. Hanya saja bagi Verkuyl, seperti juga bagi seluruh misionaris yang gigih, potensi finansiil yang besar tentulah harus digunakan seproduktif mungkin - dan orang lain tak usah mengiri. Dengan wajah yang mantap dan bersih, pendeta berumur 65 tahun itu mengulangi kata-kata seorang Uskup dari Afrika dalam satu dialog "Our Lord memerintahkan agar kita menyelamatkan orang-orang lain". Dengan semboyan yang lebih populer: agar menyebarkan berita Injil sampai ke ujung-ujung bumi. Bisa difahami bahwa untuk terjaminnya tugas suci semacam itu maka seperti dikatakan Verkuyl, "yang penting kita harus mempertahankan kemerdekaan agama di negara mana saja. Termasuk kemerdekaan berpindah agama. Bila ada seorang Islam berda'wah kepada kita, kita terima". Tapi benarkah semangat misioner sang pendeta mewakili secara persis semangat yang ada di kalangan para pemuka Protestan di Indonesia? Benarkah "vitalitas da'wah" Verkuyl, tokoh yang antara lain telah menulis bukubuku -tika Krisen -- yang menurut Prof. Rasjidi, dalam bukunya Korksi terhadap gerakan pembaharuan Nur-holish Madjid: mengandung beberapa hal yang menyerang ajaran Islam secara tidak adil - disetujui semua rekanrekannya di Indonesia? Seperti diakui Verkuyl sendiri, "memang bukan tidak terdapat perbedaan-perbedaan pendapat di kalangan Kristen". Dan perbedaan pendapat, selain menyallgkut cara-cara da'wah, juga berkenaan dengan sampai berapa jauh "ketegangan da'wah" boleh dipelihara. Di kalangan tokoh-tokoh Dewan Gereja di Indonesia (DGI) misalnya, tubuh dari Gereja-Gereja Protestan di Indonesia, bukan tidak terdapat suara-suara simpatik - yang tampaknya tidak sekedar mereka ucapkan keluar untuk publikasi tapi mereka suarakan dalam sidang-sidang sendiri. Sehingga bila tokoh-tokoh semacam Verkuyl ataupun beberapa orang lain bisa dianggap satu ekstrim, bukan tidak ada ekstrim lain yang bertentangan. Beragamnya kelompok-kelompok dalam Protestan, sebagaimana beragamnya Gereja-Gerqa yang liberal, boleh menyebabkan sesuatu langkah bersama yang diambil keluar akan berkurang ekstrimitasnya. Itulah sebabnya bila para pemuka Islam berbicara tentang Kristenisasi yang pertama kali nampak bukanlah Protestan - kecuali sekte-sekte kecil militan yang oleh kalangan resmi Protestan sendiri cenderung dianggap bidat. Sudah tentu kesan tentang "bahaya Protestan" sengaja tidak mereka hapuskan --barangkali saja untuk "menjaga kemungkinan kalaukalau yang terakhir itu berbuat sama". "Daerah publikasi". Kesimpulan semacam itu boleh pula disejajarkan dengan kenyataan yang bisa ditarik dari kancah-kancah pergaulan Islam-Protestan dan Katolik-lslam. Sementara di mana-mana tidak terdengar kasus-kasus kericuhan Islam-Protestan -- bahkan di Tapanuli misalnya atau lebih-lebih di Maluku Islam dan Protestan bergaul dengan mesra--ketegangan yang acap terjadi antara agama-agama Kristen dan Islam boleh dibilang hanya antara Protestan dan Katolik, ataupun Katolik dan Islam. Lebih-lebih bila suara-suara yang dewasa ini santar di kalangan Islam, tentang RUU Perkawinan, mau didengarkan: bahwa itu RUU, yang dinilai sebagai senjata sangat bagus untuk membabat tubuh Islam sampai lembaganya yang terkecil berupa unit keluarga tak lain dari perbuatan tangan-tangan Katolik dalam posisi-posisi terselubung Pemerintah. "Orang-orang Protestan tentunya mendukung pekerjaan itu, tapi setidak-tidaknya bukan mereka yang ada di depan", kata seorang ustaz dalam satu pengajian. Memang tak begitu mudah ditolak. Meskipun orang tak punya surat bukti bagaikan cek, tapi melihat sebuah organisasi agama yang teratur hirarki Gereja yang ketat, semangat militan seperti yang misalnya dicerminkan oleh ordo Yesuit yang berpengaruh-yang di zaman dulu merupakan soko guru bagi tegaknya kembali Katolisisme dan menumpas musuh-musuh Paus dari kalangan Reformasi - orang dengan menggunakan tenaga penciumannya dengan mantap memastikan bahwa sebuah pekerjaan Kristenisasi sudah dikoordinir dan dibagi-bagi sedemikian rupa, lengkap dengan alat-alat dan selubung-selubungnya dalam kancah politik. Padahal, suara-suara yang segar dan ramah bukan tidak bertiup di kalangan Katolik sendiri. Konsili Vatikan II misalnya, selain meminta perhatian pada masalah kepincangan soial dunia, juga menganjurkan pendekatan antar-umat beragama. Diberikannya perhatian kepada negeri-negeri miskin dalam pada itu menggembirakan -- apalagi bila orang yakin bahwa usaha melenyapkan kemiskinan seperti yang dikehendaki Vatikan, toh tidak identik dengan usaha melenyapkan keyakinan agama umatumat yang miskin. Sebab gugatan terusmenerus agar orang memperhatikan kelaparan dan penderitaan, lama-lama boleh menjadi klise bila orang tidak memasukkan faktor ketidak-adilan dalam pengertian "penderitaan" dan ketidakadilan tak jarang menyangkut faktor keyakinan dan kepercayaan. Lebih dari itu orang bisa pula berharap bahwa suara-suara ramah semacam itu siapa tahu akhirnya bisa belgerak dari sekedar "daerah publikasi" ke dalam "daerah kesadaran yang jujur". Apalagi bila suara-suara dari orang-orang intelektuil Katolik di luar Gereja, yang acapkali tidak menyetujui tindakan dari kalangan-dalam Katolik yang berbau "permainan", tidak hanya terdengar di pinggir-pinggir. Tapi mungkinkah itu?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus