Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Get up, Ronalds!
McDonalds bukan lagi satu-satunya raja burger di dunia yang bundar ini. Ronald, ikon McDonald’s itu, masih saja tersenyum; masih saja jangkung memancarkan optimisme. Padahal, apa boleh buat, perusahaan McDonald’s Corporation yang memiliki 30 ribu gerai di 100 negara ini sedang rugi besar. Dari laporan keuangan McDonald’s Corp. semester pertama 2007 yang dikeluarkan 24 Juli lalu, perusahaan yang berdiri pada 15 April 1955 ini menderita kerugian untuk kedua kalinya dalam sejarahnya 52 tahun sejak berdiri.
Pada kuartal kedua yang berakhir pada Juni 2007, laba bersih (net income) perusahaan yang memasang hamburger sebagai jualan utama ini merosot tajam dari periode sama tahun lalu. Jika pada 2006 McDonald’s mampu mengantongi keuntungan bersih sebesar US$ 834 juta (sekitar Rp 7,5 triliun), tahun ini perusahaan yang didirikan oleh Dick dan Mac McDonald ini justru menuai rugi US$ 711 juta (sekitar Rp 6,4 triliun).
Senior Manager Corporate Media Relations McDonald’s Corp., Tara McLaren Handy, menjelaskan, kerugian ini timbul akibat keputusan perusahaannya mewaralabakan 1.600 gerai di 18 negara Amerika Latin dan Karibia, April lalu. ”Transaksi (waralaba—Red.) itu menimbulkan dampak pada laporan keuangan McDonald’s Corp. secara global,” katanya kepada Tempo melalui surat elektronik yang dikirim pekan lalu.
Transaksi penjualan tersebut mengakibatkan kerugian laba usaha (operating income) McDonald’s Amerika Latin dan Karibia sebesar US$1,6 miliar (sekitar Rp 14,5 triliun) pada triwulan kedua 2007. Kerugian ini berasal dari kerugian kurs dan perbedaan nilai buku (net book value). Nilai inilah yang menyumbang kerugian laba usaha perusahaan yang berkantor pusat di Oak Brook, Illinois, Amerika Serikat, ini secara global sebesar US$ 187 juta (sekitar Rp 1,7 triliun) pada kuartal kedua 2007.
Sayang, Tara tak bersedia membeberkan alasan di balik transaksi tersebut. Tetapi harian New York Times edisi 25 Juli 2007 menyebutkan, alasan utamanya untuk menekan biaya produksi agar memperoleh keuntungan lebih besar. Tak mengherankan, sebab di Amerika Latin sendiri banyak bermunculan restoran cepat saji yang menghidangkan makanan tradisional sejak 2001. Catatan The Wall Street Journal pada 2003 pun menyebutkan, pertumbuhan industri makanan tradisional siap saji di Amerika Latin pada 2001 mencapai 4,5 persen. Sedangkan pertumbuhan restoran siap saji hamburger dan pizza hanya separuhnya.
Meski bukan yang pertama, kerugian tiga bulan terakhir lebih besar dibanding kerugian pertama perusahaan di akhir kuartal keempat (Oktober-Desember) 2002. Lima tahun silam ini, perusahaan ini terpaksa menelan kerugian sebesar US$ 344 juta (sekitar Rp 3,1 triliun). Padahal, pada periode yang sama 2001, McDonald’s justru menangguk untung sebesar US$ 272 juta (sekitar Rp 2,4 triliun).
Penyebabnya urusan restrukturisasi gerai. Pada akhir 2002, perusahaan yang terdaftar di New York Stock Exchange ini terpaksa menutup 700 gerainya yang mayoritas berlokasi di Jepang dan Amerika Serikat, karena tak tahan gempuran tiga pesaing utamanya: Burger King, Wendy’s, dan Taco Bell di wilayah tersebut.
Meski niat perusahaan untuk melego ribuan gerainya ini berimbas pada keuangan perusahaan global, McDonald’s Corp. tetap optimistis. Sebab, kerugian ini tak berimbas pada gerai McDonald’s di negara lain. Terbukti hingga akhir Juni lalu nilai penjualan (revenue) global meningkat sebesar 12 persen dari tahun sebelumnya, yakni dari US$ 5,3 miliar (sekitar Rp 48,2 triliun) menjadi US$ 6 miliar (sekitar Rp 54,6 triliun). ”Justru transaksi ini adalah strategi kami dalam membangun fondasi dasar bisnis waralaba McDonald’s di Amerika Latin,” kata Tara.
Seperti kata Tara, McDonald’s Indonesia yang berdiri pada 1991 pun tak terimbas kerugian tersebut. Menurut Dian H. Supolo, Manajer Pemasaran dan Komunikasi McDonald’s Indonesia, perusahaannya yang kini memiliki 104 gerai di seluruh Indonesia ini tak terkena dampaknya hingga saat ini. Bahkan sejak 2004, pertumbuhan penjualan terus meningkat hingga di atas 10 persen setiap tahun. ”Perusahaan kami justru melihat kesempatan yang masih besar di Indonesia,” katanya.
Dian pun mengakui, McDonald’s Indonesia tetap optimistis meski bukan pemain tunggal di Indonesia. ”Kompetitor tidak dilihat dari segi brand, namun dari segi kualitas produk,” ujarnya. Namun, agaknya McDonald’s Indonesia perlu bersiap, sebab saudara tua dari Amerika Serikat yang lahir pada 1954 telah menyambanginya di Indonesia sejak April lalu. Dan dalam waktu tiga bulan, Burger King mampu melebihi target yang telah ditetapkan oleh Burger King Internasional.
Tak tanggung-tanggung, menurut Teddy H. Tambu, Manajer Pemasaran PT Sari Burger Indonesia selaku pemegang merek Burger King di Indonesia, pihaknya berencana membuka dua gerai lagi di Jakarta hingga akhir tahun ini. ”Pasar tumbuh terus, bahkan tanpa diperkirakan sebelumnya,” kata Teddy yang mengakui bahwa gerainya dikunjungi 1.000–1.500 orang per hari.
Apa ini artinya Ronalds mulai tersandung? Mungkin belum. Tapi tampaknya Ronalds juga perlu membisikkan para ”bosnya” agar rajin membuat modifikasi menu. Menurut Joel Stein, kolumnis majalah Time, salah satu hal yang harus disadari adalah berbagai perusahaan makanan internasional dari negara lain seperti Jollibee (perusahaan Filipina) atau perusahaan waralaba donat Jepang, Beard’s Papa, meledak di AS karena menawarkan variasi. Jika Ronalds yang menyampaikan ini, mungkin kita akan menemukan menu baru yang lebih menggairahkan.
D.A. Candraningrum
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo