Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Menggusur Gerbong Bopeng

Kereta ekonomi akan dihapus bertahap. Tapi dana pemerintah untuk pengadaan kereta rakyat ber-AC ini kerap tersendat.

30 Juli 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUDAH tiga pekan ini, Johannes, 26 tahun, tampak berseri-seri. Meski pagi-pagi dia sudah harus nongkrong di Stasiun Rawa Buntu, Serpong, Banten, setiba di kantor penampilannya jauh lebih segar—biasanya tergopoh-gopoh, gerah, dan kusut. Jawabannya ada di gerbong kereta api.

Johannes kini rajin menumpang kereta rel listrik (KRL) ekonomi AC Ciujung, yang baru dioperasikan beberapa waktu lalu. Tak jadi soal meski ia harus merogoh kocek Rp 5.000 sekali jalan. Ini tiga kali lebih mahal ketimbang menaiki kereta ekonomi biasa, yang ongkosnya Rp 1.500. ”Perjalanan ke kantor menjadi lebih cepat, lebih nyaman. Pakaian pun tak kusut,” ujar karyawan bank swasta ini.

Ima, 40 tahun, lebih semringah. Dengan menumpang kereta Ciujung, ia bisa berhemat Rp 3.000 sekali jalan. Pasalnya, sebelumnya, ia naik kereta ekspres AC Sudirman, yang tarifnya Rp 8.000. ”Lumayan, lebih ringan,” kata warga Serpong ini.

Kereta Ciujung adalah produk baru PT Kereta Api Indonesia (KAI), yang diluncurkan 7 Juli lalu—setelah rel ganda jalur Tanah Abang-Serpong, yang diresmikan Presiden pada 4 Juli lalu, mulai berfungsi. Inilah kereta ekonomi pertama di Indonesia yang berpendingin udara. Sama seperti di kereta ekspres AC, pedagang asongan dilarang berjualan. Kereta ini menempuh 10 kali perjalanan setiap hari: lima kali berangkat dari Stasiun Serpong, lima kali dari Tanah Abang.

Sejatinya, konsep kereta ekonomi AC ini dilahirkan untuk meningkatkan pelayanan terhadap masyarakat berpenghasilan rendah. Namun harga tiketnya yang lebih mahal Rp 3.500 ketimbang tarif kereta ekonomi biasa membuat sebagian besar penumpang kelas ekonomi memilih tak beralih ke kereta baru ini.

Bila merujuk hitungan biaya pokok produksi Ciujung, harga tiket malah seharusnya lebih mahal lagi, Rp 6.000. Tapi pemerintah memberikan subsidi Rp 1.000, sehingga beban konsumen menjadi Rp 5.000. Menurut Kepala Divisi Jabotabek PT KAI Tating Setiawan, konsumen masih memilih berdesakan di kereta sumpek yang tetap dioperasikan 20-an kali perjalanan sehari.

Proyek ini memang untuk menambah jumlah kereta rute Tanah Abang-Serpong. Menurut Direktur Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan Soemino Eko Saputro, dengan munculnya kereta baru ini, ”penumpang nekat” tak ada lagi. Ini julukan untuk ribuan penumpang yang berani menatap maut: duduk, bergelayutan, dan kadang berlarian di atap gerbong.

Karena itulah layanan ditingkatkan dengan pendingin udara. Soemino menargetkan, pada 2010, semua KRL Jabotabek harus sudah ber-AC. Tak ada lagi gerbong bopeng. Malah, ia memprediksi, target itu bisa dicapai lebih cepat. ”Armada KRL AC kita sudah banyak sekarang,” katanya.

Berdasarkan catatan PT KAI, per Juli 2007, terdapat 158 gerbong KRL ekonomi dan 160 gerbong AC yang bisa dipakai. Itu belum termasuk 20 gerbong dari Jepang yang sedang disesuaikan untuk beroperasi di Jakarta. Artinya, untuk meng-AC-kan semua KRL, perlu pengadaan setidaknya 138 gerbong selama tiga tahun, atau 46 gerbong per tahun.

Cukupkah jumlah gerbong sebanyak itu? Belum, ternyata. Kepala Humas Daerah Operasional I PT KAI Akhmad Sujadi mengatakan idealnya harus tersedia 600 gerbong AC untuk mengangkut semua penumpang kelas ekonomi secara layak. Dengan kata lain, di luar pengadaan tadi, masih diperlukan tambahan setidaknya 282 gerbong berpendingin. Biaya membeli gerbong baru Rp 7 miliar, sedangkan gerbong bekas hanya Rp 800 juta per unit.

Masalahnya, PT KAI, kata Akhmad, hanya mampu mengadakan 24 unit per tahun. Artinya, dalam tiga tahun ke depan, tambahan kereta AC yang bisa didatangkan perusahaan pelat merah ini hanya 72 unit. Untuk menutup kebutuhan itulah pemerintah telah membeli 60 unit dan PT KAI mendatangkan 42 gerbong bekas dari Jepang. Tahun ini, pemerintah juga telah memesan 40 gerbong ke PT Industri Kereta Api (Inka), yang pabriknya ada di Madiun, Jawa Timur.

Pemerintah juga memberikan subsidi untuk proyek layanan publik kelas kambing ini. Dana layanan untuk rakyat alias public service obligation (PSO) yang dikucurkan terus meningkat nilainya. Tahun lalu, total dana yang dicairkan Rp 450 miliar. Sedangkan tahun ini yang sudah disetujui Rp 375 miliar—lebih rendah dari yang diminta PT KAI, Rp 475 miliar. Kekurangan Rp 100 miliar ini kemudian dimasukkan ke Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan. Dana PSO itu sudah memperhitungkan margin keuntungan 10 persen bagi PT KAI.

Persoalannya, menurut sumber Tempo, anggaran PSO dari pemerintah itu kerap tersendat. Baru dua tahun terakhir ini PT KAI menerima dana secara penuh sesuai dengan perencanaan. Tahun-tahun sebelumnya (2000-2005), pembayaran tertunggak hingga Rp 1,6 triliun. Masalah lainnya, dana PSO dari pemerintah didasari asumsi jumlah penumpang. Padahal nilainya kerap lebih rendah ketimbang hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan, yang menghitung berdasarkan realisasi penumpang.

Walhasil, ada kesenjangan penilaian. Karena itulah BPK, kata sumber tadi, merekomendasikan agar tunggakan itu ditetapkan statusnya sebagai piutang PT KAI ke pemerintah atau kerugian perusahaan. ”Ini yang repot,” ujarnya. Sebab, pemerintah di satu sisi tidak mau dianggap berutang, tapi di sisi lain, kalau PT KAI dinyatakan rugi, ”Rapornya menjadi merah,” ujarnya.

Dana penundaan (backlog) perawatan prasarana pokok yang seharusnya ditanggung pemerintah juga tertunggak. Nilainya mencapai Rp 11,8 triliun, meliputi backlog prasarana Rp 6,6 triliun dan sarana Rp 5,2 triliun. Karena dana itu tak kunjung cair, terpaksa tahun lalu PT KAI menyediakan sendiri biaya infrastruktur, perawatan, dan operasi (IMO, kependekan dari infrastructure, maintenance, and operation) semampunya, yaitu Rp 740 miliar. Belakangan pemerintah menganggap talangan itu impas lantaran PT KAI seharusnya juga membayar sewa penggunaan rel—yang selama ini tak jelas dasar perhitungannya.

Soal jatah dana PSO harus dirembukkan banyak pihak. Menurut Soemino, penentuan besarannya melibatkan Menteri Keuangan, Menteri Perhubungan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, dan direksi PT KAI. Artinya, kesepakatan dibuat antara pemerintah dan PT KAI. ”Kalau angka yang disepakati itu dipakai, mestinya hitungan BPK tidak lebih tinggi,” ujarnya. Artinya, di kertas mestinya klop.

Pemerintah bukannya tak turun tangan. Untuk pengadaan gerbong melalui PT Inka, disediakan anggaran lebih dari Rp 450 miliar. Belum lagi anggaran untuk rehabilitasi kereta ekonomi yang sudah tua. Karena itu, Soemino balik mempertanyakan komitmen PT KAI meningkatkan pelayanan. Bisnisnya juga harus efisien. ”Jangan sampai pemerintah sudah memberikan banyak dukungan tapi keretanya tak dioperasikan,” ujarnya. ”Itu berarti nggak ada niat.”

Pihak Kereta Api rupanya tak mau berpolemik. Menurut Direktur Keuangan PT KAI Achmad Kuntjoro, saat ini sedang digodok konsep pembiayaan untuk infrastruktur, perawatan, dan operasi tadi, termasuk mekanisme dan prosedurnya. Bila pembiayaan IMO ini nantinya berjalan lancar, peningkatan pelayanan kereta kelas ekonomi lebih mudah dilakukan. Maksudnya jelas: kereta rakyat ini baru bisa nyaman kalau kucuran dana pemerintah tak tersendat.

Retno Sulistyowati

Tunggakan Dana PSO (Rp miliar)

2000344,0
2001283,4
2002197,8
2003248,4
2004263,7
2005270,0
TOTAL1.607,4

Armada Kereta Listrik Jabotabek

 Non-AC*AC**
Total Jumlah gerbong280204
Kondisi scrap (rusak berat, harus dipensiunkan)350
Tahap rehabilitasi, konservasi, atau over haul8744
Siap operasi158160

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus