Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESIN derek itu bergerak membawa beberapa balok beton. Beberapa pekerja di atas ketinggian sekitar seratus meter telah menanti. Yang di bawah juga tak kalah sibuk. Mereka sedang menggarap lima menara Mediterania Garden 2 milik Grup Agung Podomoro. ”Tahap kedua ini sudah selesai 70 persen,” kata Chief Executive Officer Group Agung Podomoro, Ferdinan Boedi Poerwoko, Kamis pekan lalu.
Mediterania Garden 2 merupakan bagian dari Podomoro City, sebuah kawasan terpadu atau superblok di Slipi, Jakarta Barat. Podomoro tengah membangun pula kawasan serupa di Kuningan, Jakarta Selatan. Sejumlah juragan properti juga sedang berlomba menyelesaikan proyek superbloknya di berbagai sudut Jakarta, antara lain Bakrie (Rasuna Epicentrum) dan Lippo (Kemang Village).
Model pembangunan kawasan properti seperti itu diyakini bisa mengatasi berbagai problem perkotaan, seperti makin terbatasnya lahan untuk permukiman dan kemacetan. Jarak antara kawasan permukiman dan perkantoran juga jauh lebih pendek karena selama ini banyak penghuni perkantoran di Jakarta tinggal di luar Jakarta. Data menunjukkan, setiap hari tidak kurang 2 juta orang memasuki Jakarta.
Namun konsep itu justru memunculkan masalah lain. Pengamat tata kota Universitas Tarumanagara, Suryono Herlambang, mengatakan bahwa berbagai megaproyek itu membuat ruang terbuka hijau makin ciut. Padahal, Jakarta baru memiliki 9 persen dari target 13 persen area yang menghasilkan oksigen dan pemudar polutan itu. Kalau target ini ingin dicapai, katanya, mestinya peraturan daerah yang menetapkan koefisien dasar bangunan 60 persen (area untuk bangunan maksimal 60 persen dari luas lahan) harus dipangkas menjadi 30 persen.
Persoalan lainnya adalah eksploitasi sumber daya alam. Menurut Suryono, makin tinggi sebuah bangunan makin berat pula beban lingkungan. Luas lahan satu hektare yang idealnya diisi 200 jiwa kini harus menanggung 2.000 orang. Dampaknya adalah terjadinya penyerapan sumber daya alam secara besar-besaran, seperti pada air.
Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup DKI Jakarta menyatakan, pada 2006 Jakarta membutuhkan air sekitar 550 juta meter kubik. Sebagian besar (54 persen) kebutuhan itu dipenuhi perusahaan air minum, sisanya diambil dari sumber air bawah tanah. Repotnya, dengan mempertimbangkan kondisi air tanah yang aman, kini Jakarta sudah defisit air 66,6 juta meter kubik. Defisit ini bakal membengkak jika puluhan superblok itu sudah jadi.
Kepala Dinas Pertambangan DKI Jakarta, Peni Susanti, menjelaskan bahwa penyedot air terbesar (87 persen) di Jakarta adalah gedung pencakar langit. ”Sampai hari ini gedung-gedung bertingkat itu mengambil air banyak sekali,” kata Peni. Akibatnya, permukaan tanah Jakarta terus turun. Wilayah yang cukup parah, katanya, adalah kawasan Mega Kuningan, dengan penurunan muka air tanah 0,8 sampai 5 meter per tahun.
Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Jakarta Selamet Daroyani juga mensinyalir hal serupa. Pantauan yang dilakukan lembaganya menemukan penurunan permukaan air tanah di sejumlah tempat terjadi setelah dibangun gedung tinggi, salah satunya di daerah Karet Tengsin, Jakarta Pusat. Proyek itu juga ditengarai makin menggerus daerah resapan air.
Boedi mengatakan, perusahaannya bukannya tidak memperhatikan ekologi. Dari seluruh area, dia telah menyiapkan dua hektare untuk ruang terbuka hijau. ”Sumur-sumur resapan juga akan kita buat,” katanya. Trihatma Kusuma Haliman, sang empunya Podomoro, menambahkan bahwa perusahaannya sedang mengembangkan sistem pengelolaan air recycle untuk mencegah pemborosan.
Pengembang Kemang Village juga sudah membangun banyak sumur resapan seperti diatur dalam Peraturan Gubernur Nomor 68 Tahun 2005. Peraturan ini mensyaratkan pembuatan sumur resapan untuk bangunan di atas 5.000 meter persegi. Menurut Presiden Direktur Lippo Karawaci, Viven G. Sitiabudi, perusahaannya juga hanya membangun 35 persen dari luas lahan 12 hektare.
Jadi, apa yang bakal lebih cepat terjadi, Jakarta yang modern dengan gedung-gedung menjulang ke langit atau kerusakan lingkungan yang kian parah?
Muchamad Nafi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo