Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jokowi Izinkan Ekspor Pasir Laut Undang Reaksi Keras Walhi-Greenpeace-CERI

Kebijakan Jokowi mengizinkan ekspor pasir laut dinilai mengancam ekosistem laut, pesisir, dan pulau kecil di Tanah Air.

29 Mei 2023 | 09.31 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Presiden Joko Widodo atau Jokowi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 26 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Hasil Sedimentasi di laut. Aturan tersebut memuat rangkaian kegiatan pengangkutan, penempatan, penggunaan, dan penjualan, termasuk ekspor hasil sedimentasi di laut berupa pasir laut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam pasal 9 ayat Bab IV butir 2, pemanfaatan pasir laut digunakan untuk reklamasi di dalam negeri, pembangunan infrastruktur pemerintah, pembangunan prasarana oleh pelaku usaha, dan ekspor.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Ekspor sepanjang kebutuhan dalam negeri terpenuhi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," tulis 9 ayat Bab IV butir 2 huruf d.

Dalam Beleid yang diundangkan pada 15 Mei 2023 ini, pelaku usaha yang ingin melakukan ekspor wajib memiliki izin pemanfaatan pasir laut. Penjualan pasir laut baru bisa dilakukan setelah mendapatkan izin usaha pertambangan untuk penjualan dari menteri yang menyelenggarakan penerbitan urusan di bidang mineral dan batubara.

Respons keras aktivis lingkungan hidup

Kebijakan Presiden Jokowi terkait izin ekspor pasir laut itu mengundang reaksi dari sejumlah organisasi lingkungan hidup.

Direktur Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Riau, Boy Jerry Even Sembiring, menilai keputusan Jokowi mengancam ekosistem laut, pesisir, dan pulau kecil di Tanah Air. Ekspor pasir laut juga berpotensi berdampak buruk pada masyarakat yang berada di wilayah pesisir dan pulau kecil.

"Kebijakan yang dikeluarkan Jokowi bertentangan dengan komitmennya terhadap perlindungan ekosistem laut, wilayah pesisir, dan pulau kecil," ujar Boy saat dihubungi Tempo pada Ahad, 28 Mei 2023.

Dalam konteks perubahan iklim, Boy menilai penjualan pasir laut akan menambah ancaman kenaikan permukaan air laut. Aktivitas ekstraktif ini, ujar Boy, juga akan memperparah ancaman abrasi dan intrusi air laut.

Kemudian, Walhi juga menyoroti soal kedaulatan negara dalam kebijakan ini. Boy menuturkan kebijakan Jokowi memperlihatkan betapa negara abai pada konteks batas negara yang akan berkurang apabila bibir pantai pulau terluar tergerus karena tambang pasir.

Hal senada disampaikan Greenpeace Indonesia. Menurut Juru Kampanye Laut Greenpeace, Afdillah, pembukaan ekspor pasir laut akan membawa imbas negatif terhadap lingkungan pesisir.

"Dibukanya tambang pasir laut akan mengancam dan memperparah keberlanjutan ekosistem laut di wilayah tambang," ucapnya saat dihubungi Tempo pada Ahad, 28 Mei 2023.

Selanjutnya: Penjualan pasir laut akan menganggu…

Selain itu, ia menilai penjualan pasir laut akan mengganggu kehidupan masyarakat pesisir dan pulau-pulau kecil yang menggantungkan hidup mereka pada laut di wilayah tambang tersebut. Kemudian untuk jangka panjang, kebijakan tersebut juga berpotensi mempercepat dampak bencana iklim.

Bahkan, menurutnya, eksploitasi pasir laut akan menyebabkan kelangkaan pangan. Sebab, laut merupakan salah satu sumber pangan utama masyarakat Indonesia.

Alfadillah mengatakan kebijakan Jokowi dalam membuka kembali ekspor pasir laut adalah bukti pemerintah Indonesia tidak konsisten. Dia berujar regulator berulang kali mengatakan bahwa keberlanjutan ekosistem laut menjadi landasan utama kebijakan, tetapi faktanya bertolak belakang.

Menurutnya, kebijakan ini juga menggambarkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola sumber daya. Alhasil, tuturnya, pemerintah mengambil jalan pintas melalui cara-cara ekstraktif seperti tambang.

Di sisi lain, ia menilai pemerintah seringkali membuat keputusan tanpa kajian atau pertimbangan yang matang. Dalam membuat keputusan pun, menurutnya, pemerintah kerap mengabaikan hak-hak ekosistem dan masyarakat akan terdampak. "Dan sepertinya pemerintah tidak belajar dari kesalahan," ucap Alfadillah. 

Sementara Direktur Center of Energy and Resources Indonesia (CERI) Yusri Usman menuturkan pemerintah seharusnya mengikutsertakan partisipasi publik sesuai kelompok masyarakat yang berkaitan dengan aktivitas penambangan pasir laut. Misalnya, nelayan dan penduduk pulau kecil sekitar zona yang akan diambil pasirnya. Ia menegaskan diskusi dengan kelompok masyarakat ini harus jelas terlebih dahulu.

"PP Nomor 26 tahun 2023 ini kami tidak tahu apakah prosesnya sudah melalui partisipasi publik yang benar," kata dia saat dihubungi Tempo pada Ahad, 28 Mei 2023. 

Indonesia pernah melarang ekspor pasir laut

Indonesia sebelumnya pernah melarang ekspor pasir laut lewat Surat Keputusan (SK) Menperindag No 117/MPP/Kep/2/2003 tentang Penghentian Sementara Ekspor Pasir Laut. Dalam SK itu disebutkan, alasan pelarangan ekspor untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih luas. 

Kerusakan lingkungan yang dimaksud berupa tenggelamnya pulau-pulau kecil, khususnya di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau sebagai akibat penambangan pasir. Sebab saat itu, sejumlah pulau kecil di sekitar daerah terluar dari batas wilayah Indonesia di Kepulauan Riau tenggelam akibat penambangan pasir. 

Alasan lainnya, yaitu belum diselesaikannya batas wilayah laut antara Indonesia dan Singapura. Proyek reklamasi di Singapura yang mendapatkan bahan bakunya dari pasir laut perairan Riau pun dikhawatirkan memengaruhi batas wilayah antara kedua negara.

Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.

Riani Sanusi Putri

Riani Sanusi Putri

Reporter di Tempo

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus