Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Jokowi Kritik izin Membangun PLTP Butuh 6 Tahun, ESDM SInggung Konflik dengan Masyarakat

ESDM menyebutkan bahwa mandeknya perizinan PLTP biasa terjadi di tahap eksplorasi dimana sering timbul penolakan dari masyarakat.

19 September 2024 | 21.07 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TEMPO.CO, Jakarta - Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Eniya Listiani Dewi blak-blakan menjelaskan ihwal mandeknya perizinan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Soal mandeknya perizinan PLTP tersebut baru-baru ini juga dipersoalkan oleh Presiden Jokowi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Eniya menyatakan, mandeknya perizinan PLTP biasanya terjadi selama tahap eksplorasi. Dalam tahap tersebut, biasanya sering ditemui penolakan dari masyarakat terkait pembebasan lahan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Ini (pembebasan lahan) bersinggungan dengan berbagai hal di lokal, penduduk lokal setempat, adanya mungkin protes-protes masyarakat,” kata Eniya ketika dihubungi pada Rabu, 19 September 2024.

Menurut Eniya, pembebasan lahan ini menjadi hal yang paling berat dalam proses perizinan. Pembebasan lahan tersebut berkaitan dengan kewajiban untuk membangun akses jalan masuk ke lokasi pengeboran. Namun Eniya tetap mengatakan bahwa dinamika seperti ini harus dikomunikasikan dengan baik.

Eniya juga menyebut semua persyaratan dibebankan kepada pengembang membuat Perusahaan pengembang kesulitan. Sementara di sisi lain, pengembang tidak mau melewati ketentuan waktu eksplorasi. Hal tersebut yang membuat Eniya terpaksa mengeluarkan surat penghentian eksplorasi sementara.

“Saya pun sering membuat surat penghentian, jadi permintaan penghentian eksplorasi sementara gitu,” ujarnya.

Kesulitan lainnya adalah lokasi panas bumi yang biasanya ada di tengah gunung sehingga sulit dijangkau oleh alat berat yang akan melakukan pengeboran. Selain itu, penentuan titik pengeboran yang cocok juga seringkali memakan waktu karena mengharuskan perpindahan titik ketika potensi panas bumi di titik tersebut kurang maksimal.

Adanya kesulitan-kesulitan tersebut membuat Eniya menginginkan adanya kerja sama dari masyarakat. Ia juga meminta media untuk dapat mengedukasi masyarakat bahwa tujuan PLTP adalah membantu memberikan pasokan listrik ke masyarakat.

“Jadi masyarakat gak protes yang malah menghalangi. Pemerintah ingin memberikan akses listrik, malah sering adanya penolakan,” ucap Eniya.

Sebelumnya Presiden Jokowi mengaku heran karena proses perizinan untuk membangun PLTP bisa memakan waktu 5-6 tahun. Hal ini disampaikannya saat membuka Indonesia International Geothermal Convention and Exhibiton Tahun 2024 di Balai Sidang Jakarta (JCC), Jakarta, Rabu kemarin.

"Tadi disampaikan oleh Pak Menteri ESDM, seingat saya sudah pergi ke tiga lokasi pembangkit listrik tenaga panas bumi. Yang saya heran saat itu peluangnya besar, artinya banyak investor yang mencari energi hijau, EBT (energi baru dan terbarukan), dan potensinya ada 24.000 megawatt. Sudah kita kerjakan, tetapi kok tidak berjalan secara cepat?," kata Jokowi seperti dikutip dari Antara.

Jatam Sebut Banyak PLTP Bermasalah

Juru Kampanye Jaringan Anti Tambang (JATAM), Alfarhat Kasman menyebut PLTP lebih banyak memberikan dampak negatif bagi masyarakat. Menurutnya, daya rusak pertambangan panas bumi sama saja dengan pertambangan lainnya. Ia lantas memberikan contoh kasus yang terjadi di PLTP Sorik Marapi.

“Kebocoran gas H2S di PLTP Sorik Marapi di Mandailing Natal itu telah menyebabkan kurang lebih lima sampai tujuh orang meninggal dunia dan lainnya dilarikan ke rumah sakit karena menghirup gas H2S itu,” kata Farhat ketika dihubungi pada Rabu, 19 September 2024.

Contoh lainnya adalah semburan lumpur di PTLP Mataloko yang mirip dengan semburan lumpur Lapindo. Begitu juga dengan PLTP Poco Leok atau Ulumbu yang menyebabkan atap-atap seng rumah warga menjadi berkarat. Oleh karenanya, Farhat tak jarang mengkritik pemanfaatan panas bumi atau geotermal sebagai Energi Baru Energi Terbarukan (EBET).

“Apanya yang mau dianggap sebagai energi baru energi terbarukan sementara daya rusak yang dihasilkan itu tidak berbeda jauh dengan pada umumnya? Itu kan ngawur sebetulnya, ngaco,” ucapnya.

Ia pun mewanti-wanti agar pemangkasan proses perizinan PLTP saat ini bukan berarti menghapus perizinan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal). Karena bila dilakukan, menurut Alfarhat, hal itu merupakan sebuah kejahatan. Sejatinya, menurut Farhat, Amdal adalah upaya memproteksi dari kemungkinan daya rusak yang disebabkan PLTP.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus