INI baru berita: perusahaan pemerintah mengeluh terjebak pajak. Bahkan merekalah yang pertama memperdengarkan ketidakpuasan mengenai Pajak Bumi Bangunan (PBB) yang baru setahun berjalan. Perkebunan teh, PTP XII, sejak Agustus lalu telah melontarkan keberatan atas tagihan PBB sebesar Rp 1.600 juta. Dalam Konperensi Nasional Karet, yang berlangsung bulan lalu di Medan, juga terdengar imbauan agar pemerintah meninjau kembali penerapan jenis pajak yang satu itu. Sedangkan Persero Jasa Marga merasa perhitungan PBB untuk jalan tol belum cocok. Alasan Jasa Marga, seperti diungkapkan Direktur Keuangan Jasa Marga Sriono, jalan tol tidak bisa diperjualbelikan. Karena itu PBB-nya tidak bisa dihitung berdasarkan nilai jual kena pajak (NJOP), dan juga tidak bisa dibandingkan dengan nilai tanah di sekitarnya. Untuk sementara, agar tidak menunggak pajak, persero ini membayar pajak yang didasarkan pada harga tanah di sayap jalan tol. Jasa Marga telah menyetor Rp 1.930 juta sebagai PBB 1976 dari sembilan Jalan tolnya. Namun, sementara ini, Jasa Marga mengusulkan agar PBB dihitung berdasarkan pendapatan bersih dari tiap-tiap jalan tol. "Ini penting, karena kesuburan jalan tol berbeda-beda. Jagorawi terhitung subur, Tangerang dan Rajamandala agak subur, tapi Surabaya-Malang dan lain-lain tergolong kering," tutur Sriono. Beban PBB yang hampir empat kali besar Ipeda yang dibayar tahun silam, Rp 550 juta, cukup berat dirasakan Jasa Marga. Sebab, sudah diperkirakan tahun ini perusahaan bakal defisit sekitar Rp 5,5 milyar. Adapun PTP XII di Jawa Barat, penghasil teh, mengeluh karena tagihan PBB jauh di atas perhitungan. Harga tanah kosong dinilai Rp 32 juta per ha oleh Inspeksi Pajak. Padahal, berdasarkan pengecekan ke desa-desa dan kecamatan, harganya hanya Rp 5 juta-Rp 10 juta. Realisasi hasil tender untuk bangunan perumahan karyawan, konon hanya berkisar Rp 55.000 per m2, tapi Inpeksi Pajak menetapkan Rp 194.000. Bangunan pabrik, yang dinilai paling tinggi Rp 150.000, ditetapkan Inpeksi Pajak sampai Rp 327.500 per m2. Menurut juru bicara PTP XII, Saleh Bachtiar, pesero yang memiliki kekayaan 45.836,51 ha itu tahun ini diharuskan membayar PBB Rp 1.600 juta, hampir dua kali Ipeda yang dibayar tahun silam, Rp 896 juta. Sampai pekan lalu, PTP XII baru membayar PBB-nya sebesar Ipeda tahun lalu, sambil meminta keringanan. Keluhan perkebunan teh di Jawa Barat itu, ternyata, sama dengan perkebunan karet di Sumatera. Contoh yang dilontarkan di Konperensi Karet Nasional, bulan lalu kasus PTP VIII. Perkebunan karet Kayu Aro, Jambi, ini tahun lalu membayar Ipeda sekitar Rp 40 juta. Tahu-tahu disodori tagihan PBB tahun ini Rp 292 juta. Menurut Kepala Bidang Pembiayaan Kantor Bersama PTP Wilayah I Medan Ahmad Musa Harahap, penilaian itu perlu dicek dengan melelang saja kekayaan kebun karet di Kayu Aro itu. "Dan kalau ada yang mau, lebih baik kebun itu dijual saja, dan uangnya ditanamkan di bank," katanya. Keluhan itu terdengar lucu di telinga kalangan pajak. PBB adalah rangkuman tujuh jenis pajak yang telah dihapuskan. Yaitu, antara lain, Ipeda, pajak kekayaan tanah, pajak rumah tangga, retribusi jalan, dan verponding. "Jadi, tak relevan dibandingkan dengan Ipeda," ujar Dirjen Pajak Salamun A.T. PBB adalah sarana pengumpul dana untuk memperkuat kas pemerintah daerah, karena 90% akan diberikan untuk APBD. Selebihnya, yang ditarik ke pusat, pun akan dimanfaatkan untuk membayar PBB gedung-gedung pemerintah, yang terletak di daerah. PBB untuk tahun anggaran 1986-1987 diharapkan bisa mengumpulkan dana sekitar Rp 284 milyar. Ternyata, sampai akhir semester I tahun anggaran berjalan, menurut Menteri Keuangan Radius Prawiro di DPR belum lama ini, baru tercapai sekitar Rp 48 milyar, atau 17% dari target. Masih jauh. M.W.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini