Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Jurus menjinakkan 4 harimau

AS mencabut GSP (generalized system of preferences/sistem preferensi umum) atau pembebasan bea masuk yang dinikmati Korea Selatan, Taiwan, Singapura & Hong kong. Dalam rangka penyehatan neraca perdagangan AS.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PRIA berkaca mata itu menyatakan kegusaran pemerintahnya. "Pada saat Amerika Serikat berusaha agar mitra dagangnya membuka pintu bagi barang-barang mereka, dan menekan praktek dagang yang tidak fair, Amerika justru mengirimkan isyarat yang keliru,...." Tn. See Chak Mun, yang berpidato mewakili Singapura dalam sidang tertutup GATT di Jenewa Selasa lalu, tidak cuma gusar. Ia, bersama wakil-wakil dari Hong Kong dan Korea Selatan, seakan melakukan unjuk rasa terhadap AS, yang dituduh bertindak diskriminatif, alias pilih kasih. Mendengar ini Washington tidak bergeming. AS, yang sedang membenahi defisit pada neraca perdagangannya, telah mulai mengambil tindakan pengamanan, di antaranya mencabut GSP (Generalized System of Preferences/Sistem Preferensi Umum) atau pembebasan bea masuk, yang selama ini dinikmati keempat "harimau" Asia, yakni Korea Selatan, Taiwan, Singapura, dan Hong Kong. Tindakan inilah yang dinilai See Chak Mun sebagai diskriminasi. Dan ia punya alasan untuk itu. Ditegaskannya, 96 persen dari eskpor AS ke Singapura bisa masuk tanpa bea, sebaliknya hanya 76 persen barang Singapura beroleh fasilitas serupa. Michael Cartland dari Hong Kong dalam nada sama mengingatkan, ekspor Amerika ke negerinya - yang bebas tarif - justru dua kali lebih besar (sekitar US$ 3 milyar) dari ekspor Hong Kong ke Negeri Paman Sam. Wakil Kor-Sel tidak segamblang itu, sedangkan Taiwan bersikap agak lain. Negeri yang bukan nggota GATT ini berencana akan menekan surplus perdagangannya terhadap AS, hingga sekitar US$ 3 milyar (tahun 1992) dari US$ 16 milyar (tahun 1987). Seluruh ekspor empat negara harimau itu diperkirakan mencapai US$ 10 milyar, jumlah yang lumayan besar Jika dibandingkan dengan ekspor Indonesia yang cuma sekitar US$ 35 juta per tahun. Kendati pencabutan GSP terhadap empat harimau Asia itu baru akan berlaku Januari tahun depan, sejumlah negara berkembang - yang pendapatan per kapitanya di bawah US$ 8.500 setahun - sudah bersiap mengambil ancang-ancang. Ya, mengapa tidak? Atribut negara miskin memang suatu keharusan agar dapat menikmati fasilitas GSP dari AS. Fasilitas yang idenya lahir dari pertemuan PBB ini dimaksudkan untuk membantu ekspor barang jadi dan setengah jadi dari negara berkembang, supaya mampu bersaing di pasar negara maju. Saat ini lebih dari 3.000 komoditi dari 141 negara menikmati fasilitas GSP di AS. Hanya saja, beberapa kendala telah menyebabkan beberapa pengambil keputusan di negeri ini kurang optimistis dengan adanya peluang akibat pencabutan GSP empat harimau itu. Dalam satu kesempatan, Drs. Sudradjat D.P. dari Kadin Indonesia berkata bahwa pengusaha Indonesia belum sepenuhnya memanfaatkan fasilitas GSP dibanding rekan-rekannya dari negara ASEAN lainnya. Mengapa? Menurut Sudradjat, pengusaha Indonesia kurang memahami masalah GSP. Seorang ekonom berpendapat serupa, "Pengeskpor kita belum dapat memanfaatkan GSP dengan baik, soalnya pelik dan mesti serius ditangani." Pihak lain melihat kendalanya bukan pada kepelikan GSP atau ketidaktangkasan pengusaha kita, tapi pada produk Indonesia yang sebagian besar adalah barang kerajinan. Nilainya tidak seberapa, sedang barang yang banyak dicari konsumen di AS dan juga bisa bebas GSP umumnya barang industri. Ini berarti masih diperlukan waktu dan kerja keras, sebelum Indonesia bisa memanfaatkan peluang yang timbul dari pencabutan GSP terhadap empat harimau Asia tersebut. Bahwa para harimau dikeluarkan - sementara Brasil, Meksiko, dan Israel tidak setidaknya karena dua hal: 60% dari sekitar US$ 15 milyar impor AS berasal dari mereka juga karena empat negara itu bersikeras untuk tidak mengapresiasi mata uang mereka pada dolar yang sedang meluncur turun itu. Bayangkan, dalam dua setengah tahun belakangan ini dolar turun 50% dibandingkan yen, 40% pada mata uang Taiwan, 10% pada won Korea. Akibatnya, anjloknya dolar - yang menyebabkan warga AS semakin "miskin" di mata dunia -- tak berhasil meredam defisit AS dengan para harimau. Ditambah lagi Taiwan dan Kor-Sel masih menutup pasarnya dari produk AS. Jika AS, yang ekonominya kedodoran itu, tiba-tiba mengejutkan mitranya dengan pencabutan GSP -- ini jelas berkaitan erat dengan penyehatan neraca perdagangannya. Bukankah Jepang juga sudah ditekan, untuk membuka pasarnya lebih lebar? Bambang Harymurti (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus