KAWASAN Pulogadung bukan lagi tanah kosong berawa, seperti tahun 1970-an. Di atas tanah seluas 300 ha dari 430 ha - sudah berdiri banyak pabrik yang kini dikenal dengan nama kawasan industri Pulogadung. Jalan-jalan di situ tampak terawat, dan di jalan itu tak sembarang kendaraan dibolehkan masuk - kecuali yang punya urusan dengan pabrik. Adalah PT Persero JIEP (Jakarta Industrial Estate Pulogadung) - berdiri sejak 1973 - yang membangun, menjual, memelihara, dan menyewakan sebagian lokasi itu. Perusahaan yang dimodali DKI Jakarta dan pemerintah pusat itu, dengan komposisi saham masing-masing 50%, masih mempromosikan sekitar 70 ha lagi untuk keperluan industri. Sebagian merupakan jenis bangunan pabrik siap pakai berlantai dua, yang tarifnya tak sampai Rp 5 ribu per m2. Hanya saja akhir-akhir ini lesu peminatnya. Direktur Utama JIEP, Halim Shahab, S.H., berkata, "Pemasaran kami memang mengikuti iklim investasi dan situasi ekonomi." Katanya, dalam keadaan seperti itulah, JIEP tak bisa menyisihkan keuntungan (dividen) ke pemegang sahamnya. Padahal, dividen ini bagi DKI Jakarta berarti masukan untuk APBD-nya. Karena belum setor dividen, akhir bulan lalu (tepatnya 22 Januari 1988), JIEP dikunjungi Komisi C DPRD DKI Jakarta dalam rangka mencari bahan masukan. Seorang anggota komisi, S. Siregar Pahu, tak segan menilai penampilan JIEP yang tak mampu menyisakan dividen itu. Tapi, kata Halim, rapat umum pemegang saham belum lama ini sepakat tidak akan membagi dividen tahun ini. Pertimbangannya: JIEP masih berupaya merestrukturisasikan keuangan perusahaan. Padahal, dividen sudah tak dibagikan selama delapan tahun terakhir ini. Gubernur DKI Jakarta, Wiyogo Admodarminto, kelihatannya maklum atas ketidakmampuan JIEP itu. "Sejumlah perusahaan belum sanggup membagi dividen untuk menunjang APBD Jakarta," ujarnya seperti dikutip Bisnis Indonesia. Wiyogo sebaliknya menyatakan, Pemda dan Pemerintah Pusat sudah sepakat akan menyuntikkan modal tambahan, setidaknya satu milyar rupiah lagi. Apa JIEP memang tidak untung? Menurut Halim, tahun lalu JIEP masih untung tanpa mengatakan jumlah untungnya yang kira-kira sama dengan laba tahun 1986. Tapi, tahun 1985, JIEP menderita rugi. "Itu akibat melesetnya perhitungan, karena merosotnya harga minyak kita," katanya. Saat itu, JIEP melakukan pembebasan tanah dan membangun pabrik siap pakai. Namun, harga minyak anjlok sampai di bawah 10 dolar per barel. Sedangkan JIEP sudah telanjur mengeluarkan biaya besar. Rugi dia. Dalam dua tahun terakhir, keadaan keuangan JIEP berangsur baik. Seperti dikatakan Halim, JIEP sempat menumpahkan rezeki dividen sampai sekitar Rp 2,5 milyar, dari tahun 1975 sampai 1978, yang berarti separuh dari modal usaha semula. Toh, dividen bukan menjadi tolok ukur keberhasilan manajemen, kecuali kalau hanya melihat kepentingan Pemda semata. Bila dilihat neracanya, baru jelas kondisi JIEP. Aset JIEP sekarang sudah mencapai kira-kira Rp 60 milyar. Padahal, modal disetor semula cuma Rp 5 milyar. Tapi gambaran di sisi lain tidak sebagus itu. JIEP kini harus menanggung utang dari Bank Dunia Rp 12 milyar. Dalam hal ini, JIEP tampak berusaha memenuhi kesepakatannya dengan Bank Dunia, agar perbandingan aset dan utang berjalan 3:1 dalam setahun. Akibatnya, dividen tak turun. Tapi JIEP bisa membanggakan segi keuntungan lainnya. "Lihat saja dampak sosialnya. Besar, Iho," kata Adji Kisoro, Sekretaris Perusahaan JIEP. Contohnya: setelah industri tumbuh di kawasan Pulogadung, 30 ribu buruh memperoleh kesempatan kerja. Sementara itu, PT JIEP masih mencari investor yang mau memanfaatkan kawasan tersedia sekitar 70 ha itu. "Kita lihat saja sampai lima tahun lagi," kata Halim. Suhardjo Hs dan Linda Djalil
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini