Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Bukan sekadar silaturahmi

Utang Indonesia per september 1987 mencapai 35,2 milyar dolar, 32% di antaranya berasal dari jepang yen masih terus menguat & utang indonesia kian membengkak. Kunjungan Widjojo Nitisastro ke Jepang.

13 Februari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KALAU Pak Widjojo Nitisastro pergi ke Jepang sampai dua kali, dalam jangka waktu yang hanya tiga minggu, tentu ini bukan sekadar jalan-jalan. Keberangkatan pertama terjadi 25-30 Januari silam. Dan seperti Ninja saja, pada 6 Februari berselang, ia muncul lagi di sana. Menurut rencana, untuk jangka waktu empat hari, hingga Rabu pekan ini. Ada apa ? Benarkah, seperti banyak dibicarakan, kunjungan itu semata-mata untuk membenahi utang Indonesia? Sampai saat ini, belum ada keterangan resmi yang bisa diberikan baik oleh para pejabat Jepang maupun Widjojo sendiri."Maaf, kami belum bisa memberikan keterangan, maklum sangat sibuk," jawab beliau dari kamar nomor 530, Hotel Okura. Jawaban yang sama juga diperoleh TEMPO, pada kunjungannya yang kedua. Agak berahasia, memang. Selain bertemu dengan PM Noboru Takeshita - untuk menyampaikan undangan presiden Soeharto - Widjojo pada kunjungan pertamanya juga menjumpai sejumlah pejabat tinggi seperti Menlu Sousuke Uno dan Menkeu Kiichi Miyazawa. Sedangkan pada kunjungan kedua, ia berjumpa dengan Wakil Menteri Keuangan, Dirjen Biro Kerja Sama Luar Negeri, dan eks PM Yasuhiro Nakasone. Tapi yang tak kalah pentingnya, mungkin, pertemuan dengan para pimpinan OECF (Dana Kerja Sama Ekonomi Luar Negeri) dan Bank Eksim Jepang. Dan kalau sudah bertemu dengan mereka, apalagi yang dibicarakan jika bukan soal utang dan bantuan ekonomi. Seorang pejabat Jepang di Tokyo mengemukakan, "Pembicaraan kali ini tidak boleh dibocorkan, tapi kalau membahas soal bantuan ekonomi Jepang, itu sudah pasti." Sebagai kreditur terbesar, Jepang memang layak mendapatkan perhatian khusus. Bagaimana tidak? Dari seluruh utang pemerintah RI, yang per September lalu mencapai 35,2 milyar dolar, 32% di antaranya berasal dari Jepang. Dan berdasarkan perhitungan, kalau saja yendaka terus mengganas, utang pada Jepang yang sekitar 11,264 milyar dolar akan terus membengkak. Situasi seperti ini, memang, sudah digambarkan dalam pidato Presiden tentang RAPBN, Januari lalu di DPR. Karena menguatnya mata uang asing, cicilan plus bunga utang Indonesia untuk tahun fiskal 1988-1989, yang semestinya hanya 4,5 milyar dolar, naik menjadi 6 milyar dolar, atau sekitar Rp 10,6 trilyun. Jadi, adalah wajar kalau kedatangan Widjojo diduga membicarakan soal itu. Tapi apa tujuannya, kalau pagi-pagi pemerintah sudah mengisyaratkan, Indonesia tidak akan meminta rescheduling atau refinance, yakni dua formula penundaan pembayaran utang. Maklum, untuk mendapatkan rescheduling, Indonesia hanrs antre panjang sementara utang baru belum pasti di tangan. Kalau begitu, apa yang dilakukan Widjojo untuk meringankan beban Indonesia? Sebuah sumber dari kalangan pejabat di Tokyo mengungkapkan, "Karena Indonesia tetap tak mau melakukan rescheduling, saya kira misi Pak Widjojo adalah mencari jalan keluar yang lain." Ia tidak bicara tentang restructuring, yang juga sudah disinyalir di media massa. Tapi alternatif lain dikemukakan sumber ini. Misalnya saja dengan cara memberikan kredit untuk pembiayaan lokal, dan kredit barang-barang. Tampaknya, itulah yang paling mungkin. Kalau dilihat dari pengalaman selama dua tahun, Jepang telah memberikan kredit-kredit baru senilai 189,5 milyar yen (80 milyar pada 1986:88 milyar pada 1987 dan sisanya 21,5 milyar yen sebagai kredit rehabilitasi). "Yang saya dengar, kedatangan Pak Widjojo memang untuk mengusahakan pinjaman lunak. Hanya saja pemerintah Indonesia rupanya belum berhitung, berapa besar pengaruhnya kalau pinjaman itu terealisir," ucap sumber itu lagi Ia juga menduga, sedikitnya Jepang akan menyalurkan pinjaman lunaknya sebesar 100 milyar yen, sama seperti tahun lalu. Tapi di Tokyo beredar desas-desus, Jepang mengusulkan Indonesia menerbitkan semacam obligasi, seperti yang dilakukan Meksiko dengan jaminan AS. Tapi siapa yang akan menjamin Pemerintah RI ? Budi Kusumah (Jakarta) dan Seiichi Okawa (Tokyo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus