UNEK-unek Indah Sukmaningsih seolah tak terlerai. Dalam rapat dengan Komisi Pertanian DPR, Rabu pekan lalu, Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) itu mencurigai penerbitan surat edaran Dirjen Bina Produksi Peternakan Departemen Pertanian yang menyetujui masuknya hewan ternak dan produk turunannya dari Amerika Serikat pada 31 Mei 2004.
Surat bernomor 2882 itu kemudian ditegaskan lagi dengan surat edaran nomor 68 tanggal 21 Juni. Anehnya, Departemen Perindustrian dan Perdagangan masih melarang impor hewan ternak dan produk turunannya dari Amerika Serikat dengan keputusan No. 757 sejak 31 Desember 2003. Indah menengarai, surat edaran itu terbit lantaran pejabat yang bersangkutan mengetahui banyaknya daging asal Amerika yang masuk dan ditahan aparat Bea dan Cukai, jauh sebelum 31 Mei.
"Saya curiga penerbitan surat yang tergesa-gesa itu," katanya, "Kenapa pula urusan kesehatan bangsa diserahkan ke direktur? Menterinya ke mana?" Urusan "kesehatan bangsa" ini jadi penting karena, menurut catatan Asosiasi Dokter Hewan Ternak Indonesia, ada 155 penyakit binatang yang dapat diturunkan ke manusia. Di antara yang lumayan serius ialah penyakit sapi gila serta penyakit mulut dan kuku.
Nah, daging impor yang melancong ke Indonesia justru kebanyakan berasal dari negara yang belum dinyatakan bebas dari penyakit serius itu. Amerika Serikat, misalnya, baru dinyatakan bebas penyakit sapi gila oleh Badan Kesehatan Hewan Dunia (OIE) dalam sidangnya di Paris, 23-28 Mei lalu. Argentina, Uruguay, Islandia, dan Singapura juga baru dinyatakan bebas sementara. Departemen Pertanian mencatat hanya Australia dan Selandia Baru yang bebas penyakit sapi gila dan kuku-mulut.
Faktanya, sebagian besar daging impor yang masih tertahan di Pelabuhan Tanjung Priok berasal dari Amerika Serikat, Brasil, Argentina, Kanada, Cina, dan India. Catatan Ditjen Bea dan Cukai Departemen Keuangan, sejak 16 April hingga 12 Juli tahun ini daging impor yang masuk ke wilayah kepabeanan Indonesia mencapai 141 kontainer. Satu kontainer ukuran 20 kaki mampu menampung hampir 26 ton daging.
Sepuluh kontainer daging yang diimpor Koperasi Pedagang Bakso Seluruh Indonesia harus dimusnahkan karena berasal dari India. Dua puluh sembilan kontainer lagi sudah mengajukan surat pemberitahuan impor barang (PIB). Dengan kata lain, importirnya sudah mengakui daging itu miliknya. Jika berasal dari Australia atau Selandia Baru, kemungkinan besar daging itu bisa masuk pasar. Jika berasal dari Amerika dan tiba sebelum 31 Mei, wassalam?.
Penerbitan surat edaran itu ternyata tanpa sepengetahuan Departemen Perindustrian dan Perdagangan, yang justru memiliki kewenangan dalam pelarangan atau pembukaan keran impor. Problemnya, hingga kini departemen yang dipimpin Rini Soewandi itu masih menganggap impor daging dari Amerika Serikat dilarang. Karena itu, Menteri Rini menilai surat edaran Dirjen Bina Produksi Peternakan itu tidak berlaku.
"Saya juga kaget, kok ada surat edaran tanpa berkomunikasi dengan kami," kata Rini, "Surat edaran dirjen tidak bisa menganulir surat menteri." Kalau merasa sudah waktunya dibuka, katanya, Departemen Pertanian harusnya mengusulkan kepada departemennya, yang dilanjuti dengan rapat bersama. Dengan masih efektifnya larangan, Rini berharap aparat Bea dan Cukai tetap menahan daging impor asal Amerika itu.
Sejak daging impor masuk pasar, menurut data Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia, produksi daging lokal menurun hampir 50 persen: dari 60 ton menjadi 30-40 ton per hari. Belum lagi harga jual daging impor yang lebih murah. "Dengan perbedaan harga itu, kami kehilangan potensi pendapatan minimal Rp 300 juta per hari," kata Nurendro, ketua umum perkumpulan itu.
Tak hanya itu. Data Asosiasi Pemotong dan Pedagang Daging Seluruh Indonesia (Apdasi) menyebutkan 150 pedagang di wilayah Jawa Barat terancam gulung tikar oleh maraknya daging impor. Dan kini ada 102 kontainer daging tanpa surat PIB. Data TEMPO menyebutkan 37 kontainer milik PT Cahaya Timur Utama. Sisanya atas nama beberapa perusahaan (lihat infografik). Celakanya, daging itu diimpor dari Amerika sebelum pernyataan bebas penyakit sapi gila oleh OIE.
Direktur PT Cahaya Timur Utama, Syarir Ambu Lau, membenarkan kepemilikannya atas 37 kontainer daging yang belum mengajukan PIB. Dari 37 kontainer itu, sejak Jumat pekan lalu PT Cahaya mengaku sudah mengajukan permohonan re-ekspor seluruhnya kepada pemerintah. "Daging impor saya dari Amerika yang tiba di Indonesia sebelum dan sesudah 31 Mei saya re-ekspor semuanya, tanpa kecuali," kata Syarir kepada TEMPO.
Mengapa PT Cahaya berani mengimpor daging Amerika yang dilarang? Syarir mengaku naluri bisnisnya muncul setelah mendapat informasi keran impor daging asal Amerika akan dibuka pada awal Mei lalu. Maka, pada 1 Mei, PT Cahaya mengajukan permohonan surat persetujuan pemasukan (SPP) daging dari Amerika kepada Dirjen Bina Produksi Peternakan.
Akhirnya, SPP yang ditunggu-tunggu rampung. Surat bernomor 1315 itu prinsipnya menyetujui pemasukan daging impor PT Cahaya pada 11 Mei. Tapi, anehnya, surat itu belum diteken Dirjen Bina Produksi Peternakan, yang masih dijabat Sofyan Drajat?karena memang masih dilarang. Surat itu baru diteken pada 31 Mei, bersamaan dengan penerbitan surat edaran yang membolehkan impor daging Amerika. "Sebagai orang dagang, kami berspekulasi sedikit," katanya, "Orang lain belum masuk, kami masukkan duluan."
Sejumlah dokumen menyatakan tidak semua daging impor Amerika berasal dari Amerika. Beberapa kontainer ternyata berasal dari Brasil atau Argentina, yang jelas-jelas belum dinyatakan bebas penyakit oleh OIE. Seperti kontainer No. EMCU 5129467, ternyata dimuat di Pelabuhan Santos, Brasil, pada 16 April. Kontainer itu singgah di Singapura 13 Mei, dan tiba di Jakarta enam hari kemudian. Kontainer No. EMCU 5177995 dari Buenos Aires, Argentina, pada 5 April singgah juga di Singapura dan tiba di Jakarta 12 Mei.
Persinggahan itu juga sebenarnya dilarang karena, menurut peraturannya, pengangkutan dari Amerika harus langsung ke Indonesia. Untuk soal ini, Syarir mengaku belum mengetahui secara detail. Namun, bisa saja daging yang dibelinya dari Amerika dipasok dari Brasil. "Itu nanti saya cek," ujarnya. Hingga kini, perusahaan yang mempunyai gudang di Cileungsi, Bogor, itu sudah mere-ekspor 14 kontainer ke Filipina dan 4 kontainer ke Malaysia.
Re-ekspor ini sebenarnya harus diawasi. Sebab, taruhannya sama seramnya: kesehatan konsumen dan nasib peternak lokal. Apalagi rapat Komisi Pertanian DPR RI dengan pemerintah memutuskan daging impor Amerika yang datang sebelum 31 Mei harus dire-ekspor oleh yang bersangkutan. Sedangkan daging impor dari negara yang belum bebas penyakit hewan itu disita negara untuk dimusnahkan.
Memusnahkan juga tak gampang. Pemusnahan satu kontainer daging ternyata membutuhkan biaya Rp 40 juta. Menurut catatan Bea dan Cukai, kemungkinan kontainer daging impor yang harus dimusnahkan mencapai 61 unit. Jadi, biaya yang harus ditanggung negara mencapai Rp 2,44 miliar. Karena itu, Bea dan Cukai lebih suka daging itu dire-ekspor.
Menurut Kepala Kanwil Bea dan Cukai Tanjung Priok, Frans Rupang, pihaknya mengirim surat kepada para importir supaya mengurus PIB dalam waktu dua hari sejak Rabu pekan lalu. "Rekomendasi kami paling belakangan. Kalau Badan Karantina mengizinkan, kami juga mengizinkan," kata Frans.
M. Syakur Usman, Taufik Kamil, Ami Afriatni (TNR)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini