Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Ashmore di Atas Angin

Restrukturisasi utang Kiani Kertas mendekati tahap akhir. Mengharap datangnya penyelamat.

19 Juli 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DIKEJAR utang tentu bukan urusan nyaman bagi Luhut B. Panjaitan. Sudah lewat enam bulan dari tenggat merestrukturisasi utang Kiani Kertas. Investor meminang silih berganti, tapi belum satu pun berakhir dengan akad. Masih segunung pula persoalan perusahaan yang belum kunjung dibereskan.

Tak mengherankan kalau tawaran Ashmore Investment Management, perusahaan investasi yang berpusat di London, Inggris, membuatnya sedikit lega. "Saya tak mau gagal lagi," kata Komisaris Utama Kiani Kertas itu. Ceritanya, enam bulan lalu pensiunan Menteri Perindustrian dan Perdagangan ini dikenalkan seorang temannya kepada Ashmore.

Perusahaan investasi ini, katanya, cukup punya nama. Didirikan pada 1992, perusahaan ini tadinya menjadi bagian dari ANZ Banking Group. Pada 1999 Ashmore memisahkan diri dan kini mengelola dana sekitar US$ 2,4 miliar?setara dengan Rp 22 triliun. Dana itu termasuk aset portofolio di negara-negara berkembang.

Melalui sejumlah pertemuan, akhirnya Ashmore melakukan uji tuntas (due diligence) sebelum mengajukan proposal pembelian utang Kiani di Bank Mandiri sebesar US$ 170 juta atau Rp 1,5 triliun. Sebelum Ashmore, sederet investor melirik harta berbentuk utang itu. Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, pada pertengahan Desember 2003 bahkan memastikan tiga investor yang sudah melayangkan lamaran.

Dengan penuh keyakinan, Neloe waktu itu menyatakan tiga investor yang tak disebut namanya itu sudah memenuhi syarat yang ditetapkan penasihat keuangan Bank Mandiri. Antara lain, memasukkan dana US$ 50 juta?atau Rp 450 miliar?lebih dulu. "Dananya sudah dimasukkan, tinggal diputuskan saja pemenangnya," katanya ketika itu.

Enam bulan sejak pernyataan Neloe itu, restrukturisasi utang Kiani masih terseok. Kemudian tersisalah dua nama: Ashmore Investment Management dan Amroc Investment Asia, perusahaan investasi dari Amerika Serikat. Yang terakhir ini kabarnya juga sudah melakukan uji tuntas, tapi sampai pekan lalu belum mengajukan penawaran. "Kita masih menunggu Amroc," kata Luhut.

Edward Foo, satu di antara eksekutif Amroc di Singapura, ketika dihubungi tak mau berkomentar. Dia berjanji memberikan jawaban resmi pada waktunya. Akan halnya Ashmore, Luhut mengaku tertarik karena angka yang mereka berikan sudah jelas. Ashmore, misalnya, setuju menyuntikkan US$ 50 juta tunai sesuai dengan persyaratan Bank Mandiri.

Uang sebanyak itu diperlukan Kiani sebagai tambahan modal kerja dan pembiayaan. Luhut tak bersedia mengungkapkan rinci. Tapi, dia mengaku sudah kesengsem berat. Kiani, kata Luhut, memang sedang membutuhkan uang dalam jumlah besar. Selain untuk membuat utangnya di Bank Mandiri jadi lancar, juga karena banyak yang harus diperbaiki di perusahaan tersebut.

Katanya, semasa di tangan pemilik lama, Bob Hasan, Kiani tak dikelola bagus. Jaringan untuk mendapatkan bahan baku kayu amburadul, suku cadang mesin banyak yang afkir. Karena itu, biaya produksi perusahaan yang pabriknya berada di Berau, Kalimantan Timur, ini cukup tinggi, yakni sekitar US$ 360 per ton. Padahal idealnya US$ 240-260 per ton.

Kapasitas produksi, 520 ribu ton per tahun, belum pernah dicapai sejak pabrik berdiri pada 1990. "Sekarang ini hanya 360 ribu ton per tahun," kata Luhut, "Target saya tahun depan harus bisa 470-500 ribu ton per tahun." Soal lain yang menghadang adalah utang kepada kreditor asing yang nilainya lumayan besar: US$ 120 juta. Kreditor yang terdiri dari Sumitomo, Lehman Brothers, JP Morgan, dan Avenue Asia itu sudah beberapa kali menagih.

Jalan Kiani tampaknya masih berkelok. Sama berlikunya ketika Luhut dan Prabowo Subianto, mantan Panglima Kostrad, membeli utang Kiani dari Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) pada pertengahan 2002 (lihat, Dari Mandiri ke Mandiri). Dana pembelian sebesar US$ 170 juta ditalangi Bank Mandiri. Dari jumlah itu, Luhut dan Prabowo hanya mengucurkan US$ 60 juta. Setengah untuk penyertaan ke BPPN, sisanya sebagai modal kerja.

Setahun memegang utang itu, Kiani terbentur peraturan Bank Indonesia yang hanya memberi waktu 12 bulan bagi perusahaan untuk membuat utang jadi lancar. Kalau tidak, Bank Mandiri sebagai pemberi kredit harus mencadangkan utang itu 100 persen. Dan itu membuat jumlah kredit macet di bank tersebut melonjak. Karena itu, Mandiri juga sangat mengharapkan datangnya penyelamat.

E.C.W. Neloe mengatakan, baru Ashmore yang bertemu membicarakan soal itu. "Tidak ada selain Ashmore," tuturnya. Dia mengaku tak tahu-menahu soal Amroc yang juga berminat membeli utang Kiani. Ashmore, kata Neloe, sudah bersedia menyuntikkan dana seperti yang disyaratkan. Proposal pembelian, katanya, sudah diserahkan Ashmore kepada Bank Mandiri.

Pembicaraan tentang restrukturisasi utang antara Bank Mandiri dan Kiani pun kian intensif. Bahkan, tentang kesepakatan restrukturisasi, Neloe mengatakan, "Semoga bisa ditandatangani Agustus nanti." Luhut tak terkecuali, ingin utangnya sudah lancar Agustus nanti. Susahnya, harapan ini sangat bergantung pada jawaban Amroc dan Ashmore, yang hingga kini tak kunjung hinggap ke meja Luhut.

Leanika Tanjung, Taufik Kamil


Dari Mandiri ke Mandiri

Juni-Agustus 2002
BPPN menawarkan aset kredit Kiani Kertas senilai Rp 4,2 triliun melalui program penjualan aset kredit. Utang macet Kiani itu sebagian besar berasal dari Bank Dagang Negara dan Bapindo?keduanya merger menjadi Bank Mandiri. Aset kredit ini, yang ditawarkan dengan harga dasar hanya Rp 837 miliar, akhirnya terjual Rp 1,29 triliun kepada konsorsium Anugrah Cipta Investama dan Bank Mandiri.

Oktober 2002
Bank Mandiri mengaku membeli aset kredit Kiani Kertas bersama bekas Pangkostrad Prabowo Subianto dan bekas Menteri Perindustrian dan Perdagangan Luhut B. Panjaitan. Dalam konsorsium itu, Bank Mandiri membeli pinjaman yang masih layak ditanggung senilai US$ 170 juta dan menjadi kreditor baru Kiani Kertas. Prabowo dan Luhut menjadi debitor dengan menginjeksi US$ 30 juta sebagai penyertaan ke BPPN dan US$ 30 juta untuk modal kerja.

November 2002
Aset kredit itu ditransfer dari BPPN kepada pembelinya, konsorsium Anugrah Cipta Investama dan Bank Mandiri.

November 2003
Sesuai dengan Peraturan Bank Indonesia No. 4/2002 tentang Aset Kredit yang Ditransfer dari BPPN, selama setahun sejak pembelian aset kredit itu dianggap lancar. Pembelinya diharapkan sudah melakukan restrukturisasi sehingga status kredit berubah dari macet menjadi lancar. Namun, sampai batas waktu itu, restrukturisasi belum selesai. Ini membuat kredit macet Bank Mandiri membengkak dan bank ini harus menyediakan pencadangan 100 persen.

Desember 2003
Bank Mandiri meminta pengalihan kembali hak tagih utang Kiani Kertas. Namun, BI menilai permintaan itu tidak sesuai dengan peraturan. BI juga menolak permohonan Bank Mandiri yang meminta perpanjangan waktu restrukturisasi. Masih di bulan yang sama, Bank Mandiri yakin restrukturisasi utang akan selesai Januari 2004. Tiga investor, kata Direktur Utama Bank Mandiri, E.C.W. Neloe, sudah mengajukan proposal dan penilaian sehingga tinggal mengumumkan pemenangnya. Ternyata tidak ada pemenang, dan dalam enam bulan kemudian restrukturisasi masih terkatung-katung. Silih berganti dikabarkan investor akan membeli aset kredit itu.

Juli 2004
Ashmore Investment Management, perusahaan investasi asal Australia, dan Amroc Investment Asia dari Amerika Serikat sudah mengajukan penawaran.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus