DEMAM The Last Emperor melanda kota-kota besar Indonesia - terutama Jakarta. Lihatlah, sampai akhir pekan lalu, 14 bioskop kelas satu di Jakarta masih diserbu penonton, sementara sebagian kopi film sudah dilempar ke Bandung dan Surabaya. Film tentang kaisar terakhir di Daratan Cina ini pertama kali diputar seretak di 17 gedung bioskol Jakarta, hanya selan tiap hari setelah diumumkan film ini menggondol 9 Oscar. "Timing-nya pas betul," kata seorang staf Asosiasi Film Amerika-Eropa, yang mendatangkan film itu. Asosiasi ini tergolong gesit menclum film bermutu. Untuk Asia, "hanya didahului oleh Singapura," kata sumbe TEMPO itu, tanpa menyebut berapa harga film ini. Tentu mahal, mengingat target pemasukan uang yang dicanangkan produser The Last Emperor adalah US$ 150 juta atau sekitar Rp 234 milyar. Film ini pun masuk ke Indonesia dalam suasana yang menuntunkan film-film impor. Biasanya film impor hanya boleh didatangkan paling banyak 15 kopi per judul, tapi menjelang tibanya The Last Emperor, ada perubahan kebijaksanaan. Film impor boleh didatangkan 18 kopi per judul. Menurut sumber TEMPO itu, film ini masuk dengan 16 kopi. Begitu tiba di Jakarta, langsung dibawa ke Badan Sensor Film (BSF), dan semua prosedur dilalui dengan sangat mulus. Itu dibenarkan Thomas Soegito, Ketua BSF. Sepanjang yang dia ingat, film ini dimasukkan ke BSF tanggal 8 April, dan selesai disensor 12 April. Esoknya, masih di BSF, film ini diberi teks. "Dan malamnya sudah diambil," kata Thomas. "Panjang film ini 3.452 meter, yang dipotong hanya 74 meter. Tak begitu banyak." Namun, Thomas membantah kalau dikatakan pilih kasih, apalagi memprioritaskan film ini. "Kami memang berusaha memberikan pelayanan secepat mungkin," katanya. Sebuah film impor hanya perlu waktu 3 sampai 4 hari di BSF. "Yang lama itu justru memberi teks. Tapi BSF sekarang bisa membantu juga, walau itu dilakukan oleh produser," kata Thomas lagi. Jika ini disebut terobosan baru, ada benarnya. Dulu ada ketentuan, setiap film impor yang masuk BSF harus menyertakan sinopsis. "Ketentuan itu sekarang dihilangkan. Menunggu sinopsis selesai dicetak memakan waktu lama," kata Thomas. Semua kemudahan baru ini menimpa film garapan Bernardo Bertolucci itu. Faktor lain yang mendukung tentu saja tersedianya gedung bioskop yang "siap pakai". Sudah bukan rahasia lagi kalau Asosiasi Film Amerika-Eropa punya jaringan gedung bioskop kelas atas di Jakarta, juga di beberapa kota besar lainnya. Dan ini sudah lama diresahkan oleh kalangan perfilman nasional yang kian hari merasa tergencet. Selain pemutarannya mengikuti jadwal yang diatur PT Perfin, film nasional sewaktu-waktu bisa ditendang dari bioskop walau masih dalam jadwal. Alasan yang dipakai, tak tercapainya jumlah minimum penonton. Film impor tak terkena peraturan macam ini. Suksesnya Tbe Last Emperor di Jakarta ternyata belum bisa dijadikan ukuran. Setidak-tidaknya begitulah pendapat Ketua Persatuan Produser Film Indonesia (PPFI) Bucuk Soeharto. "Soalnya, sekarang sedang main di jalur kelas satu. Yang datang 'kan dari kalangan the have. Nggak tahu nanti kalau sudah ke bioskop kelas bawah, apa masih seperti itu. Kalau masih, baru bisa disebut sukses," katanya. Tapi ia mengakui bahwa dari bioskop kelas satu itulah uang banyak disedot. Juga-diakuinya film ini memang bagus. "Selain biayanya besar, kebetulan dapat Oscar. Terhadap film-film yang mendapat penghargan, orang kita ratarata 'kan ingin melihat." Bucuk termasuk orang yang tetap optimistis, film nasional akan menjadi tuan rumah. Ia kemudian menyebut pembuatan film kolosal Saur Sepuh, yang akan menelan biaya Rp 1 milyar, dengan ribuan figuran. Biaya ini belum seberapa dibandingkan The Last Emperor, yang menghabiskan US$ 22,5 juta atau sekitar Rp 37 milyar, tapi untuk ukuran film nasional jauh dari besar. "Kita lihat nanti kalau film itu sudah sesai," katanya. Optimisme Saur Sepuh,lihat dari jutaan orang yang mendergarkan serial sandiwara radio ini setiap Kari. Yang juga masih optimistis bahwa film nasional tidak menjadi terasing dilanda film impor adalah M. John Tjasmadi, Seken Gabungan Pengusaha Biokop Seluruh Indonesia (GPBSI). Film nasional, kata Tjasmadi, terbukti ada yang sangat sukses dalam peredaran, yaitu Pemberontakan G 30 S/PKI. "Film-film kolosal seperti itu memang dalam sepuluh tahun belum tentu muncul sekali," katanya. "Seperti The Last Emperor itu, 'kan dibuat bertahun-tahun, bahkan produksi film Cina dihentikan setahun khusus untuk membantu produksi film besar itu." Dan film tentang Kaisar Pu Yi yang meledak ini, bagi John Tjasmadi, semata-mata hasll Jerih payah sebuah kerja keras dan mahabesar. "Selain filmnya bagus karena digarap dengan baik, klsah Pu Yi itu sendiri amat populer. Orang juga ingin tahu bagaimana RRC setelah lama menutup pintu," kata anggota MPR yang juga Ketua Panitia Tetap Festival Film Indonesia ini. Perolehan Oscar hanya faktor sekunder. "Dapat atau tidak, tetap akan ditonton orang." Memang tak semua film Barat yang kebagian Oscar sukses di Indonesia. Platoon, Children of A Lesser God, Outof Africa tergolong yang tidak begitu sukses. The Untouchables, yang menempatkan Sean Connery sebagai peraih Oscar untuk pemeran pembantu terbaik, masih lebih unggul. Tetapi sesepi-sepinya penonton film impor, masih tetap menyapu film nasional di gedung bioskop kota besar, apalagi di Jakarta. Menyadari semakin banyaknya film impor bermutu yang datang - dengan pelayanan yang baik pula - produser film nasional dengan pasrah mengarahkan produksinya untuk kelas "pinggiran". Dan lahirlah film-film action asal blak-buk-blak-buk, dan sejumlah film yang mengeksploitasi seks. Lalu, kapankah film nasional melangkah maju dan menjadi tuan rumah juga di kota besar, tempat sejumlah uang bisa disedot dengan mudah? Putu Setia, Yusroni Henridewanto, dan Tri Budianto Soekarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini