IKLAN Bank Duta Ekonomi (BDE) yang dimuat beberapa kali di
sejumlah media massa sampai Dekan lalu rupanya bikin gara-gara.
Di situ, lembaga keuangan anggota kelompok Berdikari ini dengan
huruf menyolok ditonjolkan sebagai bank No. 3 dalam pengumpulan
kekayaan di antara 72 bank swasta pada 1982. Data mengenai
kekayaan dan perolehan laba itu dikutipnya dari majalah Kadin
No.3 tahun V 1983.
Pengiklanan seperti itu, yang dilakukan oleh Biro Iklan Matari,
ternyata dianggap oleh Komisi Tata Krama dan Tata Cara
Periklanan Indonesia "menyimpang" dari aturan. Kata Muhammad
Napis, sekretaris Komisi, iklan "tidak boleh membandingkan hasil
produksi sendiri dengan hasil produksi orang lain." Napis juga
beranggapan, penyebutan kekayaan bank secara terbuka melanggar
rahasia bank. "Bank-bank kecil yang dipojokkan," katanya.
Rasa khawatir seperti itu juga dikemukakan Muhammad Umang
Muchtar dalam surat pembaca hompas 27 Oktober. Bagi orang awam
yang tidak paham betul liku-liku perbankan, iklan yang
menonjolkan kekayaan itu dianggapnya "bisa menimbulkan penilaian
kurang baik." Dengan kata lain, angka milyaran ruplah yang
ditonjolkan dalam kekayaan itu bisa menyesatkan. Sebab, bukan
tak mungkin, bank yang punya kekayaan besar, "siapa yang menduga
kalau di dalam kekayaan itu termasuk kredit macet 50% lebih,"
tulis Umang.
Marannu Bank, yang dalam iklan BDE itu berada pada urutan ke-
22, dengan kekayaan Rp 19,9 milyar, ternyata merasa tidak
terpojok. Kata Basri Mardha, kepala Biro Umum Marannu, "iklan
itu telah ikut mempromosikan bank kami walau tidak secara
langsung."
Pengiklanan dengan menampilkan kekayaan (assets) seperti itu
sesungguhnya sudah sejak 15 tahun silam dilakukan di pelbagai
media massa oleh bank swasta, asing, dan pemerintah. Iklan yang
dimaksud adalah pengumuman posisi neraca setiap tiga bulan
seperti diharuskan Bank Indonesia. Di situ bisa diketahui secara
persis perkembangan kekayaan jumlah kredit yang diberikan, dana
yang dapat dihimpunkan, dan kemampuan bank bersangkutan
memperoleh laba. Tapi yang belum lazim dilakukan adalah
membariskan posisi kekayaan itu dalam sebuah iklan menyolok.
Tata Krama dan Tata Cara Periklanan Indonesia sendiri
sesungguhnya tidak secara tersurat melarang kampanye semacam
itu. Dalam sebuah bab Tata Krama itu malah ada keharusan:
apabila perbandingan dilakukan terhadap sainean, "maka dasar
perbandingan harus sama dan jelas." Dan Biro Iklan Matari, yang
melontarkan iklan BDE itu, agaknya sudah melakukannya dengan
cerdik: memperbandingkan posisi bank-bank itu berdasarkan
kekayaannya.
Namun, R. Endang Kusnadi, dari Bank Patriot, menganggap
pengiklanan semacam itu "bisa mempengaruhi pandangan masyarakat
atas bonafiditas bank kami." Dia tampaknya khawatir juga, banyak
nasabahnya akan pindah ke bank lain yang punya kekayaan lebih
besar.
Tapi bagi Panin Bank, yang dalam kekayaan menduduki tempat No. 2
setelah Bank Central Asia, iklan itu dianggapnya justru baik
diketahui masyarakat. "Sebagai suatu kompetisi itu biasa," kata
Fuady Mourad, direktur Panin. Dari kantor pusat BDE seorang staf
di sana malah menyebut bank lain seharusnya terima kasih karena
namanya disebut gratis.
Direktur utama BDE, Abdulgani, yang tahun ini merencanakan
banknya meraih laba Rp 7,5 milyar, tampaknya tak menyangka
reaksi demikian tajam. Beberapa keberatan dan protes itu
terakhir dikabarkan telah menyebabkan kampanye dengan iklan itu
berumur pendek. Mulai pekan ini sudah dihentikan. Namun, sasaran
yang ingin dicapai sudah berhasil, agaknya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini