UNTUK mempertahankan eksistensi sigaret putih cap Kansas di sini, Faroka, perusahaan rokok yang didirikan orang Belgia lebih setengah abad lalu, rela menanggalkan semua atribut di pabriknya di Malang. Sebagai gantinya, awal bulan lalu, dikerek bendera Rothmans of Pall Mall Indonesia. Sehari setelah pergantian bendera itu, 18 September, dari pabrik eks Faroka itu Rothmans of Pall Mall Indonesia langsung mengekspor 5 juta batang rokok putih ke RRC. Menurut presiden direkturnya, Brian Milne Davies, tahun-tahun pertama Pall Mall akan mengekspor 100-150 juta batang rokok ke RRC. Tapi, Negeri Naga berpenduduk satu milyar itu rupanya hanya sekadar lubang angin sementara -- belum akan menjadi andalan Rothmans. Sasaran utamanya tetap pecandu rokok di sini. Brian bukan tidak tahu bahwa pasar rokok sebagian besar sudah tertutup oleh asap kretek. Pangsa pasar rokok putih tinggal sekitar 18%. Kalau lima belas tahun lalu rokok putih pernah jaya, sebagai lambang gengsi, masa tak ada harapan sama sekali? Dengan pertimbangan itulah Rothmans berani mengambil alih pabrik Faroka yang terancam padam. Di masa jayanya, Faroka membuat rokok sampai hampir 7 milyar batang per tahun. Tapi, belakangan, penjualan Kansas, Aida, Davros, dan Blue Ribbon-nya merosot. Sampai tinggal sekitar 1,4 milyar batang sejalan dengan selera konsumen yang beralih ke sigaret kretek atau rokok putih yang lebih mahal. Ketika ada larangan impor sigaret putih, Faroka mendapatkan lisensi untuk merakit Dunhill, sebagai usaha menggaet pasar kelas atas. Waktu itu, 1984, pasaran Dunhill sekitar 60 juta batang per tahun. Tapi Dunhill ternyata tak mampu mengangkat derajat Faroka. Awal tahun silam, seizin Menteri Tenaga Kerja, Faroka mengucapkan "selamat jalan" kepada sekitar 200 dari 500 karyawannya. Salah seorang direktur Faroka, Ubaedy Fadhil, waktu itu mengungkapkan kepada TEMPO bahwa salah satu kelemahan pabrik ini: manajemen terlalu bergantung pada induknya di Belgia, NV Tobacifina SA, yang mendirikan Faroka sejak 1931. Mau promosi saja tidak boleh. Sampai Rothmans tergerak mengambil alih manajemen. Maret 1986, tercapai persetujuan jual-beli saham antara Tobacofina dan Rothmans of Pall Mall Australia, dan BKPM menyetujuinya sebulan kemudian. Namun, kesepakatan mengenai aset pabrik yang menelan investasi 6,9 juta dolar baru dicapai setahun kemudian. Baru April lalu transaksi terlaksana -- tak jelas berapa jadinya perusahaan tua itu dinilai -- dan pabrik pun resmi berganti nama dan tuan. Rothmans menyatakan akan terus memproduksi Kansas, Davros, Wembley, dan Blue Ribbon. Tentu saja dengan cara mengangkat derajatnya agar melekat di bibir kalangan atas. Max Wangkar (Jakarta) dan Budiono Darsono (Surabaya)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini