GAMPANG-gampang susah bersatu demi undang-undang -- bukan karena maunya sendiri. Itulah yang terjadi di Kadin. Setelah bermusyawarah di tepi pantai Teluk Jakarta, di Hotel Horison, pekan lalu tiga tiang utama pelaku ekonomi akhirnya memang sepakat menopang Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Badan usaha milik negara (BUMN), koperasi, dan pengusaha swasta -- tiga sokoguru itu -- seperti kembali ke khittah: bersatu dalam satu wadah. Sebab, lahirnya Kadin, sembilan belas tahun silam, sebenarnya juga berkat ditopang ketiga unsur itu. Tapi kedudukan Kadin, yang hanya berdasarkan Keppres 49/1973, menyebabkan unsur BUMN dan koperasi diam-diam menceraikan diri. Lahirnya Undang-Undang No. 1 tahun 1987, tentang Kamar Dagang dan Industri, mengharuskan ketiganya kembali menopang Kadin. Namun, tampak bibit tidak puas muncul di kalangan BUMN dan koperasi. Boleh jadi. Sebab, sementara pengusaha swasta memperoleh 27 kursi, BUMN dan koperasi masing-masing hanya mendapatkan tiga kursi dalam susunan dewan pengurus harian. Hal itu mudah terlihat dari suasana rapat yang cukup hangat di ruang rapat di hotel bersistem pendingin penuh itu. Unsur swasta tak mau dikurangi kursinya, dengan alasan bahwa kedudukan mereka di situ adalah atas mandat MPI (Musyawarah Pengusaha Indonesia) 1985 untuk tiga tahun, sampai September 1988. Bukan itu saja. Sempat juga koperasi tersinggung pernya ketika ada swasta mencoba mengungkit prestasi koperasi dalam dunia usaha. Itulah agaknya yang menyebabkan Menteri Koperasi, Bustanil Arifin, tiba-tiba muncul di ruang VIP Hotel Horison. Secara bergantian Ketua Dewan Harian Kadin, Sukamdani Sahid Gitosardjono, dan para wakil ketua, Probosutedjo, Tony Agus Ardie, serta Eric Samola, menghadap. Arnold Baramuli, yang diterima paling belakangan, paling lama berbicara dengan Menteri. Tidak seorang pun mau mengungkapkan isi pembicaraan. Menteri Bustanil Arifin sendiri hanya mengatakan, kedatangannya sekadar untuk minta maaf karena takbisa menghadiri rapat penutupan, karena ada anaknya yang ulang tahun. Unsur koperasi, katanya, tidak menuntut apa-apa. "Koperasi akan turut magang," katanya, seperti dikutip harian Kompas. Ketua Dewan Koperasi (Dekopin), Soedarsono Hadisapoetro, akhirnya memang terpilih sebagai Ketua Umum Majelis Pertimbangan Kadin (MPK). Tapi, menurut Menteri Koperasi, kedudukan Soedarsono di Kadin itu sebagai pribadi. Direktur Utama PT Krakatau Steel, Tungky Ariwibowo, yang duduk sebagai Wakil Ketua MPK, menjelaskan bahwa ketimpangan susunan pengurus harian itu tidak perlu dipermasalahkan. "Yang penting," katanya, "pengurus harian menjalankan konsep-konsep yang sudah diputuskan". Untuk itulah maka santer dibicarakan bahwa pengurus harus terdiri dari para profesional. Itu juga dituntut organisasi pengusaha muda, Hipmi, yang mengadakan sidang pleno sehari sebelum musyawarah Kadin. Di samping menyatakan diri sebagai "kader pengusaha" -- untuk mempertahankan eksistensinya sehubungan dengan Undang-Undang No. I tahun 1987 -- Hipmi mencoba merumuskan bahwa pengurus Kadin harus perorangan yang telah menunjukkan kemampuan memimpin suatu himpunan, asosiasi pengusaha, BUMN, dan koperasi. Menteri Perdagangan, Rachmat Saleh, agaknya mendengar cukup banyak keluhan sehubungan dengan musyawarah Kadin dan pengusaha Indonesia yang hanya berlangsung dua hari itu. Usai menghadap Presiden Soeharto di Jalan Cendana, pekan lalu, Menteri mengimbau agar pihak-pihak yang merasa belum puas bersabar. "Waktunya memang terlalu singkat untuk bisa memuaskan semua pihak," katanya. Namanya juga musyawarah. Yang diperlukan, tentu saja, kelapangan dada untuk mencapai kesepakatan -- bukan intrik dan pertikaian. Jadi, biar agak panas, musyawarah Kadin dan MPI kali ini senantiasa terdengar kor yang kompak: "Setuju . . . setuju ...." Max Wangkar, Ahmed K. Soeriawidjaja, Budi Kusumah, Bachtiar Abdullah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini