GENAP setengah abad ban Good Year menggelinding dari pabriknya PT Good Year Indonesia (GY), di Bogor. Pabrik tersebut didirikan 23 April 1935 oleh The Good Year Tire & Rubber Co., AS. Kapasitasnya, yang awalnya hanya 300 buah ban per hari, kini sudah mencapai 6.500 ban per hari, yang terdiri dari 37 jenis dan ukuran. Ia merupakan pabrik ban terbesar di Asia Tenggara. Produk pabrik ban tertua di Indonesia itu kini terdiri dari ban sepeda, sepeda motor, mobil, truk, bis, hingga pesawat terbang. Pasar dalam negeri sudah dicengkeramnya, dan bahkan sudah mulai terbang ke luar negeri. Kendati demikian, perusahaan AS tersebut, yang telah membagi sahamnya kepada masyarakat, kini dalam keadaan prihatin. Sejak 1983 ia merugi terus dan belum ada tanda-tanda akan segera beruntung. Masalahnya GY kini tidak sendirian di sini, sedangkan pasar masih sempit. Pada zaman Sukarno, berdiri pabrik Intirub dengan bantuan Jerman Timur, yakni sebelum pabrik GY dinasionalisasikan pada 1965. Ketika pabrik itu dinasionalisasikan, pemerintah mengangkat Sjahfiri Alim sebagai ketua badan usaha, yang terus dipercayai hingga kini oleh orang AS untuk menjabat presiden direktur PT Good Year Indonesia. Masuk Orde Baru, GY dikembalikan kepada AS, 1967, dan diizinkan memperluas kapasitasnya. Tapi sementara itu, pabrik-pabrik baru, seperti Bridgestone dan Yokohama, bermunculan. Dengan demikian, perusahaan AS itu, yang pernah diembel-embeli "Katakana" oleh Jepang pada 1942-1945 kini harus bersaing sengit dengan pabrikpabrik ban Jepang. Pabrik-pabrik baru itu tumbuh sejalan dengan meningkatnya industri mobil pada dekade lalu. Ternyata, resesi merayap juga ke Indonesia, 1983, sehingga industri mobil terpukul. Akibatnya tentu dirasakan juga oleh pabrik ban seperti GY. Kapasitas terpasang tujuh pabrik ban sudah sekitar 7 juta, sedangkan permintaan ban tahun lalu hanya sekitar 3,8 juta. Hal tersebut menyebabkan GY, yang berkapasitas 1,8 juta dengan 1.450 karyawannya, hanya bekerja 58%. Itu berarti, biaya produksi jadi mahal dan persaingan kian runcing. Jalan keluar, tentu saja, ekspor. "Teorinya, seperti di Jepang, pasar dalam negeri harus sudah mantap dulu, baru bisa menunjang ekspor," kata Sjahfiri. Kenyataan di Indonesia, ekspor ban hanya sekadar jalan keluar dari kejenuhan pasar dalam negeri, tanpa memberikan keuntungan. Sebagai buktinya, ekspor GY menghasilkan devisa US$ 3,2 juta tahun lalu, naik dari US$ 800 ribu pada tahun sebelumnya. Tapi, tak cukup untung dari sana, setidaknya yang dirasakan para pemegang saham: perusahaan tak membagi dividen. Sedangkan pajak yang disetorkannya tahun lalu Rp 6 milyar, turun dibandingkan tahun sebelumnya yang lebih dari Rp 7 milyar. Lumayan, pada saat banyak perusahaan memberhentikan buruh, perusahaan itu masih bisa mempertahankan karyawannya. Bahkan kesejahteraannya diperbaiki. Hal ini tampak di pabrik ban dan di perkebunan karetnya di Sumatera Utara. Berbeda dengan pabrik bannya, pabrik karet GY di Dolok Merangir, yang khusus mengekspor karet ke AS, semakin meningkat. Perkebunan seluas 13.000 ha itu pada tahun 1983 menghasilkan 17.773 ton karet, sedangkan tahun lalu mencapai 18.439 ton. "Target tahun ini 20.000 ton," kata Mansur Mukhlis, manajer man-power GY di perkebunan Dolok Merangir. Selamat. Max Wangkar Laporan Rudy Novrianto (Jakarta) dan Bersihar Lubis (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini