Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Karyawan Freeport: Kasus Mogok Kerja Pekerja Belum Selesai

Karyawan Freeport menekankan bahwa kasus PHK sepihak yang melibatkan perusahaan tambang itu masih berjalan.

11 Maret 2018 | 18.20 WIB

Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia mogok kerja.. ANTARA/Spedy Paereng
material-symbols:fullscreenPerbesar
Ratusan karyawan PT Freeport Indonesia mogok kerja.. ANTARA/Spedy Paereng

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Jakarta-Karyawan PT Freeport Indonesia menekankan bahwa kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) sepihak yang melibatkan perusahaan tambang itu masih berjalan. Dedy Mukhlis, salah satu pekerja PT Freeport Indonesia sekaligus peserta aksi mogok kerja pada 2017 lalu tidak mengakui mediasi yang diwakili oleh Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) tersebut.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

“Seolah-olah permasalahan ini sudah selesai karena kesepakatan 21 Desember 2017 lalu,” kata Dedy di Bakoel Koffie, Cikini, Jakarta Pusat pada Minggu, 11 Maret 2018.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Sebelumnya, PT Freeport Indonesia menyebut telah menyelesaikan persoalan PHK sepihak tersebut pada 21 Desember 2017 lalu. PT Freeport Indonesia bersama Ketua Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), R Abdullah, menandatangani kesepakatan sejumlah poin perjanjian.

Poin tersebut di antaranya menghapus hutang karyawan serta memberi tunjangan sebesar 1,5 sampai 4,5 kali gaji. PT Freeport Indonesia juga memberi kesempatan kerja kembali. Namun, mereka diterima kembali bukan sebagai karyawan Freeport, melainkan menjadi karyawan kontraktor yang bekerja untuk Freeport.

Dedy kemudian menepis bahwa para pekerja PT Freeport Indonesia telah diwakilkan oleh Abdullah. Menurut Dedy, pihaknya tidak pernah memberi mandate kepada Abdullah untuk mewakili mereka dan menyelesaikan permasalahan tersebut. Sehingga, mediasi tersebut tidak sah.

“Jadi kalo dia (Abdullah) klaim dirinya sebagai pihak kedua itu bohong. Tolong buktikan tanda tangan pemberian mandat oleh kami kepada dia,” ucap Dedy.

Ribuan pekerja PT Freeport Indonesia dan subkontraktornya melakukan aksi mogok kerja sejak 1 Mei 2017 lalu atau bertepatan dengan peringatan Hari Buruh International (May Day). Mereka menuntut manajemen PT Freeport Indonesia untuk menghentikan program Furlough, mempekerjakan kembali karyawan yang terkena Furlough, serta mengembalikan semua pekerja yang mogok di Timika, Papua tanpa PHK. Mereka juga mendesak PT Freeport Indonesia untuk menghentikan tindakan kriminalisasi terhadap para pengurus serikat pekerja.

Dedy bersama tim kuasa hukumnya, Kantor hukum dan Hak Asasi Manusia Lokataru, memaparkan sejumlah dugaan pelanggaran oleh PT Freeport Indonesia terhadap pekerjanya. Nur Kholis, pengacara pekerja PT Freeport Indonesia melaporkan setidaknya ada 19 peserta mogok kerja yang ditangkap polisi. Mereka, kata Nur, dikriminalisasi dengan tuduhan pengrusakan dan penghasutan. Hingga kini, Sembilan di antaranya masih menjalani sidang.

Selain itu, Nur melaporkan ada 18 orang yang meninggal akibat persoalan tersebut. Sebanyak 16 pekerjanya meninggal karena sakit akibat penghentian kepesertaan BPJS oleh PT Freeport Indonesia. Mereka dianggap bukan lagi karyawan perusahaan tambang tersebut, sehingga dianggap tidak berhak menerima asuransi kesehatan.

“Padahal belum ada PHK resmi tapi kok tiba-tiba dihentikan,” kata Nur mempertanyakan. Sementara dua orang lainnya nekat bunuh diri, yang disebut Nur sebagai dampak tekanan masalah hak pekerja ini.

Lima pekerja lainnya juga mengalami luka tembakan akibat aksi bentrok dengan aparat. Sementara, seorang pekerja hilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang.

Menurut Nur, PT Freeport Indonesia telah melanggar beberapa pasal ketenagakerjaan. Pertama, melanggar Pasal 28 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja atau Serikat Buruh. Nur menyebut PT Freeport Indonesia sengaja menghalangi aktivitas serikat buruh yang dilindungi UU tersebut.

Kedua, PT Freeport Indonesia juga dianggap melanggar 143 UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan larangan penghalangan kebebasan buruh untuk berserikat.

Ketiga, perusahaan tambang itu juga disebut menabrak UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional. PT Freeport Indonesia terancam UU tersebut karena menghentikan keikutsertaan karyawannya dalam program BPJS.

“Bahkan ada aturannya bahwa enam bulan setelah PHK pekerja masih berhak mendapat layanan kesehatan. Nah ini belum ada PHK resmi atau hukum in kracht tapi mereka sepihak melakukan penghentian BPJS,” ucap Nur menjelaskan.

PT Freeport Indonesia sebelumnya melakukan PHK terhadap 840 karyawan yang ikut dalam aksi mogok kerja. Selain memecat pekerjanya, PT Freeport Indonesia juga melakukan Furlough terhadap ribuan pekerjanya. Menurut keterangan Dedy, hingga kini tercatat sekitar 300an pekerja yang dikenakan Furlough. “Akses kesehatan, gaji, dan Tunjangan Hari Raya mereka di-stop,” kata Dedy.

 

 

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus