Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Undang-undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) telah resmi disahkan oleh DPR dalam rapat paripurna. Salah satunya yang diatur dalam undang-undang tersebut adalah hak cuti melahirkan 6 bulan untuk ibu hamil.
Wakil Ketua Komisi VIII DPR Diah Pitaloka menjelaskan, undang-undang ini memungkinkan seorang pekerja perempuan yang telah bersalin berhak memperoleh cuti melahirkan paling singkat tiga bulan. Namun dalam kondisi khusus, seorang ibu pekerja dapat mengambil cuti paling lama enam bulan.
"Ibu yang bekerja yang menggunakan hak cuti melahirkan tidak dapat diberhentikan,” ujar dia dalam Rapat Paripurna DPR ke-19 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2023–2024 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta Pusat pada Selasa, 4 Juni 2024.
Salah satu perubahan signifikan yang dibawa oleh UU KIA adalah perpanjangan cuti melahirkan bagi karyawati. Jika sebelumnya cuti melahirkan hanya tiga bulan, UU KIA memberikan hak kepada ibu pekerja untuk cuti melahirkan selama enam bulan. Selama tiga bulan pertama, ibu akan menerima gaji penuh, dan selama tiga bulan berikutnya, gaji sebesar 75 persen. Selain itu, ibu yang mengalami keguguran berhak mendapatkan waktu istirahat selama 1,5 bulan atau sesuai dengan rekomendasi medis
Namun, ada kekhawatiran dari kalangan pengusaha terkait dengan ketentuan pemberian cuti melahirkan selama enam bulan tersebut. Para pengusaha merasa khawatir bahwa ketentuan cuti melahirkan yang lebih panjang ini dapat berdampak negatif terhadap operasional dan keuangan perusahaan.
Hal itu pun memicu kekhawatiran kalangan buruh. Seperti yang disampaikan oleh Ketua Umum Federasi Serikat Buruh Persatuan Indonesia (FSBPI), Jumisah menganggap pasal hak cuti melahirkan hingga enam bulan dalam Undang Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak (UU KIA) berpeluang menyingkirkan tenaga kerja perempuan yang sudah menikah. Perusahaan menurut Jumisah, akan lebih memilih mempekerjakan perempuan lajang saja. “Justru itu adalah upaya-upaya untuk menyingkirkan hubungan (kerja) secara sistematis,” ucapnya.
Dengan adanya ketentuan cuti yang panjang, perusahaan memiliki kemungkinan menghadapi kesulitan dalam menjaga produktivitas dan operasional. Kehilangan karyawan untuk waktu yang lama dapat mempengaruhi kelancaran proses bisnis, terutama jika karyawan yang cuti memiliki peran yang penting dalam perusahaan.
Bahkan begitu Undang Undang Cipta Kerja disahkan, menurutnya, kepastian hubungan kerja makin tak pasti. Boro-boro bicara soal kesejahteraan. Jumisah menyebut bentuk kesejahteraan pun semestinya dilihat secara komprehensif. “Bisa dilihat dari sisi upah, dari sisi keberlanjutan hubungan kerja, jam kerja, dari sisi jaminan sosial, dan seterusnya.” ungkap Jumisah.
Ketidakpastian hubungan kerja yang ada saat ini menurutnya berpengaruh terhadap buruh perempuan. “Kalau kondisi saat ini di lapangan, buruh perempuan mengambil cuti melahirkan itu kondisinya aja sudah susah,” terangnya.
Konsekuensinya, ada kemungkinan perusahaan perlu merekrut atau mengontrak karyawan sementara untuk menggantikan karyawan yang cuti melahirkan. Sedangkan proses rekrutmen dan pelatihan karyawan baru juga memerlukan biaya tambahan dan waktu yang tidak sedikit.
Tak hanya bagi ibu pekerja, undang-undang ini juga mengatur kewajiban suami untuk mendampingi selama masa persalinan. Diah menjelaskan, suami berhak cuti selama dua hari dan dapat memperoleh cuti tambahan paling lama tiga hari berikutnya. Lama cuti juga bisa disesuaikan dengan kesepakatan dengan pemberi kerja atau pengusaha. Adapun suami yang istrinya mengalami keguguran berhak mendapatkan cuti selama dua hari.
MYESHA FATINA RACHMAN | MOCHAMMAD FIRLY FAJRIAN | HAN REVANDA PUTRA
Pilihan Editor: DPR Sahkan RUU KIA, Ibu Pekerja Dapat Cuti Melahirkan Paling Lama 6 Bulan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini