Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Katanya, Belum Goyah Dalam Skenario...

Menghadapi musim panas ini OPEC semakin goyah, harga minyak turun, kuota masih bertahan. Banyak anggota tak puas, para ekonom membuat skenario penurunan harga minyak & pengaruhnya terhadap APBN.

27 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEMASUKI puncak musim panas Juli-Agustus tampaknya merupakan periode mendebarkan bagi Indonesia. Di bulan-bulan itu, permintaan minyak negara-negara industri di belahan bumi Utara biasanya mencapai titik paling rendah. Impor minyak Jepang, misalnya, Juni berselang hanya 12,3 juta kiloliter. Padahal, Januari sebelumnya, seluruh impor minyak negeri industri ini lebih dari 19 juta kiloliter. Perkembangan impor minyak Jepang itu, yang cenderung terus menurun di musim panas ini, jelas cukup memprihatinkan. Soalnya memang jadi sangat serius karena sebagian besar ekspor minyak Indonesia yang 500 ribu barel setiap hari itu dipasarkan di sana. Apa boleh buat, karena permintaan pembangkit listrik lemah, impor minyak dari sini di bulan Juni itu hanya 1,5 juta kiloliter (12,5% dari seluruh impor). Volumenya memang jauh berbeda dengan Januari, yang masih 1,9 juta kiloliter (10,4%). Di saat seperti itu, para pembeli biasanya mempunyai peluang baik untuk melakukan tekanan, agar produsen seperti Indonesia mau memberikan potongan harga. Suara pembeli itu gemanya terasa di setiap OPEC menyelenggarakan pertemuan - baik di Wina dan di Jenewa, bulan ini. Tiga bulan terakhir ini, memang, minyak ringan Arab Saudi (ALC), yang harga resminya US$ 28 per barel, sudah dijual US$ I sampai US$ 1,50 lebih murah di pasar tunai. Harga minyak berat di pasar tunai juga sudah US$ 1,50 di bawah harga resmi yang US$ 26,50 per barel. Wajar jika kemudian menteri perminyakan Saudi Sheik Zaki Yamani minta mengenai perlunya harga minyak diturunkan antara US$ 0,50 dan US$ 1,50 per barel. Penurunan harga tampaknya merupakan pilihan terbaik, terutama bagi Saudi yang sudah tak mempunyai ruang lagi untuk memotong produksinya lebih rendah dari sekitar 2 juta barel. Imbauan ini ternyata kurang mendapat sambutan dalam pertemuan konsultatip dewan menteri OPEC di Taif, awal Juni berselang. Sekarang, ketika para menteri OPEC bertemu kembali di Jenewa di tengah makin memuncaknya suhu musim panas di Utara, pembicaraan mengenai tingkat harga rupanya sudah tak terelakkan. Beberapa ekonom Indonesia, yang mengikuti perkembangan itu, memberikan beberapa skenario mengenai kemungkinan turunnya harga minyak dan konsekuensinya terhadap APBN 1985-1986 dan neraca pembayaran. Pada umumnya, mereka beranggapan bahwa OPEC sekali ini terpaksa harus menurunkan harga minyaknya dengan tidak mengurangi kuota produksi. Dr. Hadi Soesastro dari Lembaga Pengkajian Masalah-Masalah Strategis (CSIS), misalnya, memperkirakan harga minyak turun US$ 2 sampai US$ 3 per barel. Sekalipun penurunan itu akan mengakibatkan pengurangan devisa US$ 650 juta sampai US$ 1 milyar selama setahun, "Dalam jangka pendek, pengaruhnya tidak terasa terhadap neraca pembayaran pemerintah," katanya. Sebab, cadangan devisa untuk memenuhi kebutuhan impor cukup tebal: US$ 10,5 milyar. Karena itu, "Tindakan seperti devaluasi atau pengetatan impor, saya rasa, belum saatnya dilakukan," katanya. Rupiah, dengan kata lain, masih akan tetap kuat. Hadi tampaknya melihat APBN 1985-1986 dan neraca pembayaran pemerintah masih tahan menghadapi penurunan harga minyak sampai US$ 3 sekalipun. Dia tentu sudah melihat, pengurangan kuota sebesar 111 ribu barel, yang dimulai November tahun lalu, ternyata hanya berpengaruh terbatas sekalipun benar itu menyebabkan pajak migas berkurang Rp 325 milyar dan devisa menyusut US$ 300 juta. Devaluasi toh tidak dilakukan. Sebab, melesetnya sasaran penerimaan 1984-1985 sebesar Rp 243 milyar lebih itu sebagian besar merupakan sumbangan pajak penghasilan. Pandangan serupa juga dikemukakan Dr. Iwan Jaya Azis. Ekonom dari UI ini memperkirakan, penurunan harga minyak, yang paling banter hanya US$ 0,60 per barel itu tidak akan mendorong pemerintah melakukan tindakan moneter terbuka. Untuk merangsang ekspor nonmigas, kurs rupiah terhadap dolar oleh jadi akan dinaikkan secara berangsur. Menurut dia, menurunnya pendapatan dari pajak migas itu, boleh jadi, akan dikompensasikan dengan penarikan jenis-jenis pajak yang kini masih ditangguhkan. "Misalnya pajak bagi uang yang didepositokan," katanya. Pilihan itu dianggapnya merupakan jalan keluar terbaik, di samping tentu mencari pinjaman lebih besar lagi dari luar negeri. Hanya saja, harga dana pinjaman kini semakin mahal, baik dalam tingkat suku bunga maupun jangka pengembalian. Menurut Iwan, pilihan memotong anggaran belanja yang dilakukan menjelang Pemilu 1987 dinilainya terlalu riskan -- juga akan menyebabkan laju pertumbuhan ekonomi mengendur. "Jadi, saya kira, penurunan harga minyak itu tidak akan menyebabkan pemerintah memotong anggaran rutin ataupun pembangunan," tambahnya. Secara umum bisa dikatakan, dalam menghadapi ketidakpastian pasar minyak itu, para ekonom lebih suka membuat skenario harga minyak turun. Dr. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti dari Lembaga Penelitian Ekonomi dan Masyarakat UI, misalnya, malah menganjurkan perhitungan atas skenario itu dimasukkan selama tiga tahun anggaran. Konsekuensinya, memang, pemerintah perlu hati-hati menangani impor dan melakukan pinjaman. "Sebab, prospek ekspor nonmigas kita masih belum begitu cerah," katanya. Skenario paling jelek seperti yang dianjurkannya itu boleh jadi cocok diterapkan untuk menghadapi setiap perubahan jangka pendek. Tiga bulan terakhir ini, menyongsong tibanya musim panas di Jepang, pemerintah membuat manuver menarik di pasar Jepang. Untuk menutup lemahnya permintaan akan minyak Minas dan Cinta - karena harganya dianggap kelewat tinggi - Sumatran Medium Crude (SMC) dimasukkan ke sana mulai April. Bulan itu SMC bisa dijual 403 ribu kiloliter, lalu di bulan berikutnya naik 432 ribu, tapi bulan lalu turun jadi 339 ribu kiloliter. Ada dugaan turunnya volume SMC ini berkaitan erat dengan tindakan antisipasi RRC, yang menurunkan harga jual minyak Taching dari US$ 27,35 jadi US$ 26,75 per barel, berlaku surut mulai 1 April. Dengan begitu, Taching kini jadi lebih murah US$ 0,65 dibandingkan dengan SMC, padahal sebelumnya hanya US$ 0,05 per barel. Potongan harga Taching ini, yang memang sengaja dilakukan untuk memojokkan SMC, tentu cukup merepotkan. Apalagi harga Taching di pasar tunai kini hanya sekitar US$ 25,50. Di musim panas seperti sekarang, memang, tidak mudah untuk memaksa pengilangan minyak di Jepang meningkatkan pembelian minyak ringan Minas, Cinta, dan Handil. Di bulan Juni lalu, pembelian Minas mereka, misalnya, tinggal 147 ribu kiloliter, padahal Januari sebelumnya hampir 890 ribu kiloliter. Penghematan rupanya perlu mereka lakukan untuk menekan biaya produksi. Sialnya lagi, karena pembangkit listrik di sana kini juga mendapat suplai cukup dari LNG dan tenaga nuklir, penyerapan pengilangan akan minyak mentah jadi menurun belakangan ini. Akibatnya, kapasitas terpakai dari 47 pengilangan yang mampu mengolah 4,97 juta barel minyak mentah jadi BBM, kini hanya 65%. Efisiensi akan dilakukan dengan cara mengurangi jumlah pengilangan itu hingga kapasitas terpasangnya tinggal 4,08 juta barel. Kata beberapa kalangan, tindakan itu sebetulnya berkaitan erat dengan rencana Jepang melakukan impor produk minyak Saudi dalam jumlah besar. Seperti diketahui, perusahaan pengilangan minyak Jepang menanamkan banyak dana - baik di industri pretrokimia maupun pengilangan minyak di negeri unta tadi. Seberapa jauh serangkaian tindakan penyesuaian Jepang itu akan mempengaruhi penerimaan pajak minyak 1985-1986 tak jelas benar. Tahun anggaran ini, sasaran penerimaan pajak itu Rp 9.480 milyar, atau 6,6% di atas sasaran tahun fiskal sebelumnya. Cukup konservatif. Tercapai tidaknya sasaran itu banyak bergantung pada tinggl rendahnya harga dan kuota produksi OPEC. Jika sampai musim panas berakhir bulan depan kuota produksi tidak berubah, besar dugaan sasaran itu tidak akan sulit dijangkau. Persoalannya sekarang, menghadapi musim panas berat ini, sampai harga dan kuota berapa OPEC bisa bertahan? Dengan tingkat harga resmi ALC dan minyak berat masing-masing US$ 28 dan US$ 26,50, di luar dugaan, produksi nyata OPEC di bulan Juni ternyata hanya 13,6 juta barel - padahal kuotanva 16 juta barel sehari. Menghadapi kenyataan seperti ini, Bank Dunia dalam sebuah laporannya kepada negara-negara donor IGGI, April lalu, membuat dua perkiraan mengenai harga minyak - yang akan mempengaruhi laju pertumbuhan ekonomi Indonesia. Skenario pertama didasarkan pada keadaan harga minyak sekarang. Seiring dengan naiknya laju inflasi, harga minyak ini diperkirakan naik sampai US$ 40, pada 1986-1990. Pada periode ini, laju pertumbuhan ekonomi akan mencapai 4,6%, dan laju ekspor nonmigas 5,9% setiap tahun. Skenario kedua, bersandar pada terjadinya penurunan harga minyak antara 1985 dan 1986 menjadi US$ 26. Ketika pada periode 1986-1990 harga minyak naik jadi US$ 32,9, laju pertumbuhan ekonomi diduga hanya 3,9%, tapi laju ekspor komoditi nonminyak akan melambung jadi 7% setahun. Tapi besar kecilnya penerimaan devisa dari hasil ekspor minyak itu masih akan dipengaruhi oleh tinggi-rendahnya konsumsi BBM di dalam negeri. Konsumsi lokal akan sumber energi itu, pada sisa Repelita IV ini, diperkirakan hanya naik 2,5%. Jika konsumsi lokal lebih tinggi 1% dari perkiraan, sementara kuota produksi OPEC tidak berubah sepanjang 1985-1991, maka penerimaan dan devisa itu diperkirakan Bank Dunia akan berkurang US$ 1,4 milyar. Jadi, penting bagi pemerintah menganjurkan tindakan efisiensi pemakaian energi. "Tanpa usaha itu, konsumsi lokal justru akan menggerogoti pendapatan minyak di tahun 1990-an, ketika harga dan permintaan minyak diperkirakan akan membaik," ujar laporan Bank Dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus