Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Tak Ada Lagi "Si Doel" Di Tengah Kita

Sutradara syumanjaya, 52, meninggal dunia karena serangan jantung. meniti karier dibidang film sejak masih di taman siswa, dikenal sebagai pembuat film-film kontroversial, pujian orang-orang dekatnya. (obi)

27 Juli 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA ada hal penting yang dikerjakannya pada saat-saat terakhir, maka itu adalah salat Jumat. Tapi kemudian semua terjadi begitu cepat. Dari rumah Ustad Djaka Surya di Kebayoran Baru - tempat ia mengalami kejang dan sesak napas - ke RSCM hanya terpaut waktu dua jam. Dan setiba di ruang ICCU pun langsung mendapat pertolongan. Namun, sia-sia. Bung Sjuman - demikian panggilan akrabnya - meninggal karena serangan jantung, pada pukul 15.50 lumat lalu. Kepergiannya terasa menyentak. Sebab, dua hari sebelumnya ia tampak sibuk di lapangan. Kenyataan ini yang sulit dicerna, bahkan oleh istrinya, Soraya Perucha. "Kami bekerja dari pukul enam pagi hingga pukul lima keesokan harinya. Waktu itu kami menggunakan seribu figuran," Ucha berkisah tentang pembuatan film Opera Jakarta. Dan, "Bung Sjuman bekerja dengan gembira, tak ada tanda-tanda lesu atau capek." Pernah, di sela-sela kesibukan shooting, Rano Karno iseng-iseng mengusulkan pada Sjuman agar film Si Doel dibuat lagi. Tanpa alasan yang jelas, ia menjawab, "Tidak, saya tak sempat." Ada beberapa rencana lain yang juga tak sempat dilaksanakannya. Dengan Sejarawan Abdurrahman Surjomihardjo, misalnya, ia membicarakan pembuatan film Taman siswa dan Ki Hajar Dewantara. Gagasan yang wajar, karena Sjuman dididik di perguruan ini - dari TK sampai SMA. Sebelumnya, ia bersemangat memfilmkan Chairil Anwar, penyair yang dikaguminya. Dan pernah pula ia merancang film Digul dan Wali Sanga. Sjuman memang tidak pernah kehabisan ide. Menurut Sutradara Ami Priyono, pikiran Almarhum selalu disibukkan dengan gagasan-gagasan besar. Terlalu banyak yang ingin dikerjakannya dan banyak pula yang bisa diharapkan orang dari padanya. Namun, usianya ditakdirkan hanya 52, dengan sejumlah film dan skenario yang masih mampu digarap di tengah-tengah iklim perfilman yang tidak pernah sehat. Sekalipun begitu, Almarhum termasuk orang yang beruntung. Mengapa? Sjuman adalah satu dari segelintir sutradara yang berdaulat, dalam arti tidak didikte pihak produser. Mungkin sesekali ia terpaksa melakukan kompromi, tapi mutu film tidak sampai dikorbankan karenanya. Aktor Sukarno M. Noor, yang juga sahabat Almarhum, mencatat angin pembaruan yang dibawa sutradara lulusan Moskow itu. Sikap lapang dalam menghargai kreativitas orang lain adalah ciri khas Sjuman. Dalam penulisan skenario, misalnya, ia tidak kaku, tidak menetapkan ini-itu, karena seluk-beluk pemotretan dipercayakannya pada sutradara. Begitu pula dalam penyutradaraan ia tidak banyak mengatur, karena Almarhum menghargai kemampuan akting pemain. Hal lain yang tidak terlupakan oleh Sukarno adalah sifat kerakyatan yang selalu bisa dirasakan dalam karya-karyanya. "Ia bercerita tentang gubuk kampung dan nasibnya, bukan kisah nyai-nyai Belanda dalam gedung mentereng," kata Sukarno. Terlepas dari cara bagaimana Sjuman bercerita lewat film - sesuatu yang disesalkan Misbach karena Almarhum kurang bersungguh-sungguh mencari idiom-idiom baru - harus diakui potensinya yang besar dalam membuat cerita film atau menulis skenario. Bisa saja pendekatannya terhadap materi cerita condong kepada pendekatan literer ketimbang filmis, tapi dari tangannya muncul kisah lain tentang olahragawati atau janda atau si Doel anak Betawi. Kemampuan Sjuman di bidang penulisan memang menonjol lebih dulu, baru kemudian terlihat bakatnya di pentas dan film. Semasa muda, Almarhum banyak menulis puisi, cerpen, juga esei. Ketika masih di Taman Siswa tulisannya sering muncul di majalah sekolah. Waktu itu, juga ia bermain bagus dalam lakon Awal dan Mira yang disutradarai Misbach. Pada usia 23 tahun, ceritanya, Keroncong Kemayoran, difilmkan Persari dengan judul Saodah. Pernah dikenal sebagai seniman Senen, Sjuman kemudian bekerja di Persari, dan pada usia 24 tahun sudah dipercaya sebagai asisten sutradara untuk film Anakku Sayang. Tahun 1958, Almarhum berangkat ke Moskow, dan belajar pada Institut Sinematografi Negara di sana. Tujuh tahun kemudian, 1965, ia menggemparkan masyarakat film Indonesia ketika diberitakan lulus cum laude. Sekembali ke tanah air, Almarhum merintis jalan baru kembali ke dunia film pada 1970. Sebelumnya, 1966-1968, ia sempat menjadi direktur Direktorat Film Deppen. Salah satu hasilnya ialah SK Menpen No. 71/1967 tentang pengumpulan dana lewat film Impor, yang uangnya digunakan untuk meningkatkan produksi dan rehabilitasi perfilman nasional. Dalam pelaksanaannya, SK ini kemudian pernah salah kaprah karena produksi film menanjak hebat tapi mutunya merosot. Sutradara yang menempa bakat akting pada Benyamin dan Yenny Rachman ini selalu penuh vitalitas. Setidaknya, begitulah pendapat Ami Priyono. Dan ia cenderung terpikat pada tema-tema sosial, apakah itu mencerminkan dinamika, konflik, ataupun pertentangan kelas. Hal-hal seperti itu tidak tabu bagi Sjuman. Tokoh Doel yang diciptakannya (lewat Si Doel Anak Betawi) dalam batas-batas tertentu bisa diterima sebagai anak Indonesia di mana saja: tidak punya apa-apa, tapi bercitacita dan mau maju. Lain halnya Si Doel Anak Modern. Tokoh ini personifikasi pemuda Indonesia yang salah jalan, sibuk dengan mimpi-mimpi, atau kebarat-baratan, menurut Misbach. Lewat kedua Doel, Sjuman telah dengan tajam menampilkan wajah Indonesia yang amat dikenalnya, yang menurut pengamatan Ami, bisa ditemukan juga dalam diri Sjuman pribadi. Dilahirkan 5 Agustus 1933 di Purworejo, Jawa Tengah, Sjuman adalah anak kelima dari delapan bersaudara. Ayahnya seorang matritekenaar (juru gambar) yang akhirnya meninggalkan pekerjaan itu karena konsekuen dengan sikap nonkoperasi. Ia kemudian bekerja pada koperasi pribumi, lalu ikut mendirikan Taman Siswa. Ditinggal mati ayahnya pada usia 10 tahun, Sjuman dari kecil sudah tampil sebagai jago berkelahi, jago ngobrol, dan jago pacaran. Padanya tersembunyi kesenangan untuk menjadi pusat perhatian, dan ini diperolehnya dengan gampang karena pintar bicara, lagi pula banyak humor. Kalau perlu, ia bisa mendeklamasikan sajak Rusia kuno, seperti yang disaksikan Ami pada suatu hari ketika Sjuman jatuh cinta. Asrul Sani menghubungkan bakat bicara itu dengan kesenangan Sjuman untuk berpose. "Saya tidak tahu istilah apa yang tepat untuk Sjuman," kata sutradara itu. "Tapi bisa saya katakan ia selalu berpose. Ada orang yang kalau berpose menjengkelkan, Sjuman tidak." Begitulah memang Almarhum sehari-hari, selalu gaya, necis, romantis. TAPI ia pun kemudian berubah, atau agak berubah. Jauh sebelum ia menikah dengan istri ketiga, Soraya Perucha (1983), Sjuman yang sempat menduda lama, tekun mengikuti pengajian. Ketiga anaknya (dua pria dari perkawinan dengan Farida Oetojo dan seorang wanita dari perkawinan dengan Tuti Kirana) tinggal bersamanya. Menjelang akhir hayatnya, memang ia tampak agak pendiam. Apa yang tidak berubah ialah kesenangannya membaca, kegelisahannya mematangkan gagasan-gagasan besar serta keberaniannya mengekspresikan pikiran. Dengan 14 film cerita, Sjuman Djaja telah memperkaya khazanah perfilman Indonesia. Di samping berbagai kelemahannya, ia telah mengembalikan apa-apa yang dulu adalah bagian dari kita: seorang Kartini, seorang Mamad, seorang Doel.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus