IA dikabarkan baru sembuh dari sakit flu yang berat, tak lama setelah sidang darurat OPEC di Wina yang berakhir 7 Juli lalu. Tapi dalam sidang reguler organisasi para pengekspor minyak yang dibuka 22 Juli di Hotel Inter Continental, Jenewa, ia diberitakan sudah sembuh, dan, seperti biasa, bersuara lantang. Itulah Sheik Ahmad Zaki Yamani primadona OPEC, yang sejak awal Juni silam menuntut agar harga minyak yang berlaku sekarang diturunkan lagi. Sesaat sebelum dimulainya sidang pertama Senin lalu, Sheik Yamani, yang tak lupa memainkan tasbihnya, sempat melempar kata kepada para wartawan yang mencegatnya di lobby hotel. "Saya kira adalah suatu keharusan untuk mengoreksi diferensial," serunya. Diferensial - harga pembeda antara Jenis minyak mentah berkualitas paling ringan dan minyak berat yang paling rendah - yang dalam sidang reguler OPEC enam bulan lalu diturunkan dari empat dolar menjadi hanya 2,40 dolar per barel, ternyata, memukul ekspor minyak Arab Saudi. Negeri yang empat tahun silam mampu menyedot 10 juta barel minyak sehari, kini hanya memproduksi sekitar 2 juta barel sehari, masih di bawah produksi rata-rata sehari Inggris. Sedangkan defisit neraca berjalan mereka diduga bakal mencapai US$ 20 milyar dalam tahun anggaran sekarang, berarti nomor dua setelah defisit Amerika Serikat. Sulit dipercaya memang, negeri yang tadinya makmur dengan petrodolar, sejak dua tahun lalu, terpaksa mengetatkan ikat pinggang ekonominya, dan memotong gaji, baik untuk orang Saudi maupun pekerja asing yang menghuni negeri itu, 30% sampai 50%. Suasana yang dengan sendirinya ikut menyulitkan kedudukan menteri perminyakan Arab Saudi membuat dia bersikeras agar selisih harga pembeda itu direvisi lagi. Tadinya, dalam sidang reguler di Jenewa bulan Januari lalu, diputuskan bahwa jenis Arabian Light Crude (ALC) dikurangi dengan satu dolar, menjadi 28 dolar sebarel. Dalam sidang itu pula kedudukan ALC sebagai harga patokan OPEC telah dihapus. Peran ALC tak lagi dianggap penting sebagai basis perhitungan teoretis untuk menetapkan harga jual jenis minyak yang lain, sesuai dengan kualitasnya. Sehingga teoretis OPEC tak lagi menganut harga patokan. Dalam sidang penting itu diputuskan pula untuk mengatrol harga jenis Arabian Heavy dengan 1,50 dolar menjadi 26,50 dolar per barel. Suatu hal yang ditentang Persatuan Emirat Arab dan Aljazair, dua produsen minyak ringan, yang beranggapan bahwa harga minyak berat itu perlu dinaikkan lagi sehingga diferensialnya menjadi lebih kecil. Seperti biasa, di hari pertama sidang, para menteri minyak melemparkan keinginan negerinya masing-masing. Qassem Taqi al Oraibi dari Irak beranggapan, kuota 1,2 juta barel yang ditetapkan OPEC bagi negerinya perlu dinaikkan menjadi sekitar dua kali lipat. Ketua delegasi Equador, Fernando Santos Alvite, juga meminta tambahan jatah 100.000 barel, menjadi 283.000 barel sehari. Aljazair, Iran, dan Libya menilai, harga resmi minyak perlu dipertahankan. Arab Saudi yang memiliki kuota 4,5 juta barel, tapi hanya mampu memproduksi kurang dari separuh tampaknya lebih suka menggiring sidang agar melihat kenyataan yang berlaku di pasaran sekarang. Terutama setelah Meksiko dan Mesir, dua anggota non-OPEC yang dalam sidang-darurat di Wina masih datang sebagai peninjau, menurunkan harga resmi minyaknya, lebih sepekan sebelum sidang di Jenewa. Penurunan yang berkisar sekitar 1,50 dolar itu amat memukul OPEC, terutama Arab Saudi, yang merasa sulit untuk menjual minyak beratnya di atas US$ 25 per barel di pasaran bebas (spot). Pasaran Arab Saudi di Jepang juga menurun, terutama di bulan Juni, yang hanya mewakili 17% impor total Jepang. Sebulan sebelumnya, andil mereka di Jepang masih 19,9%, menurut laporan departemen industri dan perdagangan luar negeri Jepang (MITI). Laporan itu juga mencatat bahwa di bulan Juni impor Jepang dari Persatuan Emirat Arab meningkat menjadi 22,4%, dibandingkan bulan sebelumnya yang 17,3%. Memang, salah satu sebab penurunan itu adalah permintaan yang menurun untuk minyak jenis berat yang banyak digunakan untuk pemanasan (heating). Para pembeli lebih suka membeli minyak ringan, seperti jenis Murban dari UEA, selama musim panas sekarang. Tapi suasana resesi yang kian melilit ekonomi Saudi agaknya membuat para pemimpin negeri itu tak sabar melihat ulah sebagian anggota OPEC yang suka berjalan sendiri, dengan menggenjot produksi dan memberikan potongan harga. Dalam suatu pertemuan bulan lalu di Taif dengan para menteri minyak yang lain, Sheik Yamani membacakan pesan tertulis Raja Fahd. Pengorbanan Arab Saudi, kata Raja Fahd melalui Zaki Yamani, ada batasnya. Kalau para anggota lain melanjutkan upaya untuk meningkatkan penghasilan dengan peningkatan produksi di atas kuota yang sudah disepakati, Arab Saudi juga akan berbuat hal yang sama. Ekonomi Arab Saudi tampaknya tak lagi bisa ditolong dengan produksi yang sedikit di atas 2 juta barel. Para pejabat ekonomi negeri itu beranggapan, produksi minyak mereka perlu didongkrak menjadi 3,5 sampai 3,8 juta barel sehari untuk menopang anggaran Kerajaant tahun ini, yang dimulai 22 Maret lalu. Dan itu hanya bisa dicapai kalau harga minyak berat disesuaikan dengan yang berlaku di pasaran spot. Sebagian pengamat melihat sidang kali ini akan menunda perdebatan tentang kuota produksi, dan lebih banyak bicara tentang harga minyak. Sebuah panitia tujuh anggota OPEC, yang diketuai Menteri Yamani sejak Minggu, sehari sebelum dimulainya sidang, sudah mendiskusikan berbagai kemungkinan perubahan diferensial, mula jenis minyak mentah yang paling ringan sampai yang paling berat. "Ada yang perlu diturunkan, ada yang perlu dinaikkan," katanya. Ketua OPEC Dr. Subroto, seusai sidang babak pertama Senin siang lalu, membenarkan bahwa pertemuan kali ini akan lebih memusatkan pembicaraan di seputar diferensial. Sedangkan soal kuota produksi, yang tampaknya akan tetap dipertahankan sebanyak 16 juta barel sehari, baru akan dirundingkan pada pertemuan khusus mendatang, sebelum OPEC memasuki pertemuan reguler bulan Desember. Sudah pasti, banyak yang menentang keinginan Yamani. Terutama negara yang merasa kuotanya perlu ditambah Tapi sidang yang dipimpin Subroto, baik dalam pembicaraan resmi maupun dalam suasana santai sehabis sidang, tampaknya bisa mengimbau beberapa anggota untuk bersabar sampai pertemuan di musim gugur nanti. Ketua degelasi Equador, Fernando sandos Alvite, menerangkan bahwa empat anggota- Irak, Equador, Gabon, dan Qatar akan meminta kenaikan kuota pada pertemuan khusus dimusim gugur, yang kabarnya akan berlangsung di bulan Oktober. Sampai selesainya sidang babak kedua, Selasa pagi waktu Jakarta, menjelang turunnya tulisan ini, para wartawan belum mendengar tentang variasi penyesuaian harga pembeda. "Kami belum lagi bicara soal itu," kata Subroto yang berjalan dengan bantuan tongkat. Menteri Pertambangan dan Energi RI, yang populer di kalangan para wartawan yang meliput sidang OPEC, baru saja selesai menjalani operasi kecil di bagian lutut, di AS. Ia didampingi Direktur Utama Pertamina A.R. Ramly, Dirjen Migas Sudarno, dan penasihat menteri WiJarso. Subroto menilai, produksi nyata OPEC yang 14,5 juta barel sehari sudah mencapai titik gawat, yang tak mungkin ditekan lebih rendah lagi. Ia menyayangkan tindakan sepihak sementara anggota non-OPEC, seperti Meksiko dan Mesir, yang tergopoh-gopoh menurunkan harga resminya bagi semua jenis minyaknya, dan berlaku surut pula. Tapi tindakan Meksiko dan Mesir yang mendahului sidang bisa juga dilihat sebagai suatu hikmah untuk meratakan jalan yang diinginkan Arab Saudi. Menteri Zaki Yamani, sejak di Taif, ibu kota Arab Saudi di musim panas, sudah memberi ancang-ancang, harga jenis minyak berat perlu diturunkan antara 0,50 dolar dan 1,50 dollar per barel. Ia untuk kesekian kalinya menggertak akan membanriri pasaran dengan menggenjot produksi Arab Saudi. Gertakan yang diulangi Yamani dalam sidang khusus di Wina, awal bulan ini, rupanya dianggap cukup serius oleh rekan-rekan OPEC lainnya, kecuali yang menganut garis keras seperti Iran. Masih menjadi pertanyaan apakah penurunan harga resmi minyak berat akan menolong sasaran produksi Arab Saudi sebanyak 3,8 juta barel sehari. Kalau mayoritas OPEC setuju untuk sekali ini menolong posisi kritis Arab Saudi, suatu formula yang memungkinkan negeri Sheik Yamani mengangkat produksi minyak dengan tambahan sejuta barel perlu dicari. Salah satunya adalah dengan memperkecil selisih harga resmi Arabian Heavy dengan harga yang berlaku di pasaran spot. Jalan lain, dan ini sudah berulang kali dikemukakan dalam sidang OPEC, adalah menjaga disiplin semua anggota agar tidak melanggar kuota, dan main potong harga. Sewaktu bersidang di Wina, beberapa anggota, yang dipelopori Tam David-West dari Nigeria, saling mengakui telah melanggar konsensus, dan berjanji tak akan mengulanginya. Pengakuan dosa begitu bisa dipastikan akan kembali mereka nyatakan di Jenewa. Mereka bahkan bersedia dikenai sanksi bila ketahuan melanggar janji. Sulitnya, siapa yang berhak mengetukkan palu hukuman, mengingat setiap anggota OPEC tunduk pada pemerintahnya masing-masing, termasuk Indonesia. Fikri Jufri
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini